Ayatollah Khomeini, Diktator Zaman Modern

Namun
ada pula pemimpin yang secara umum hingga kini tetap dianggap suci-bersih dari
segala noda dan tingkah laku durjana, hingga menjadikan dirinya panutan hampir
sepanjang masa. Menariknya, pemimpin tersebut, lama kelamaan, boroknya
tersingkat sedikit-demi sedikit hingga pada tahap tertentu kebejatannya tersaji
dengan sempurna.
Buku
karya Emdievi Y.G. Alejandro, dengan judul “41 Diktator Zaman Modern; Mengejar Ambisi, Menuai Tragedi, Cetakan
ke-I; Visimedia: Jakarta, 2007” adalah menarik dan menakjubkan untuk ditelaah
isinya. Betapa tidak, salah satu diktator terkejam di era modern ini justru
berasal dari ‘manusia suci’ bagi aliran (agama?) Syiah. Diktator kejam nan
bengis itu adalah Ayatullah Khomeini dengan julukan oleh pengikut sesatnya
“Ruhullah”, ia disejajarkan dengan Adolf Hitler (1889-1945) sang Fuhrer Jerman
atau Alfredo Stroessner (1912-2006) sang diktator Paraguai, hingga Idi Amin
(1924-2003) sang Penjagal dari Uganda, serta Pol Pot (1928-1998) penguasa
Kamboja yang kebengisannya susah diutarakan dengan kata-kata.
Dengan
membaca judulnya saja, sudah barang tentu pembaca akan terbayang isinya. Secara
gamblang, buku ini mengupas sepak terjang kebengisan Khomeini pada halaman
24-29. Pembahasannya dimulai dengan riwayat singkat dan diakhiri dengan
meninggalnya sang Imam Syiah pada bulan Juni 1989. Tentu saja tulisan ini tidak
begitu mendalam karena 40 tokoh kejam lainnya akan pembaca nikmati dalam buku
setebal 212 halaman ini, namun dengan bahasa lunak dan materi yang padat, sudah
cukup bagi pembaca untuk menarik benang merah di setiap ulasan. Tentang
Khomeini, dapat Anda baca dalam catatan singkat saya berikut ini, tentunya
berpedoman pada buku karya Alejandro.
Ayatollah yang Bengis

Pada
tahun 1978, demonstrasi meletus secara missal di jalan-jalan oleh segenap
rakyat Iran yang bertujuan menggulingkan razim berkuasa saat itu, Shah Iran.
Dan tepat pada bulan Januari, berkat kerjasama yang padu antara komponen
masyarakat yang selama ini terzalimi, baik Ahlussunnah maupun Syiah, rezim Shah Iran pun tumbang, dan ia akhirnya
lari Ke Mesir. Perlu dicatat, bahwa tumbangnya Shah Iran, Reza Pahlevi bukan
karena peran penting Syiah sebagai ideologi dan aliran, melainkan kolaborasi
seluruh komponen masyarakat Iran yang selama ini terzalimi untuk bangkit dalam
memerangi Shah Iran yang tiran. Sebagai segenap komponen masyarakat, di sana
terdapat aliran sosialis, sekuler, Ahlussunnah, hingga Syiah, persis dengan
reformasi yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia. Ketika seluruh komponen
masyarakat bersatu padu untuk menggulingkan Presiden Republik Indonesia,
Soeharto sebagai pencetus dan penguasa Orde Baru.
Kembali
ke Iran. Saat Reza Pahlevi sebagai Shah Iran terguling dan lari terbirit-birit
ke Mesir. Ayatollah Khomeini saat itu, dengan tenangnya, sedang menikmati hembusan angin
sepoi-sepoi di Neuf-le-Chteu, sebuah wilayah pinggiran di kota Paris, Prancis,
dan itulah momen yang selama ini ditunggu-tunggu Khomeini. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dengan mempersiapkan segalanya, dua minggu kemudian, Khomeini
kembali ke Iran dengan penuh kemenangan dan diakui oleh para pengikutnya
sebagai seorang pemimpin tanpa ada pemilihan dan pemulihan. Selanjutnya bisa
ditebak, ia pun mengukuhkan dirinya sebagai seorang pemimpin Negara dan agama
sekaligus.
Dengan
semangat revolusioner dan dorongan balas dendam yang kesumat. Khomeini lalu
membentuk kelompok dari para rakyat sipil yang dipersenjatai lalu diperalat.
Orang-orang sipil yang lengkap dengan senjata, punya semangat revolusi yang
tinggi, dan tidak berilmu alias jahil selalu bersedia bergerak seperti remote control yang dipencet oleh
Khomeini. Tentara gadungan itu diperintah oleh Ruhullah untuk membabat habis
para sisa-sisa pendukung Reza Pahlevi dan, bahkan dikemudian hari, tentara Khomeini
itu melakukan genosida (pembantaian missal) terhadap siapa pun yang tidak
setuju dengan segala arahannya, tidak hanya itu, mereka yang beda paham dalam agama pun direduksi as much as possible, termasuk para
pengikut Ahlussunnah wal Jamaah, yang di era rezim Shah Iran masih dapat hidup
nyaman dan berkembang, namun setelah Khomeini berkuasa, satu persatu mereka
dihabisi, once and for all. Pilihan
mereka: ikut Syiah dengan selamat atau tetap sebagai Ahlussunnah namun dikebiri.

Provokasinya
pada Irak di tahun 1980 telah memicu terjadinya Perang Iran-Irak yang menelan korban
jutaan jiwa manusia tak berdosa, padahal ini hanyalah sebuah ambisi pribadi
yang tidak jelas. Dia menolak segala upaya damai yang ada, perang akhirnya
hanya bisa dihentikan setelah Amerika ikut campur dengan menenggelamkan
kapal-kapal perang Iran di Teluk Persia. Khomeini menganggap segala upaya
gencatan senjata sebagai ‘lebih mematikan daripada minum racun’ padahal ia
sendiri mengaku seorang muslim dan Irak adalah Negara Islam, sebuah kekonyolan
yang susah dimengerti.
Pada
masanya, dengan keadaan ekonomi yang menurun derastis dan hilangnya generasi
muda Iran yang terkubur di medan peran ‘konyol’, rakyat Iran mulai
bertanya-tanya, apakah Tuhan tidak
memberi berkah kepada revolusi mereka, karena yang terjadi justru Khomeini
membawa bala’un azhim (musibah yang
besar).
Melihat
keadaan itu, untuk menyatukan para pengikutnya, ia lantas mengeluarkan fatwa
yang memerintahkan penulis buku “The
Satanic Verses”, Salman Rushdie,
agar dihukum mati karena telah melecehkan Nabi Muhammad dan umat Islam. Triknya
begitu ampuh menyihir para pengikut dan pendukungnya, bahkan dengan lihainya ia menegaskan jika posisinya
sebagai mufti mewakili umat Islam
seluruhnya, sejujurnya ini hanyalah akal-akalan Khomeini, buktinya, Salman Rushdie
aman-aman saja. Dan tidak sedikit yang terkecoh, lantas mengidolakan sang
diktator bengis zaman modern itu. Sejatinya, Ayatollah Khomeini, tak lebih dari
seorang pemimpin ambisius yang melahirkan tragedi akidah dan kemanusiaan. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, MA. Alumni
Pascasarjana UMI Makassar dan Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments