Puasa dan Tujuannya
Pada umumnya, sepuluh hari pertama setiap Bulan Ramadan para dai, baik bil
kalaam (ceramah) maupun bil qalam (tulisan) selalu menekankan
keutamaan Bulan Ramadan dan segala bentuk ibadah yang harus atau sebaiknya
dilakukan. Di antara pembahasan yang kerap muncul adalah terminologi puasa –yang
merupakan ibadah inti Ramadan—baik secara bahasa maupun secara syariat
(istilah).
Dalam agama Islam, setiap istilah atau ‘kata kunci’ yang bersumber dari
Alquran dan hadis selalu memiliki dua pengertian, yaitu bahasa dan istilah. Kata
Islam misalnya, diartikan dengan penyerahan diri atau al-istislam, tapi
dari segi istilah Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan
merupakan agama terakhir satu-satunya yang diridhai oleh Allah. Aliran Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme kerap memaknai ‘Islam’ hanya sebatas makna dari segi
bahasa saja, sehingga mereka berpendapat bahwa agama apa pun yang menyerahkan
diri kepada Allah merupakan bagian dari Islam. Pendapat sejenis ini jelas-jelas
memperkosa makna ‘Islam’ sesungguhnya.
Puasa, dalam segi bahasa adalah menahan (imsaak). Ada pun dari segi
istilah adalah menahan makan, minum, bersenggama dan segala bentuk amalan yang
dapat menghilangkan pahala puasa, sejak terbit fajar, hingga matahari
tenggelam. Inilah terminologi puasa yang tidak diperselisihkan oleh para ulama
dan sesuai dengan tuntunan Alquran dan hadis. Jadi sekadar menahan makan,
minum, senggama saja tidak cukup, namun harus dibarengi dengan menahan bentuk
aktivitas yang menghilangkan pahala puasa, agar bukan sekadar lepas dari
kewajiban syariat dan hanya mendapatkan lapar dan dahaga, inilah yang disitir
oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh
Al-Albani, rubba sho’imin laysa lahu min siyamih illa al-ju’, berapa
banyak yang berpuasa tapi puasanya hanya sekadar mendapat lapar.
Tujuan Puasa
Umat Kristen yang ajarannya bersumber dari Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru juga terdapat anjuran untuk berpuasa. Dalam perjanjia lama
dikisahkan adanya puasa atas kematian Saul dan anak-anaknya, mereka menjadi
korban dalam peperangan antara Palestina dan Israil, kematian itu membuat orang
Israil bersedih dan berpuasa selama tujuh hari.
Selain puasa Saul, umat Kristen juga mengenal puasa Ezra sebagai
bentuk rasa syukur Ezra dan rombongannya atas keselamatan yang diberikan Tuhan
ketika pulang dari Babel ke Jerussalem.
Sementara dalam Kitab Perjanjian Baru disebutkan beberapa puasa
yang kerap dilakukan oleh umat Kristen, di antaranya puasa yang pernah dijalani
Yesus selama 40 hari 40 malam, serta puasa yang dilakukan Paulus tiga hari tiga
malam dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat. Ada pula puasa jemaat
yang bertujuan menguatkan Paulus Barnabas dalam pelayanan.
Kaum Yahudi sebagai keturunan Nabi Ya’qub (Israil) yang taat
beribadah, kaya akan ritual keagamaan termasuk puasa, namun tidak terdapat
secara rinci tata cara puasa bagi mereka kecuali apa yang pernah dilakukan oleh
Nabi Musa saat hendak menerima wahyu di Bukit Sinai.
Dalam tradisi Hindu, puasa dikenal dengan Upasawa, beragam corak
puasa yang dilakukan oleh umat Hindu. Seperti puasa Siwaratri yaitu tidak makan
dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga terbenam keesokan harinya. Umat
Hindu juga mengenal puasa ‘sunah’ biasanya dilakukan pada hari-hari suci,
upacara tertentu, atau ketika melakukan meditasi dan bersemedi. Puasa semakin
afdal jika diiringi pembagian sedekah bagi kaum fakir.
Shinto juga merupakan agama yang dikenal suka berpantang. Seperti
makan daging dan mendekati wanita, kedudukan badan hukum agama yang disebut
Imbe befungsi menyiapkan selamatan-selamatan bagi para dewa karena telah
melakukan pantang (puasa) dari segala pengotoran terhadap jiwa.
Ajaran Taoisme dan Konfusianisme bagi masyarakat Cina kuno juga
melakukan puasa. Biasanya puasa dilakukan jika tertinpa musibah, puasa
bertujuan menghalangi bencanan serupa terulang kembali. Orang-orang Tibet dalam
berpuasa selama 24 jam tanpa mengkonsumsi apa punm termasuk tidak boleh menelan
air liur.
Agama Budha menyebut puasa dengan ‘uposathe’ yang dilakukan pada
hari bulan purnama atau bulan gelap menurut penanggalan Buddhis. Saat melakukan
uposata mereka dilarang untuk membunuh makhluk hidup, mencuri, bersenggama, dan
berbicara yang tidak bermanfaat. Termasuk menari, menyanyi, bermain musik,
melihat hiburan, memakai wangi-wangian, serta alat-alat untuk mempercantik
diri.
Umat Islam sebagai agama terakhir mengenal puasa dengan sebutan
‘shaum’ puasa dimaksud sebagaimana pengertian menurut syariat di atas. Terbagi
menjadi sunah dan wajib, puasa hanya diwajibkan pada bulan Ramadan dalam penanggalan Hijriah sebagaimana
dimaksud dalam Alquran surah Albaqarah [2]: 183, 184, dan 185. Ajaran Islam menekankan
bahwa tujuan utama seorang muslim beriman berpuasa adalah untuk menduduki
sebuah maqam spritual tertinggi yang disebut takwa.
Adab-adab puasa
Untuk menggapai kesempurnaan puasa, maka para ulama telah menjelaskan
adab-adab puasa yang harus dilalui. Di antaranya adalah, (1) Niat sebelum berpuasa.
Niat yang paling sederhana dan mudah adalah, berniat untuk berpuasa sebulan
penuh ketika hendak memasuki bulan puasa. Namun jika itu terlewatkan maka para sho’imin
(orang berpuasa) dapat berniat pada malam hari hingga menjelang sahur. Abu Abdillah
Muhammad al-Maliki dalam “Majmu’ah Rasa’il al-Kubra, 1/254” mengatakan,
“Niat termasuk pekerjaan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah”; (2) Sahur. Hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Anas ra, bahwa
Nabi Bersabda, Tasahharu fainna fissahuri barakah. Sahurlah karena
sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan. Kendati perintah dalam
hadis ini bukan menunjukkan ‘wajib’, namun sebaiknya jangan menyepelekan
keberkahan walau hanya seteguk air putih; (3) Menjaga anggota badan. Puasa dengan
makna ‘menahan’ harus direalisasikan dengan menahan seluruh anggota badan agar
tidak bermaksiat kepada Allah. Menahan mata dari melihat yang haram seperti
memandang aurat wanita dengan berlama-lama, menjauhkan telinga dari mendengar
yang haram, seperti ghibah alias gossip, apalagi dusta dan fitnah; (4) Menjaga
lisan. Hadis yang bersumber dari Abu Hurairah sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari-Muslim dapat menjadi pedoman, sabda Nabi, “Puasa adalah prisai. Maka
janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada yang memerangimu atau
mencelamu, maka katakanlah ‘aku sedang puasa’”. Inilah salah satu hikmah
syariat puasa, andaikan kita terlatih dengan didikan (tarbiyah) sejenis
ini, sungguh Ramadan akan berlalu sedangkan manusia berada dalam akhlak yang
agung, berpegang dengan akhlak dan adab yang dibutuhkan oleh seluruh umat
manusia; dan (5) memperbanyak amal saleh. Mari kita bersama memanfaatkan
Ramadan ini dengan perbuatan baik. Manfaatkan waktu yang ada untuk berzikir,
membaca Alquran, mengkaji ilmu akhirat, memantapkan tauhid, salat berjamaah,
taraweh, bersedekah, dst. Semakin banyak ibadah yang kita lakukan semakin
banyak pula ganjarannya.
Namun sebaliknya, apabila bulan mulia dan bertabur berkah ini dikotori
dengan kemaksiatan, maka dosanya juga akan berlipat ganda pula. Ibnu Taimiyah
dalam “Majmu’ Fatawa, 34/180” menyatakan bahwa maksiat pada hari-hari
penuh keutamaan dan di tempat-tempat yang mulia balasaannya ditambah sesuai
dengan keutamaan waktu dan tempatnya. Mari menghargai bulan suci ini dengan mengotimalkan
ibadah kepada Allah. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir. Pengurus Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI) dan Peneliti LPPI.
Comments