Jihad Versus Terorisme
Istilah
‘jihad’ dan ‘teroris’ begitu populer pasca peristiwa pengeboman menara kembar World Trade Center (WTC),
Menhattan, Newe York dan Gedung Pentagon, Washinton DC, pada 11 September 2001.
WTC adalah simbol supremasi ekonomi Amerika Serikat, sementara Pentagon adalan
ikon keperkasaan militernya. Tak pelak lagi, tindakan di atas menimbulkan
banyak problem dan dampak psikologis, mulai dari sisi ekonomi, politik, budaya,
hingga agama. Barat yang diwakili oleh Amerika memandang bahwa tindakan
penyerangan kedua ikon keperkasaan Amerika di atas sebagai teror oleh terorisme
yang di latar belakangi oleh pemahaman teologis, dalam hal ini Islam.
Masalahnya, benarkah jihad sama dengan terorisme?
Penting
untuk merumuskan kembali makna jihad secara benar dan proporsional, dan
mendudukkan tindakan teroris sebagai bagian dari permusuhan terhadap umat dan
ajaran Islam sendiri. Perdebatan tentang
terorisme dan jihad makin eksis ketika para pakar terorisme, media massa dan
yang dianggap teroris sendiri tertuma –sekali lagi yang dianggap—sebagai
kalangan muslim fundamentalis memberikan argumentasi yang kontoversial tentang
paradgima jihad dan terorisme.
Salah
satu karya yang dipandang komprehensif terkait diskursus jihad dan terorisme
adalah karya Dr. Kasjim Salenda, yang berjudul, “Terorisme dan Jihad dalam Perspektif
Hukum Islam, 2011” buku ini pada awalnya merupakan disertasi doktoral Salenda
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. Bagi Salenda, kajian jihad
dan terorisme dalam buku ini terinspirasi oleh aksi kekerasan yang terjadi
sepanjang peradaban umat manusia khususnya di dunia Islam. Misalnya, dalam
sejarah Islam dikenal kaum Khawarij, pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib yang
keluar dari golongan Ali karena kecewa atas penyelesaian sengketa antara Ali
bin Abi Thalib r.a. dan Muawiayah bin Abi Sofyan r.a. dengan cara Arbitase (tahkim).
Kaum Khawarij mengkafirkan Ali dan Muawiyah serta semua orang yang menyetujui arbitase
tersebut, dengan konsekwensi kehalalan darah mereka untuk dibunuh, (hlm. 2).
Selain
itu –lanjut Alumni Gontor 1981 ini—yang tidak kalah ekstrim adalah sekte
‘Assasin’ yang merupakan sempalan dari sekte Syiah Isma’iliyah yang dipimpin
oleh Hasan al-Shabah. Sekte ini membolehkan membunuh lawan politik mereka dari
Bani Saljuq pada abad ke-11 dan ke-13. Bahkan kekerasan ‘teror’ juga terjadi
pada masa dinasti Abbasiyah, khusunya Khalifah Al-Ma’mun (813-833 H),
Al-Mu’tasim (833-824 H), dan Al-Watsiq (842-824 H). Ketika itu, kaum Mu’tazilah
di Bagdad memaksakan paham mereka mengenai kemakhlukan Alquran yang dikenal
dengan istilah mihnah atau inqusition (pengujian). Bagi yang tak
sepaham dengan penguasa tentang kemakhlukan Alquran akan mendapat siksaan,
dicambuk hingga dipenjara sebagaimana yang dialami oleh Ahmad bin Hambar,
pengasas Madzhab Hambali. Demikianlah aksi-aksi teror yang pernah terjadi dalam
sejarah peradaban Islam. (hlm. 3).
Teror
di era Modern
Tahun
1993, jaringan Islam radikal disinyalir mengebom lantai dasar World Trade
Center (WTC), dan pada tanggal 7
Agustus tahun 1998 Al-Qaeda bertanggungjawab terhadap pengeboman Kedutaan Besar
Amerika di Nairobi, Kenya dan Tanzania yang menwaskan sekitas 200 jiwa serta
melukai lebih dari 4.000 orang. Puncaknya, pada tanggal 11 September 2011,
Al-Qaeda disinyalir kembali melakukan aksi pengeboman yang menyebabkan
ambruknya gedung WTC dan Pentagon, (hlm. 4).
Di
Indonesia juga demikin, pada tanggal 12 Oktober 2002, kelompok radikal Islam
Indonesia yang diwakili Imam Samudra dkk, mengaku melakukan pengeboman di Sari
Club dan Paddy’s Pub, Legian, Kuta, Bali. Pada tanggal 20 September 2008,
pengeboman juga terjadi di Hotel Marriot Islamabad (Pakistan), 60 jiwa melayang
secara paksa, termasuk Duta Besar Republik Cekoslovakia, Ivo Zdare, dan ratusan
lainnya cedera. (hlm. 5).
Mencermati
beberapa peristiwa yang kian menjadi preseden buruk bagi kelompok radikal
secara khusus dan umat Islam secara umum, maka diperlukan kajian secara
komprehensif tentang makna jihad yang sebenarnya, karena tindakan-tindakan di
atas jelas-jelas bertentangan dengan jihad jika dilihat dari perspektif
sejarah, hukum, rukun, syarat, dan adab-adabnya.
Jihad
dalam Islam
Menurut
Sayyid Sabiq dalam “Fiqh as-Sunnah”, ‘jihad’ berasal dari kata ‘juhd’,
artinya upaya, usaha, kerja keras dan perjuangan. Seseorang dikatakan berjihad
apabila ia berusaha mati-matian dengan mengarahkan segenap kemampuan fisik
maupun materil dalam memerangi dan melawan musuh agama. (Sayyid Sabiq, 2002,
III: 79). Pendapat ini menunjukkan bahwa jihad adalah sama dengan qital,
seperti dimaksud dalam imperatif ini: jahidil kuffar wal-munafiqin (QS.
9: &3, dan 66:9). Hadis yang berpendapat bahwa perang melawan hawa nafsu
adalah jihad, sebagaimana diriwayatkan
Imam Bayhaqi dan Al-Bagdadi, maka sebagain ulama ahli hadis seperti
Az-Zayn Al-Iraqi dan Ibn Hajar Al-‘Atsqalani menilai sebagai hadis lemah.
(Syamsuddin Arif, 2008: 271).
Dalam
sejarah Islam, perintah jihad dalam arti qital baru turun di Madinah
pada tahun ke-2 Hijriah, atau sekitar 14 tahun setelah Rasulullah SAW berdakwah
mengajak kepada Islam, memperkenalkan dan mengajarkannya baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (sirran wa jahran). Selama
lebih dari satu dekade di Makkah, Nabi
diperintahkan untuk menghindari konfrontasi dengan kaum pagan. Beliau
diperintahkan bersabar dan memaafkan mereka yang tak henti-hentinya melakukan
intimidasi dan teror.
Teroris-teroris
semacam Abu Jahal Ibn Hisyam dan Abu Lahab, tidak hanya menolak, tapi juga
merintangi dan berusaha melumpuhkan dakwah Islam, seringkali bahkan dengan
kekerasan dan penyiksaan (torture). Namun Allah berfirman, fashfah
‘anhum wa qul salam, maafkan mereka dan katakan salam perdamaian (QS. 43:
89). Waktu itu, umat Islam juga dilarang membalas kekerasan dengan kekerasan.
Mereka dipuji karena mampu bersabar dan membalas kejahatan dengan kebaikan, wa
yadra’una bil-hasanatis sayyi’ah (QS. 13: 22).
Penindasan,
kezaliman, dan teror kaum kafir Quraisy terhadap komunitas muslim mencapai
klimaksnya ketika Nabi dan para pengikutnya mulai dipersekusi. Saat itu di
Makkah hampir tidak ada lagi ruang tersisa untuk kaum muslimin menghirup
kebebasan beragama. Sejumlah petinggi-petinggi Quraisy telah berkonsfirasi
untuk menghabisi Nabi, once and for all. Hanya dua pilihan, bertahan di
Makkah atau keluar dari Islam, atau bertahan dalam Islam namun keluar dari
Makkah. Dan Rasulullah beserta kaum muslimin memilih yang kedua. Hijrah ke
Madinah, (Ibnu Katsir, 1978, II: 213-266).
Di
Madinah, Rasulullah melakukan penataan ke dalam dan perluasan sayap dakwah
Islam ke luar. Kaum muslimin yang dipimpin Nabi mendirikan masjid, memimpin
salat Jumat, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin (perantau) dan Anshar (tuan
rumah), melakukan diplomasi, negosiasi, dan ekspedisi dakwah baik dalam
komunitas lokal seperti Yahudi dengan membuat Piagam Madinah, maupun komunitas
internasional dengan kepala negara di sekelilingnya. Lalu turun perintah adzan
untuk salat berjamaah, dan perintah berpuasa pada bulan Ramadhan. Dan tidak
lama kemudian turunlah perinah berjihad (QS. 22: 39-41; 2: 190-193, dan 2:
216-218).
Dalam
ayat jihad dijelaskan dengan rinci, mengapa dan untuk apa jihad dilakukan.
Yaitu: apabila orang Islam diperangi, dizalimi, dihalau dari kampung halamannya
sendiri, semata-mata karena agama yang diyakininya itu. Jihad diizinkan apabila
dakwah disekat, kaum muslim dimusuhi dan diserang, dijajah dan dirampas hak-hak
asasinya. Apabila orang kafir melancarkan ‘udwan, muqatalah, zulm
dan fitnah terhadap Islam dan umat Islam.
Maka
tujuan jihad jelas, untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan, menegakkan
agama Allah, melepaskan umat Islam dari belenggu penindasan, menjamin dan
melindungi hak-hak mereka, mengakhiri kezalian dan permusuhan demi terciptanya
perdamaian. Musuh jangan dicari, namun kalau bertemu musuh pantang lari.
Begitulah prinsip yang diajarkan Alquran (QS. 8: 15 dan 47: 75). Ibarat lebah,
umat Islam selalu mengambil yang baik-baik (bunga) dan menghasilkan yang lebih
baik (madu) dan ketika singgah atau bermukim di mana pun selalu menjaga
kedamaian, namun jika diganggu, maka ia akan mewalawan sampai tetes darah
penghasbisan.
Dalam
konteks Indonesia dan negara-negara muslim lainnya, di mana Islam belum secara
total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam sepakat, dan umumnya berpendapat
bahwa agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah meningkatakan
kualitas individu dan organisasi muslim serta membangun kekuatan umat di segala
lini.
Dengan
jihad saja belum waktunya, apalagi harus melakukan aksi-aksi teror yang justru
dapat merugikan diri sendiri serta umat secara keseluruhan. Hasan Al-Banna, pendiri
Ikhwanul Muslimin pernah menasihati pengikutnya yang menggebu-gebu untuk pergi
berjihad, katanya, “Mati di jalan Allah itu bagus, namun akan lebih mulia jika
dapat hidup di jalan Allah!”
Ala
kulli hal, buku Kayra Kasjim Salenda ini sangat bermanfaat, kaya akan
informasi tentang terorisme serta kajian jihad secara mendalam. Ini dapat
dimaklumi karena yang bersangkutan sangat menguasai lieteratur, baik bahasa Arab maupun Inggris. Semoga bermanfaat! (telah dimuat di Majalah Panji Umat, Media Informasi MUI Sulsel. Edisi Nomor 2/Thn.I/Ramadhan-Syawal 1434 H).
Ilham
Kadir, Alumni Pascasarjana UMI, Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments