Islamisasi Nusantara; Syiah tidak Berperan

Sejarah
sebagai catatan, laporan, prasasti, berita, khabar atau hadits
adalah medan tempur kepentingan-kepentingan, ideologi-ideologi,
worldview-worldview, dan misi para penulisnya. Dan pastinya, tidak semua
penulis sejarah itu jujur dan teguh berpegang pada kebenaran. Sebagian mungkin
tidak mengerti atau tidak mau tahu dan sengaja mengabaikannya, sebagian lainnya
bahkan ‘menggunting’ kebenaran tersebut dan menyulamnya dengan kebatilan
sehingga kaburlah pandangan orang dan rancu serta kelirulah antara fakta dan
fiksi, antara hakikat dan khayalan, antara sejarah dan mitos antara kenyataan
dan ‘isapan jempol’ belaka. (Dr. Syamsuddin Arif, Jurnal Islamia,
Volume. VII. No. 2, 2012). Yang jelas, bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai sejarahnya. Hidup memang bergerak ke depan namun hanya bisa dipahami
jika kita menoleh ke belakang.
Jalaluddin
Rakhmat, intelektual Syiah Indonesia, penebar kesesatan dan penabur caci dan
makian terhadap sahabat Nabi, dalam salah satu wawancara yang dilangsir oleh media online www.viva.co.id (02/09/2012),
ia menuturkan dengan yakinnya bahwa sebenarnya Syiah telah masuk ke Indonesia
sejak awal kedatangan Islam. Pendiri Ijabi yang mengaku-ngaku telah
menyelesaikan program doktoralnya di Australian National University, Australia
dan telah dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Padjadjaran, Bandung
ini, (Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, 2004), memperkuat argumennya dengan menyebut salah satu
contoh ritual tahunan Syiah, seperti ‘tabuk’ yang rutin dilakukan oleh
masyarakat Sumatra. Tabuk adalah sejenis peti
yang dibuat dari anyaman bambu atau burung-burungan burak yang terbuat dari
kayu lalu dibawa berarak pada peringatan terbunuhnya Hasan-Husein setiap
tanggal 10 Muharam, (Kamus Besar Basaha Indonesia, 2001). Perayaan tahunan
‘tabuk’ atau ‘tabuik’ mirip dengan ‘ta’ziyeh’ di Iran. Selain itu, Kang Jalal,
sapaan akrabnya, secara jujur mengatakan bahwa para penganut Syiah yang telah
lebih dulu masuk ke Indonesia ber-taqiyah, sehingga mereka tidak
menampakkan ke-Syiah-annya. Secara sederhana taqiyah adalah kondisi luar
yang berbeda dengan yang ada dalam hati atau yang sebenarnya alias mengatakan
perkataan bukan sesungguhnya (idza hadatsa kazdaba).
Pendapat
Jalaluddin Rakhmat di atas harus disanggah dengan hujah yang ilmiah, karena
akan membawa dampak psikologis bagi penganut Ahlussunnah secara umum, dan
pergolakan Sunni-Syiah secara khusus di Indonesia. Percaya apa yang diucapkan
oleh Mahasiswa program doktoral by research UIN Alauddin itu, konsekwensinya,
Ahlussunnah di Indonesia harus menerima keberadaan aliran dan ajaran sesat dan
menyimpang (heretical and heterodox) Syiah dengan legowo.
Alasannya sederhana saja, Syiah sudah lama bertapak di Indonesia.
Pengalaman
pribadi penulis turut menjadi pendorong untuk melahirkan artikel ini. Beberapa
waktu lalu, salah seorang rekan mengirim pesan singkat (SMS) yang isinya
menekankan bahwa pada dasarnya Islam yang pertama kali ke Indonesia adalah
Islam-Syiah minus imamah. Benarkah demikian?
Bagaimana
islamisasi bermula?
Adalah
Christiaan Snouck Hurgronje (w.1936), orientalis kesohor sekaligus penasehat
kolonial Belanda berpendapat bahwa Islam tiba di Nusantara pada abad ke-13 Masehi,
yakni setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah akibat serbuan tentara Mongol secara
sporadis dan biadab pada tahun 1258 M. Pendapat klasik dan jamak diamini oleh
bangsa Indonesia ini didasarkan pada catatan yang terdapat pada batu nisan kubur
Sultan Malik As-Shalih bertahun 696 H atau 1297 M, dalilnya ditambah dengan
warta perjalanan Marco Polo yang sempat singgah di Sumatra pada tahun 1292 M dan mencatat ramainya rakyat
kerajaan Perlak telah memeluk Islam, (Marco Polo, Chathay and the Way Thither,
1866). Logika yang dibangun Hurgronje sederhana saja: kalau Islam memang sudah
bertapak sebelum abad ke-13 Masehi, kenapa tidak ada bukti tertulis kongkrit
atau empiris? Ketiadaan bukti adalah bukti ketiadaan, menurut orientalis yang pernah
nyantri di Masjidil-Haram Mekkah ini.
Namun
tesis Hurgronje di atas telah terpatahakan karena belakangan dijumpai di
daerah Leran, Gresik Jawa Timur sebuah
batu nisan seorang yang bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatillah dengan
tulisan Kufi bertahun 495 H/1102 M, bacaan lain menyatakan 475 H/1082 M. Dengan
sendirinya pendapat Hurgronje gugur, dan dapat dipastikan jika Islam masuk
Indonesia sebelum tahun 1082 M. (S.M.
Al-Attas, Historical Fact and Fiction, 2011).
Pendapat
yang kini disepakati secara umum oleh para sejarawan mutakhir, yang dalam
istilah Syamsuddin Arif sebagai “revisionis”, manyatakan bahwa Islam telah
masuk ke wilayah Nusantara sejak awal abad ke-7 Masehi, tepatnya sejak zaman
Khulafa ar-Rasyidin kurun pertama Hijriah. Pendapat yang kini diyakini
mayoritas sarjana muslim ini didukung oleh data-data sejarah yang banyak, di
antaranya, warta dari Cina zaman Dinasti T’ang (618-907 M) yang menyebut
orang-orang Ta-Shih (Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling
yang diperintah Ratu Sima (674 M), maka beberapa ahli menyimpulkan bahwa
orang-orang Islam dari tanah Arab sudah berada di Nusantara –diperkirakan
Sumatra- pada abad ke-7 Masehi, (Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan
Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi,
2000).
Bukti
lain juga diungkapkan oleh Ibrahim Bushori, merujuk angka tahun yang terdapat
pada batu nisan seorang ulama bernama Syaikh Rukhnuddin di Baros, Tapanuli,
Sumatra Utara, dimana tertulis tahun 48 H/670 M. Ada kemungkinan bahwa “kapur
Barus” telah dikenal dan diekspor sampai ke Mesir untuk menghilangkan bau busuk
mayat. Beberapa sejarawan seperti Hamka dan Al-Attas percaya bahwa lafaz
“kaafuur” yang disebut Alquran (86:5) adalah kapur dari Baros. Maka tak salah
jika disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah,
atau abad kedatangannya di jazirah Arabia. Dan bukan mustahil pula jika
Rasulullah SAW sebagai manusia bertindak sesuai anjuran wahyu telah mengutus
para sahabatnya untuk berangkat berdakwah ke Nusantara, (Al-Attas, Historical
Fact and Fiction, 2011).
Bahkan
dikemudian hari, telah dijumpai bukti-bukti historis hubungan diplomatik
internasional kerajaan Sriwijaya dengan penguasa di era Bani Umayyah, antara
lain adalah dua pucuk surat. Surat pertama, sebagaimana ditulis oleh seorang
ilmuan Arab bernama Al-Jahiz (163-255 H/783-869 M) yang di antara karyanya
adalah Kitab Al-Hayawan, bahwa sepucuk surat ditujukan kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan (41 H/661 M). “Dari Raja Al-Hind [Kepulauan India] yang kandang
binatangnya berisikan seribu gajah, dan istananya terbuat dari emas dan perak,
yang dilayani seribu putri raja-raja, dan memiliki dua sungai besar [Musi dan
Batanghari] yang mengairi pohon gaharu, kepada Mu’awiyah...” Surat kedua jauh
lebih jelas, dialamatkan kepada Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-20 M), surat
menunjukkan betapa hebatnya Maharaja Sriwijaya dan kerajaannya, “Dari Raja di
Raja [Malik Al-Amlak=Maharaja]; yang adalah keturunan seribu raja; yang
istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya
terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi
pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus, yang semerbak
wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab [Umar bin Abdul
Aziz], yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah
mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak
begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan
kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan
tentang hukum-hukumnya”. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 1994).
Pendapat
revisionis ini juga didukung oleh Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn
Talib Ad-Diamsyqi (w.1327 M) alias Syaikh Ar-Rabwah dalam kitabnya, Nukhbat
ad-Dahr fi ‘Aja’ib al-Barr wal-Bahr, yang menulis bahwa Islam telah masuk
ke Nusantara melalui Champa (Kamboja dan Vietnam) sejak zaman Khalifah Usmn bin
Affan, atau sekitar tahun 30 H/651 M alias abad ke-7 Masehi.
Teori islamisasi
Selain
tahun, jalur atau rute islamisasi Nusantara juga menjadi bagian penelitian yang
melahirkan perdebatan, penulis mencoba memaparkan teori islamisasi yang
dimunculkan oleh para peneliti. Teori Gujarat: Islam dibawa masuk ke Nusantara
oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, India. Jadi orang-orang Islam yang
menyebarkan agamanya di Indonesia tidak langsung datang dari negeri Arab, sebab
unsur-unsur keislaman di Indonesia yang mirip dengan India, seperti
cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa yang ada di Nusantara tidak ada di
Arab namun berasal dari India. Dikatakan pula bahwa kebiasaan muslim di
Indonesia menunjukkan beberapa kesamaan dengan kebiasan penganut Syiah di
Pantai Malabar dan Karomandel. Selain itu, berdasarkan kisah perjalanan seorang
pelaut bernama Sulayman tahun 851 M serta catatan Marco Polo dan Ibnu Batutah
yang transit di Sumatra pada abad ke-14 Masehi. Maka disimpulkanlah jika
kedatangan Islam pasti melalui jalur perdagangan dari Teluk Persia ke Pantai
Barat India, lalu dari Gujarat dan Malabar masuk ke Nusantara. Pendapat ini
dipegang oleh Hurgronje, dan diterima luas oleh sejarawan seperti R.A. Kern,
Stapel, H.J.Van den Bergh, H. Kroeskamp, hingga Rosihan Anwar, (Rosihan Anwar,
Sejarah Kecil ‘petite histoire’ Indonesia, 2009). Pendapat di atas seakan
telah menjadi kesepakatan umum hingga akhirnya seorang orientalis bernama G.E.
Morrison menunjukkan kekeliruan dan beberapa kejanggalan faktual. Menurut
Morrison, tidak mungkin Islam di Nusantara berasal dari propinsi Gujarat, sebab
Marco Polo menceritakan Cambay pada tahun 1293 sebagai kota Hindu, sementara
Gujarat baru jatuh ke tangan Islam pada tahun 1297 M. Selain itu di Gujarat
mazhab syafi’i tidak dominan dan cerita-cerita rakyat Aceh lebih diwarnai rasa
Tamil daripada Hindi, (Armando Cortesao [Ed.], The Suma Oriental of Tome
Pires, 1990).
Teori
Persia. Bahwa Islam di Nusantara dibawa masuk oleh para pendatang dari Persia
dengan dalih dan dalil banyaknya data-data sejarah yang kuat mengenai pelayaran
orang-orang Persia ke India via Nusantara ke Cina bahkan sejak zaman pra-Islam,
(Hadi Hasan, A History of Persian Navigation, 1928). Pemberita Cina,
Yuan-Tchao, dalam Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-lou yang ditulisnya
pada awal bada ke-9 mencatat bahwa pada tahun 99 H/717 M ada sekitar 35 kapal
dari Persia tiba di Palembang. Selain itu, data linguistik juga menguatkan
dugaan bahwa penyebaran Islam datang dari rute Persia, tidak sedikit kata dalam
bahasa Melayu-Indonesia yang berasal dari bahasa Persia, seperti, ‘bandar’,
‘syah’, ‘pasar’, ‘penjara’, ‘gandum’, dst., (Ahmad Kazem Mossavi, Kehadiran
Tasawuf-Persia dalam Literatur Nusantara [Malaysia-Indonesia], Jurnal
Islamia, Vol. II. No. 3/Desember 2005). Bahkan istilah “Zibrad” dalam
bahasa Persia bermakna “Negeri di Bawah Angin” alias “Toddang Anging” dalam
bahasa Bugis, merupakan frasa navigasi yang dipakai pelaut dari teluk Persia
menuju Benggala, dan kepulauan Nusantara. Hasil penelitian ini di kemukakan oleh G.E.
Morrison. Namun masih kabur, apakah Islam yang datang ke Nusantara melalui Persia
itu versi Syiah atau Sunni. Dijawab oleh Al-Attas bahwa ajaran Syiah di Persia
baru mulai berkembang abad ke-17 M
ketika Syah Ismail Safawi memerintah Iran
bukan sebelumnya, ( Wan Daud, Budaya Ilmu, Satu Penjelasan,
2007). Tegasnya: jika memang Islam melewati rute Persia, maka dipastikan kalau
penganut Ahlussunnah yang menjadi penyebarnya, bukan Syiah. Tesis Al-attas
sekaligus membuyarkan dugaan spekulatif Jalaluddin Rakhmat bahwa Syiah sedari
awal telah berada di Nusantara, dan mereduksi dongeng orang awam bahwa Islam
Indonesia pada awalnya adalah Syiah minus imamah.
Teori
Benggala. Islam masuk ke Nusantara melalui rute Benggala, pendapat ini
dimunculkan oleh S. Qadarullah Fatimi yang berdasar pada laporan Tome Pires
(1512-1515), berita-berita Cina, serta unsur tasawuf yang terdapat di Indonesia
dan Malaysia. Menurut Fatimi, pendiri kerajaan Islam pertama di Aceh adalah
Merah Silau yang berasal dari Benggala. Kesimpulan ini diambilnya dari catatan
perjalanan Tome Pires yang mengabarkan bahwa raja-raja di Sumatra pada waktu
itu telah beragama Islam. Petunjuk lainnya adalah, kebiasaan orang Nusantara
memakai kain “sarung” yang dikatakan sama dengan kebiasaan orang Benggala.
(S.Qadarullah Fatimi, Islam Comes to Malaysia, 1963).
Teori
Mesir. Karena Islam yang diamalkan di Nusantara bercorak Sunni-Syafi’i, maka
ada kemungkinan asalnya dari negeri Mesir, karena negeri inilah yang terbanyak
pengikut Syafi’i-nya, dan di sana pula Imam Syafi’i (w.204 H) tutup usia.
Pendapat ini dilontarkan oleh S. Keyzer, profesor hukum ketimuran dari Belanda.
Tapi Keyser langsung dibantah oleh G.W.J Drewes yang menuding bahwa Keyser
tidak tahu jika orang Arab yang datang ke Nusantara mayoritas dari Hadramaut,
Yamman, dimana mazhab mereka adalah Syafi’i, andai dia tahu, niscaya akan
berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara via Yamman, (G.W.J Drewes, New
Light on the Coming of Islam to Indonesia, 1985).
Teori
Cina. Islam datang ke Nusantara melalui muslim dari Cina. Sesuai dengan
penuturan I-Tsing, seorang agamawan dan pengembara terkenal Cina yang pada
tahun 51 H/671 M, dengan menumpang sebuah kapal milik orang Islam dari Kanton,
singgah di pelabuhan muara sungai Bhoga atau Sriboga alias Sribuza, nama lain
dari sungai Musi di Palembang yang menjadi pusat kerajaan Sriwijaya ketika itu.
Pendapat ini dilontarkan oleh Slamet Muljana seorang pakar sejarah dan ahli
filologi dari Universitas Indonesia, menurutnya Islam di Nusantara datang,
bukan hanya menopoli dari wliayah India dan Timur Tengah tapi juga dari negeri
Cina, tepatnya propinsi Yunan. Kedatangan Cheng Ho alias Zheng He alias H.
Mahmud Syamsuddin (w.1433) dari Dinasti Ming dengan maksud mengamankan jalur
lalu lintas laut dari Cina ke India, Arabia dan Afrika di samping mengadakan
hubungan diplomatik pada kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai bukti yang absah,
(Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara, 2005). Tapi pendapat Muljana di atas dipertanyakan oleh
Syamsuddin Arif karena sumber pendapatnya diambil dari buku sejarah yang tidak resmi seperti Babad
Tanah Jawa dan Serat Kenda yang ditulis pada zaman kerajaan Mataram
abad ke-17 yang perlu dipertanyakan keotentikannya karena kitab tersebut
bercampur baur antara fiksi dan fakta serta tidak ditopang dengan bukti-bukti
keras semacan prasasti. Hal ini juga dibantah oleh Ahmad Mansur Suryanegara,
ahli sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung, menurutnya, kesimpulan
Muljana sukar diterima, (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009).
Teori
Arabia. Diyakini bahwa tersebarnya agama Islam di Nusantara berkat usaha para
mubalig dari jazirah Arabia secara sistematis dan kontinuitas. Meski tidak
dapat dipastikan waktunya, kapan pertama kali mereka datang berdakwah. Namun
banyaknya informasi tentang hubungan sudah berjalin selama berabad-abad antara
jazirah Arabia dan Nusantara semenjak pra-Islam menjadikan pendapat ini lebih
valid. Dokumen-dokumen kerajaan Cina Dinasti T’ang (618-907) menyebut tentang kunjungan orang Arab pada
zaman Khalifah Utsman bin Affan. Dan tak kala muncul kerajaan Sriwijaya di Sumatra,
perairan Nusantara semakin kerap dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Arabia
dan Persia dalam pelayarannya via India ke Cina. Teori ini diamini oleh Sir
John Crawfurd, Thomas Arnold, dan Al-Attas. Alasannya, karena orang Arab yang
pertama kali mengajarkan Islam ke Nusantara pastilah bermaszhab Syafi’i yang
berada pada kawasan pesisir Arabia tempat mereka mengangkat sauh. Dan memang
iya, buktinya penganut Islam yang ada di Nusantara adalah umumnya bermazhab Syafi’i.
Teori Arabia ini mengantarkan kita pada kesimpulan di bawah.
Kesimpulan
Seminar
Historiografi Islam Indonesia yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kementrian
Agama RI pada 10-12 Desember 2007 di Cisarua Bogor dan dihadiri oleh para ahli
disiplin ilmu terkait, termasuk Azyumardi Azra, Badri Yatim, Maidir Harun,
Ahmad Mansur Suryanegara, dan para wakil dari sejumlah perguruan tinggi dan
ormas Islam, serta para peneliti. Ditegaskan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara
sejak abad ke-7 Masehi atau pertama Hijriah, langsung dibawa oleh para ahli agama
dari Arabia (Yaman) yang datang ke gugusan pulau-pulau di semenanjung Melayu,
seperti Sumatra. Agama Islam sendiri secara resmi masuk ke Yaman melalui
seorang sahabat yang diutus langsung oleh Nabi, Mu’az bin Jabal yang sekaligus
menjadi gubenur di sana pada tahun 630 M. Bersama para saudagar dari sana pula
ulama muablig itu berlayar ke Cina menelusuri kawasan Asia Selatan (India,
Benggala) sampai ke Sumatra. Pelayaran mereka sangat bergantung pada angin
Barat Laut yang bertiup pada bulan September dan akhir Desember, sehingga
mereka harus menunggu dan singgah terlebih dahulu di kawasan Sumatra dan Malaya
selama beberapa bulan, sebelum meneruskan pelayaran ke tempat tujuan. Sebagian
mereka sengaja datang dan menetap hanya untuk berdakwah. Inilah fakta islamisasi
Nusantara sesungguhnya yang ingin dikaburkan oleh para orientalis dan penganut
ajaran sesat Syiah. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, M.A. Pencinta Sejarah dan Peneliti LPPI Indonesia
Timur.
Comments