Fuad Rumi dan Filsafat Ilmu

Pertemuan
pertama, Pak Fuad langsung to the point, ia menekankan bahwa tujuan
utamanya mengajar mata kuliah Filsafat Ilmu untuk menjadi obat penawar pada
segenap mahasiswa yang selama ini telah belajar dengan pandangan bahwa ilmu itu
dikotomis, ada ilmu agama dan ada ilmu umum yang keduanya tidak ada hubungan
sama sekali, bahkan dalam beberapa hal
sangat bertentangan. Pola fikir dikotomis inilah yang ingin direduksi oleh Pak
Fuad.
Contoh
kongkritnya adalah materi Imu Filsasafat, sebagai akar dari segenap ilmu
pengetahuan yang melahirkan sains, termasuk sains terapan yang darinya ragam
teknologi dapat tercipta. Ia mengatakan bahwa selama ini filsafat yang
dipelajari pada perguruan tinggi selalu menekankan dualisme dan dikotomi antara
ilmu pengetahuan umum (sains) dan ilmu pengetahuan agama.
Padahal
menurut Fuad Rumi, agama tak akan sempurna dan bahkan pada tahap tertentu tak
dapat tegak tanpa adanya korelasi antara keduanya. Agama dan sains adalah dua
hal yang tak terpisahkan ‘juz’un la yatajazza’. Sebagai contoh, seorang muslim
yang diwajibkan untuk melakukan ibadah salat minimal lima kali sehari semalam.
Salat, adalah ibadah ‘mahdah’ atau perintahnya langsung dari Allah yang
memiliki syarat dan rukun-rukun tertentu.
Syarat
adalah bagian yang tak terpisahkan dari rukun, yang jika salah satunya tak
terpenuhi tanpa alasan (udzur syar’i) maka dipastikan hasilnya nihil. Menutup
aurat adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi para ‘musholli’ (orang
salat) dengan mengenakan pakaian. Sedang pakaian adalah hasil dari teknologi
industri, dan teknologi merupakan produk dari ilmu pengetahuan (sains). Jadi,
sais merupakan bagian dari agama. Ilmu yang semacam ini disebut oleh Imam
Algazali sebagai ilmu fadhu kifayah (kewajiban kolektif) sedangkan ilmu yang
mengajarkan bacaan-bacaan dalam salat, syarat dan rukun-rukun salat merupakan
ilmu fardhu ain, atau kewajiban personal.
Di
sinilah Fuad Rumi tampil sebagai seorang cedekiawan tulen untuk menjadi connector
antara mereka yang alergi terhadap ilmu yang bersumber dari wahyu
(Alquran-hadis), maupun yang anti terhadap ilmu-ilmu sekuler yang dianggap
produk Barat. Sebagai seorang multi
talenta, maka Fuad Rumi tidak begitu susah untuk memasarkan idenya. Beliau
adalah seorang muballig, aktivis, akademisi, cendekiawan, pemikir, ulama, dan
penulis.
Motor
ICMI
Interaksi
saya dengan Pak Fuad terus berlangsung, jika awalnya hanya sebagai mahasiswa,
maka kali ini sudah jauh melangkah masuk dalam lingkaran para pemikir dan
cedekiawan muslim, tepatnya pada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sebenarnya saya belum pantas masuk dalam lingkungan para pakar, karena memang
saya sendiri belum benar-benar memiliki keahlian di bidang tertentu, masih
sebatas knowing
something about everything bukan knowing everything about something sebagai syarat untuk menjadi seorang pakar.
Namun
karena pertimbangan tertentu, sehingga Dr. Fuad Rumi, bersama Drs. Waspada
Santing memberi saya amanat untuk menjadi ketua tim editor sebuah buku yang
berasal dari materi segenap diskusi bulanan yang diadakan oleh ICMI Orwil
Sulsel. Buku tersebut diberi judul langsung oleh Pak Fuad, “Alqur’an
Berbicara”, namun karena beberapa kendala teknis sehingga buku tersebut belum
dicetak secara massal sehingga belum dapat dinikmati oleh khalayak ramai.
Dalam
“Kata Pengantar” buku tersebut, Dr. Fuad Rumi menulis, ”Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia (hudan linnas). Demikian dinyatakan sendiri oleh
Al-Qur’an. (Al Baqarah: 185). Hudan mengandung berbagai cakupan
makna, seperti petunjuk, pedoman atau hidayah. Ayat tersebut bermakna bahwa
secara potensial Al-Qur’an dapat menjadi
petunjuk atau pedoman bagi manusia pada umumnya, tanpa membedakan agamanya.
Misalnya ayat Al-Qur’an yang mengatakan ‘maka
hendaklah manusia memperhatikan makanannya’ (Q.S. Abasa: 24), mengandung petunjuk yang dapat
diterima dan dilakasanakan semua orang. Akan tetapi Al-Qur’an juga menegaskan bahwa ia adalah hudan bagi
orang-orang bertakwa, hudan lil muttaqin
(Q.S. Al Baqarah: 2). Yang secara aktual menjadikan Al-Qur’an sebagai petujuk, pedoman hidup dan hidayah
adalah (hanyalah) orang-orang bertakwa. Menjadikan Al-Qur’an sedemikian itu tentulah membutuhkan pemahaman
kandungannya. Jika pertanyaannya demikian, maka Al-Qur’an harus dikaji secara mendalam dan kemudian
mengemukakan makna-makna, pesan-pesan, aturan-aturan, hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya. Akan tetapi dari sisi lain, kepada Al-Qur’an juga dikemukakan sejumlah pertanyaan tematik
untuk memperoleh jawaban. Metode ini, dalam ilmu tafsir dikenal sebagai metode maudhu'i. Dengan
methode maudhu'i kita bisa mengetahui bagaimana
Al-Qur’an berbicara tentang berbagai hal
atau tema.”
Selanjutnya Pak Fuad menerangkan
bahwa sebagai sebuah organisasi
cendekiawan muslim di negeri ini, ICMI seharusnya memposisikan diri sebagai
pihak yang memiliki tanggungjawab untuk menangkap pesan-pesan tematis
Al-Qur’an, untuk kemudian dijadikan dasar bagi pengembangan berbagai konsep
pemikiran aktual, utamanya menyangkut masalah masyarakat dan bangsa Indonesia.
Interaksi terakhir
Pertemuan terkahir saya dengan Pak Fuad berlangsung
di Kampus Pascasarjana UMI, namun kami tidak banyak berbicara, di samping
beliau juga hendak masuk mengajar, saya juga sedang sibuk mengurus
syarat-sayarat untuk ikut seminar proposal. Namun sebelum itu, kami sempat
berdiskusi lewat telepon genggam (hand phone). Beliau langsung yang
menghubungi saya. Dalam pembicaraan kami, ada beberapa poin penting yang
terkait masalah LPPI, diwakili oleh Ustad Said Shamad yang dalam pandangan Pak
Fuad terlalu frontal menghadapi Syiah, tertutama Jalaluddin Rakhmat dan IJABI.
“Saya sangat menghargai pendapat Ustad Said yang telah mengambil garis
demarkasi dengan Syiah, dan itu sah-sah
saja. Ada pun saya, hendak berusaha agar Syiah (IJABI) dan Sunni dapat hidup
harmonis dan tidak terjadi konflik. Dan saya melihat IJABI adalah organisasi
Syiah yang paling bisa diajak kerja sama.” Selanjutnya Pak Fuad menyampaikan
kepada saya alasannya, mengapa harus menelpon saya. Ia menegaskan. “Saya
melihat Anda adalah orang yang tepat untuk menjadi penengah antara saya dengan
Ustad Said, supaya tidak terjadi saling mencurigai, karena selama ini saya
mendengar jika beliau menganggap saya pendukung Syiah, padahal tidak demikian.
Saya memang dekat dengan teman-teman IJABI namun saya tetap mendakwahi mereka,
dan tetap pada prinsip jika saya tidak akan pernah menerima kalau penganut
Syiah menyerang dan mencaci sahabat Nabi, serta prilaku nikah mut’ah mereka dakwah
dan amalkan. Dua hal itu yang sering saya sampaikan kepada mereka.”
Setelah itu, saya langsung memaparkan hasil
pembicaraan kami kepada Ustad Said, dengan tanggap Ketua LPPI Indonesia Timur
itu langsung melayangkan SMS (short messege sentence) ke Pak Fuad, dan
komunikasi keduanya pun mencair, dan beberapa menit kemudian saya diminta Ustad
Said untuk mengantarkan sebuah buku kepada Pak Fuad dengan Judul, “Fatwa Syekh
Yusuf Qadhawwi Tentang Syiah, terbiatan MIUMI”. Baik Ustad Said maupun Pak Fuad sama-sama sepakat untuk
melakukan pertemuan, namun sayang pertemuan itu berlum terlaksana hingg ajal
menjemput salah satu di antara keduanya, yaitu Dr. Ir. Fuad Rumi.
Beliau meninggal pada hari Senin (15/7/2013) bertepatan
dengan 6 Ramadhan 1434 H, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Subroto Jakarta, diusianya yang ke-63 tahun. Dalam kultum (kuliah tujuh menit)
yang rutin dilakukan Ustad Said setiap bakda Asar di Masjid Sultan Alauddin
Kompleks Perumahan Dosen UMI yang terletak tidak jauh dari kediaman Fuad Rumi rahimahullah,
ia menyeru kepada seluruh jamaah agar siapa saja yang merasa jika Pak Fuad
memiliki dosa atau kesalahan padanya, walau sekecil apa pun supaya memaafkannya, termasuk jika memiliki hubungan yang tidak atau kurang enak padanya, supaya kiranya dilapangkan. Allahummagfir lahu, warhamhu, wa’afihi,
wa’fu ‘anhu. Ya Allah ampunilah, rahmatilah, dan ampunilah segala
dosa-dosanya!
Ilham Kadir, Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia
Timur.
Comments