Tujuan Sekunder Puasa

Khusus di
bulan suci Ramadhan, puasa merupakan kemestian perorangan (fardhu ‘ayn)
setiap individu yang berakal dan tumbuh dewasa. Di luar bulan suci Ramadhan,
kaum Muslim juga dibolehkan dan dianjurkan berpuasa secara suka rela
berdasarkan petunjuk Rasulullah, di samping puasa denda dan kompensasi (qadha)
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Puasa adalah
ritual klasik yang terdapat pada semua agama. Inilah yang disitir dalam Alquran
(QS 2:183) ‘kama kutiba ‘ala l-ladzina min qablikum’. Bagaimana
persisnya cara mereka berpuasa hanya dapat diduga-duga, mungkin begini dan
mungkin begitu, namun sukar untuk dipastikan seperti apa praktiknya. Yang
jelas, syariat Muhammad saw telah menganulir sekaligus mengintrodusir bentuk
final tata tertib puasa bagi kaum beriman, sebagaimana Anda. Artinya, cara
berpuasa yang tidak sejalan atau berbeda dengan regulasi yang ditetapkan dalam
syariat Islam dipastikan nihil.
Tujuan Sekunder
Tujuan primer puasa adalah untuk mengangkat manusia ke puncak
kehidupan rohani yang paling tinggi dan mulia, yaitu menjadi orang-orang yang
bertakwa. Namun bukan berarti puasa tidak memiliki tujuan sekunder, atau manfaat
dalam jangka pendek, yaitu dalam kehidupan di dunia ini.
Dalam setiap perintah yang tertuang dalam ajaran-ajaran Islam, tak
terkecuali puasa, setidaknya memiliki dua landasan. Yang pertama, karena adanya
perintah dan setiap perintah pada umumnya wajib, minimal sunnah, atau ada
larangan yang di dalamnya terkandung haram atau makruh. Poin pertama ini yang
ditekankan adalah ketaatan. Jadi seorang muslim dapat diukur ketaatannya pada
agama dengan melihat sejauh mana
kesabaran dan keihklasannya dalam melaksanakan seluruh perintah Allah, termasuk
yang sunnah serta menjauhi larangannya, tak terkecuali yang makruh. Para ulama
mengistilahkan sebagai ‘ta’abbudy’, yaitu ketetapan dari Allah yang kita
hanya wajib mematuhinya, tanpa menganalisa segala bentuk perintah dan larangan.
Sebagai contoh: perintah untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan penuh
tidak boleh dipertanyakan, mengapa harus sebulan dan kenapa bukan seminggu
saja, atau mengapa mesti pada bulan Ramadan, kenapa bukan bulan Syawal?
Yang kedua, karena adanya alasan dibalik larangan setiap perintah yang
disebut ‘illat’. Artinya, umat Islam yang melakukan sebuah ibadah karena
ada alasan-alasan rasional yang bisa ditangkap akal fikiran. Diwajibkannya
salat misalnya, karena salat dapat mencegah pelakunya dalam berbuat maksiat.
Seorang pelaku maksiat belum dikatakan salat dengan sempurna jika maksiatnya
terus berjalan, korupsi adalah bagian dari maksiat yang sangat merugikan, baik
diri sendiri maupun orang lain. Begitu pula dalam bentuk larangan,
diharamkannya Narkoba, karena ia dapat merusak jiwa, raga, dan harta benda,
sedangkan menjaga jiwa, raga, dan harta benda adalah bagian dari tujuan hukum
itu diturunkan (maqashid asy-syari’ah).
Puasa adalah salah satu bentuk perintah yang mengundang para ulama
dan ilmuan untuk meneliti dan mengkaji ragam manfaat yang ditimbulkan. Kajian
dan penelitian tersebut dapat menambah keyakinan orang beriman bahwa puasa
selain menjadikan seseorang bertakwa juga memiliki manfaat lain yang sungguh
luar biasa.
Riset dan pengalaman para ulama telah menyimpulkan bahwa puasa
mengandung banyak hikmah antara lain: (1) melatih jiwa dan memelihara watak
amanah, sebab puasa itu adalah amanah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga.
Dengan demikian, terlatih pulalah jiwa untuk memelihara amanah-amanah yang lain.
Tidak ada yang dapat mengawasi seseorang untuk melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa kecuali Allah semata, dan Dia pula yang langsung memberinya
pahala, ash-shaumu li wa ana ajzi bih; (2) menempa jiwa supaya memiliki kekuatan dan daya tahan
menanggung penderitaan, memperkuat kemauan, meneguhkan pendirian dan cita-cita;
(3) menghilangkan dan mengendalikan
sifat rakus dan tamak kepada makan dan minum. Sifat tersebut termasuk dalam
sifat kehewanan bahimiyah. Dengan
demikian, timbullah sifat keutamaan dan kemanusiaan; (4) mengurangi hawa nafsu
keduniaan dan kemewahan hidup, sehingga mendekatkan diri taqarrub kepada Tuhan, dan akhirnya meningkat menjadi yang muqarrabin tingkatan ini adalah maqam
yang tertinggi dalam fase spritual
seseorang, para orang bijak menyimpulkan bahwa hasanatul abrar sayyi’atul muqarrabin, dosanya para muqarrabin adalah masih merupakan amalan baik
orang-orang yang saleh (abrar);
(5) membiasakan diri bersikap sabar dalam mengendalikan hawa nafsu makan,
minum, besetubuh, menahan marah, dan lain-lain. Artinya seorang muslim harus
memiliki kedisiplinan yang tinggi, seoang yang berpuasa harus makan dan minum
dalam waktu terbatas. Bahkan dalam berbuka pun harus disegerakan; (6)
meningkatkan perasaan untuk menyadari dan mengenal diri sendiri introspeksi bahwa manusia itu adalah
makhluk yang lemah, dan berkehendak kepada bermacam-macam kepentingan; (7)
membentengi diri manusia untuk tidak melakukan kejahatan dan kemaksiatan,
karena puasa merupakan sistem pendidikan untuk membentuk tabiat muttaqin, yaitu orang yang menjaga
hubungan dengan Allah, dengan cara melindungi dirinya dari kejahatan. Dengan
demikian, terjalinlah hikmah shalat dan puasa. Shalat mencegah mukmin dari
kejahatan, sedangkan puasa melindungi dari kejahatan; (8) menggerakkan hati
orang-orang kaya supaya menyantuni orang-orang miskin, dan menanamkan benih
belas kasih dan kasih sayang syafaqah wa
rahmah terhadap fakir miskin, anak-anak yatim, dan orang-orang melarat dan
sengsara pada umumnya. Kalau semua ini dikerjakan dengan ikhlas, niscaya akan
meningkatkan rasa solidaritas sosial di kalangan umat. Seorang yang merasa
lapar dan dahaga akhirnya juga bisa ikut merasakan kesengsaraan saudara-saudaranya
yang kekurangan atau tertimpa bencana. Sehingga tumbuh perasaan kasih sayang
terhadap umat yang membutuhkan uluran tangan; (9) menghidupkan kekuatan fikiran
dan kekuatan lainnya yang hanya dapat dicapai dengan mata hati bashirah; dan (10) meningkatkan
kesehatan dan kebugaran tubuh. Menurut statistik ilmu kesehatan, 60% penyakit
berasal dari perut, apabila perut tidak dikendalikan, maka banyak penyakit akan
tumbuh. Di Jerman ada fasten Institut
atau lembaga puasa, yang menggunakan puasa sebagai terapi, yaitu dengan cara
pengobatan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu yang menurut
pengobatan modern belum dapat disembuhkan. Fasten Institut ini
membuktikan kebenaran Islam bahwa puasa dapat memelihara kesehatan, bahkan
dapat menyembuhkan penyakit-penyakit yang berasal dari perut.
Melihat manfaat yang didatangkan oleh ibadah puasa, maka semestinya
tidak ada lagi keraguan untuk menjalankan ibadah yang pada dasarnya telah
diwajibkan pada umat-umat terhadulu, dan juga telah dilaksanakan agama-agama lain
dengan tujuan yang berlainan pula. Ini juga menandakan jika syariat puasa yang
merupakan bagian dari syariat Islam sangat tidak bertentangan dengan fitrah
manusia yang mencintai amanah, empati, sederhana, tidak rakus, lemah lumbut
penyayang, dermawan, dan segenap sifat-sifat mahmudah (terpuji) yang
ditimbulkan oleh ibadah puasa. Selamat berpuasa!
Ilham Kadir, Anggota Majelis
Ulama dan Intelektual Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti LPPI.
Comments