Menolak Ajaran Wahabi?

Pada
awalnya, bedah buku “Menolak Ajaran Wahabi” akan dibedah oleh Prof. Dr. Rahim Yunus
dan Ustad Ikhawan Abdul Jalil, Prof. Rahim
Yunus adalah guru besar bidang sejarah Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin
dan Sekertaris MUI Sulsel, sedangkan Ustad Ikhwan adalah Ketua DPP Wahdah
Islamiyah dan alumni Universitas Islam Madinah.
Sehari
sebelum acara bedah buku berlangsung, atau tepatnya pada hari Kamis, 18 Juli
2013 atau 9 Ramadhan 1434 H. Ustad Ikhwan ke kantor MUI Sulsel, sebagai salah
satu pengurus MUI. Saat itu, saya selaku panitia Festifal Ramadhan dan acara
bedah buku tersebut bersama dengan Drs. H. Waspada Santing M.Hi., sebagai
penanggung jawab acara festival tahun ini, menyampaikan jika besok Ustad Ikhwan
yang akan menjadi pembedah dalam buku yang bernada provokatif tersebut. Ustad Ikhwan
berkomentar, “Saya bisa hadir dan tampil menjadi pembedah, tapi kapasitas saya
dalam memahami ‘Wahabi’ sama dengan dokter umum dalam menangani sebuah
penyakit. Akan ada orang benar-benar spesialis di bidang ini, dan tidak bisa
diragukan lagi kapasitasnya sebagai seorang pakar, karena telah menulis buku
yang sangat bisa dijadikan rujukan dan patokan dalam memahami masalah Wahabi. Dan
saya bisa datangkan orang itu.” Pakar Wahabi yang dimaksud oleh Ustad Ikhwan
adalah AM Waskito, penulis buku “Bersikap Adil kepada Wahabi”.
Pertemuan
kami bertiga sore itu melahirkan sebuah kesepakatan untuk mendatangkan AM
Waskito sebagai pembanding dalam acara bedah buku yang akan dilaksanakan
keesokan harinya. Ada pun urusan teknis semuanya diserahkan kepada Ustad
Ikhwan. Dan keesokan harinya Bakda Jumat, sesuai jadwal, bedah buku pun
berlangsung yang dihadiri oleh ratusan jamaah dari ragam kalangan, baik yang
pro maupun yang kontra. Banyaknya jumlah peserta juga tak terlepas dari SMS
yang telah saya edarkan sejak malam Jumat, redaksinya sebagai berikut, “Hadirilah
bedah buku ‘Menolak Ajaran Wahabi’ yang akan dibedah oleh Prof. Dr. Rahim Yunus,
Guru Besar UIN Alauddin dan Sekertaris MUI Sulsel dengan pembanding AM Waskito,
pakar Wahabi Indonesia, penulis buku ‘Bersikap Adil kepada Wahabi’, yang akan
dilaksanakan di Masjid Raya Makassar, tepat bakda Jumat sampai selesai. Dimohon
kehadirannya! [acara dilaksanakan oleh MUI Sulsel bekerja sama dengan Yayasan
Masjid Raya Makassar]”. SMS berantai yang saya buat ini menjadi undangan ampuh dalam
mendatangkan massa yang cukup banyak.
Jalannya
acara
Acara
dimulai bakda salat Jumat di Masjid Raya lantai dua. Prof. Dr. Hamdan Juhannis,
sebagai pemandu tampil lebih awal mengisi salah satu dari tiga kursi yang telah
disediakan oleh panitia, tak berapa lama kemudian AM Waskito, sang pakar Wahabi
juga datang dan langsung duduk di kursi samping Prof. Hamdan. Lalu, Prof. Hamdan membuka acara, seketika
Prof. Rahim juga muncul mengisi tempat duduk yang tersisa. "Tujuan kita
untuk hadir dalam acara ini, bukan saja semata untuk setuju terhadap isi buku yang
dibedah ini, dan bukan pula kita datang untuk menolak mentah-mentah ajaran Wahabi,
tapi maksud kita adalah sebagai rangkaian dari kegiatan mulia di hari dan bulan
yang mulia ini. Saya di sini sebagai moderator tidak berpihak dan tidak pula
menolak, jadi saya minta supaya para hadirin menerima kehadiran saya”. Ujar
guru besar sosiologi UIN Alauddin itu.
Selanjutnya
Alumni salah satu universitas ternama di Australia itu memperkenalkan dua narasumber
yang pakar di bidangnya masing-masing. Bermula
dengan memperkenalkan kolegenya di UIN Alauddin, Prof. Rahim Yunus, lalu
kepada AM Waskito yang memiliki latar
belakang pendidikan yang unik, karena ternyata yang bersangkutan adalah Alumni
Fakultas Pertanian di Institut Teknologi Bandung (ITB). Prof Hamdan juga
membacakan judul-judul buku karya AM Waskito. Katanya, buku-buku karya tulis Pak
Waskito ini sudah banyak, dan ternyata semuanya ‘seksi’.
Pembicara
pertama adalah Prof. Rahim Yunus, ia menyampaikan bahwa pada dasarnya beliau
belum pernah membaca, menyelami dan memahami secara tuntas kenapa orang menolak ajaran
Wahabi. Wahabi adalah aliran yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang
bekerjasama dengan kerajaan Ibnu Suud, atau kerjasama antara pihak pemerintah
dan seorang dai. Kolaborasi keduanya itulah yang melahirkan gerakan 'Wahabi'.
Memahami Wahabi tidak mesti merujuk pada ajaran Muhammad bin Abdul Wahab,
karena Muhammad bin Abdul Wahab sudah lama wafat, sementara yang meneruskan
ajarannya adalah para pengikutnya. Jadi ada Muhammad bin Abdul Wahab, dan
Wahabi atau Wahabiyah yang tidak bisa disamakan. “Saya misalnya, yang
mengamalkan istigasah, tawassul, ziarah kubur, adalah seorang yang berada dalam
organisai Nahdatul Ulama [NU] tapi saya tidak mesti menjadi pengikut
Syafi'iyah. Jadi ada pengikut Syafi'iyah atau hanya bermanhaj Syafi'i.” Ujar dosen
sejarah di Pascasarjana UMI dan UIN itu.
Jadi
berbicara masalah Wahhabiyah –lanjut Prof Rahim—juga demikian, Wahabi yang
mana? Wahabi Arab, Mesir, Yaman, Indonesia, bahkan Makassar? Di sini banyak
teman-teman yang saya anggap penganut aliran Wahabi tapi tak ada masalah karena
mereka tidak pernah mengkafirkan saya.
Setelah
itu, Prof. Hamdan Juhannis mempersilahkan kepada AM Waskito untuk berbicara. Waskito
memulai pembicaraannya dengan berterima kasih atas kesempatan yang diberikan
kepadanya termasuk pihak-pihak yang berusaha mengundang dan mendatangkan
dirinya. Kali terkahir dia Makassar, menurut penuturannya adalah 13 tahun yang
lalu. Dan kini, kota Makassar telah banyak berubah, ujarnya.
Menurutnya,
buku yang ditulis oleh Zaini Dahlan tersebut, sudah sangat terkenal. Berbicara mengenai Wahabi baik yang pro maupun yang kontra,
maka itu ibarat pertarungan antara Inter Milan dan AC Milan dalam sejarah sepak
bola liga Italia, susah untuk menebak, siapa yang kalah dan siapa yang menang. Namun
tetap seru dinikmati, ujarnya.
Saya
setuju dengan pernyataan Prof. Rahim, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab dengan kerajaan
atau dinasti Ibnu Suud itu berbeda. Gerakan Wahabiyah hanyalah Harakah ad-Dakwah
alias gerakan dakwah sebagaimana gerakan Ikhawanul Muslimin di Mesir, Sanusiyah
di Libiya, Jamaah Tablig di India hingga
Nahdiyin di Indonesia, tegas penulis buku “Republik Bohong” itu.
Menerut
Waskito, Cobaan-coban yang dialami Muhammad bin Abdul Wahab dalam berdakwah adalah mirip dengan
apa yang dialami oleh Rasulullah. Kerap sekali nyawanya terancam oleh
musuh-musuh agama atau yang berseberangan dengannya, sebelum akhirnya
beraliansi pada kerajaan demi untuk mengamankan dakwah dan jiwanya. Hal ini
juga pernah terjadi di Indonesia pada zaman Sukarno ketika PKI berkuasa. Ketika
itu, NU berusaha berkolaborasi dengan pemerintah
untuk mengamankan diri dan menegakkan dakwahnya.
Ketika
para TKI –lanjut Waskito—mengalami masalah di Arab Saudi, maka serta merta kita menuduh bahwa yang
melakukan kebiadaban itu adalah antek-antek Wahabi. Tapi ketika kerajaan Arab
Saudi menggelontorkan bantuan trilyunan rupiah per tahun ke Indonesia, tidak seorang pun yang pernah menyebut jika
mereka adalah Wahabi.
Jika
ditarik kebelakang, sesungguhnya perselisihan mengenai Wahabi sejak awal sudah
terjadi, dan tidak pernah menimbulkan masalah serius di Indonesia. Dulu, sejak
dibentuknya Muhammadiayh, NU, Persis, DDII, dll. Tidak pernah ada masalah, di
antara para gerakan dakwah di atas. Masalah
mulai muncul akhir-akhir ini saja, bermula ketika dua kekuatan transnasional
yang sangat anti dalam dakwah salafiayah.
Yaitu Israil dan Syiah. Kedua
gerakan ini, Menurut Waskito berusaha membenturkan atau mengacak-acak dan
mengadu domba (nammam) antara
yang disebut sebagai pengikut dakwah Wahabi dengan aliran Islam lainnya, dengan
membangun stigma “Wahabi Takfiri”. Apalagi bangsa Indonesia sangat muda
digoreng dan dipropokasi, sehingga benturan kerap berlaku bukan saja dalam
tingkat ideologi, tapi suduh mengarah pada fisik, dan akhirnya yang rugi umat
sendiri.
“Dalam
buku ini. Ada pembahasan masalah tawasul, dan ziarah kuburan yang dikatakan
bahwa menurut Wahabi yang melakukan kedua hal itu adalah kafir, padahal tak ada
satu pun statemen dari ajaran Wahabi yang mengatakan bahwa siapa yang bertawasul
itu disebut kafir. Begitu pula ziarah kubur, banyak hadis menekankan jika ziarah
kubur itu mubah dan malah mendatangkan manfaat. Seperti dapat mengingat mati,
dan bukankah kita disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada para penghuni kubur? Ada pun istigatsah,
juga demikian, sama sekali tidak ada dalam ajaran Wahabi yang melarang istigatsah
namun dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Islam”. Tutur sang pakar.
Prof.
Dr. Hamdan Juhannis, memberi kesimpulan bahwa tidak ada larangan untuk menolak atau
menerimana Wahabi. Namun baik yang menolak maupun yang menerima harus dengan
pengetahuan. Tidak bisa kita menolak sambil berkata, ‘Saya menolak karena saya
tidak tau!’. Bagi guru besar yang nama asalnya adalah Hamdan Junaidi, dan pernah nyantri di Pesantren Darul Huffadz Tuju-tuju Kajuara ini, baik
yang menerima apalagi yang menolak harus
punya alasan yang ilmiah. (Ilham Kadir/MUI-Sulsel.com).
Comments