Syiah: Kafir atau Sesat?

Ada
yang menarik pada pertemuan yang diadakan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat
(DPRD) Tingkat I Sulsel tersebut. Berawal dari paparan Ustad Said Abd. Shamad
–Ketua LPPI Indonesia Timur—tentang fakta keberadaan aliran Syiah di Makassar
yang sungguh meresahkan dan merisaukan umat. Paparan sang ustad ditanggapi
beragam oleh segenap perwakilan ormas, termasuk ormas yang menjadi penganut dan
penyebar aliran Syiah (IJABI). Di sinilah pentingnya sebuah silaturrahmi, kita
bisa saja saling menyesatkan ajaran masing-masing, tapi tetap menjaga ukhuwah,
perbedaan memang memerlukan kedewasaan.
Salah
satu tanggapan keras kepada Ustad Said yang dianggap terlalu a priori
terhadap aliran Syiah muncul dari Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, sebagai narasumber
yang mewakili pengurus FUI, beliau
adalah guru besar dalam bidang sejarah di Universitas Islam Negeri Sultan
Alauddin Makassar. Sang guru besar menyatakan, “Syiah dan Sunni adalah produk
sejarah, tidak boleh asal menyesatkan antara satu aliran dengan aliran yang
lain, sebagaimana klaim ustad tadi yang mengafirkan Syiah...” perkataan Prof.
Sewang dipotong oleh Ustad Said, katanya, “Maaf, saya tidak pernah mengafirkan
Syiah, hanya menyesatkan, sekali lagi hanya menyesatkan!”, “Iya, tapi Ustad
menyesatkan, samalah itu!” Sahut sang guru besar dengan nada ditekan
lebih tinggi. Peristiwa tersebut saya abadikan dengan sangat apik lewat tulisan
dan kedipan kamera.
Sudah
hampir setahun pristiwa itu telah
terjadi, dan hingga saat ini tak ada peserta pertemuan yang terdiri dari alim-ulama,
ustad, akademisi, cendekiawan, profesor, hingga mahasiswa keberatan apalagi
protes terhadap pernyataan profesor di atas yang menyamakan makna ‘kafir’ dan
‘sesat’, ini sungguh aneh bin ajaib. Tulisan ini bermaksud menjernihkan kedua
terminologi tersebut, yang ternyata akademisi sekaliber guru besar pun masih
keliru memahami perbedaan makna kedua kata tersebut. Perlu kiranya menyegarkan
kembali paham keagamaan kita.
Kafir
dan sesat

Dari
segi bahasa, kata ‘kafir’ ditujukan pada
pelaku (subjek) dan ‘kufur’ ditujukan pada perbuatan yang keduanya
berakar dari kata, kafara-yakfuru. Dr. Shalih bin fauzan dalam “ Kitab
At-Tauhid III, 1420 H” mengurai definisi ‘kufur’ dari segi bahasa dengan
arti ‘menutupi’, sedangkan menurut syara’, ‘kufur’ adalah tidak beriman
kepada Allah dan rasul-Nya baik dengan mendustakannya atau pun tidak.
Ulama
Ahlussunnnah wal Jamaah membagi makna ‘kafir’ ke dalam dua kategori: Kufur
I’tiqdi dan Kufur Asghar. Kufur i’tiqadi adalah kekafiran
yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, yang terdiri dari lima
kriteria: (1) kufur takzib, menuduh Rasulullah pembohong; (2) kufur
istikbar, sombong dan menolak mengikuti ajaran Rasulullah; (3) kufur
i’rad, tidak memusuhi namun tidak mau mengikuti ajaran Rasulullah; (4) kufur
nifaq, yang berpura-pura ikut, namun pada hakikatnya menolak ajaran Rasulullah.
Adapun
Kufur Asghar (kufur ringan) adalah kekafiran yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam. Kafir jenis ini terjadi karena adanya halangan atau
keterbatasan dalam melaksanakan perintah Allah. Contohnya adalah membunuh, bersumpah tidak dengan nama Allah,
menghina sesama saudara muslim dengan sebutan ‘kafir’, tidak mampu melaksanakan
hukum Allah, dsb. Kufur ringan atau kecil (asghar) termasuk di dalamnya,
kufur nikmat dan ingkar kebaikan, sebagai lawan syukur (QS. An-Nahl, [16]:112);
(QS. Ibrahim [14]:7. Jadi seorang muslim bisa saja disebut kafir karena
menutupi serta mengingkari nikmat Allah SWT.
Kata
‘kafir’ akan lebih mudah dipahami jika disandingkan dengan lawan artinya yaitu
‘iman’, sebagaimana kata ‘jahil’ akan mudah dipahami jika dikaitkan dengan kata
‘alim’, atau sebutan api dan air, siang
dan malam, surga dan neraka, dst. Peran iman dalam hidup dan kehidupan orang
Islam adalah sangat penting, dan menjadi landasan utama keislaman seseorang.
Imam Al-Gazali menggambarkan peran iman dalam diri seseorang sebagai pengendali
hati, pembangkit nurani, dan teman bagi prilaku. Iman seseorang adalah asas
segala perbuatannya dan sebaliknya perbuatannya didorong oleh keimanannya.
Orang-orang
yang menolak Islam tentu tidak beriman dan pasti ‘kafir’. Maka kafir adalah
identitas mereka yang tidak menerima Islam sebagai ajaran agama dan kehidupan,
termasuk di dalamnya yang mengingkari rukun iman dan ajaran Islam. Mengimani
rukun Islam dan Iman juga harus utuh dan tak boleh parsial, dengan artian tidak
bisa hanya beriman kepada Allah lalu ingkar kepada Nabi-Nya, karena jika itu
terjadi maka sudah masuk kategori kafir bagi Abu Hasan Al-Asy’ari. Mengaku
beriman namun meyakini bahwa Allah itu terdiri dari tiga unsur juga adalah
kafir, apalagi beriman kepada Tuhan yang tidak bernama Allah dijamin kafir
seratus persen (kafir muthlaq). (ISLAMIA. VIII, No. 1, 2013).
Salat misalnya, jika seorang muslim tidak salat karena faktor malas (idza
qamu ila as-shalati qamu qusala), maka ia dicap sebagai munafiq dan
tersesat dari kebenaran, namun jika ia tidak salat karena berpendapat bahwa
salat tidak wajib maka sudah termasuk kufur, inilah yang dimaksud dengan hadis
Nabi bahwa pembeda antara orang Islam dan kafir adalah meninggalkan salat, al-farq
baynal mu’min wal kafir tarkus shalah.
Adapun
‘sesat’ dalam bahasa Arab disebut ‘dhalal’
yang bermakna orang yang keluar dari jalan dan petunjuk yang benar, shirath al-mustaqim.
Setidaknya ada 50 ayat dengan ragam bentuk derivasinya yang bersal dari kata ‘dhalla-yudhillu-dhalal’.
Sebuah kaidah sagat tepat, ‘setiap orang kafir pasti sesat, namun belum tentu
orang sesat itu kafir’ karena orang yang sesat adalah tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam atau tidak menjadikan dirinya kafir selama meyakini rukun
Islam dan Iman secara utuh. Kecuali Imam Al-Gazali yang bersikap lunak,
menurutnya, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian
Muhammad SAW, maka ia tidak boleh dianggap kafir. Demikian pendapat sang imam
sebagaimana dikutif Syamsuddin Arif dalam “Orientalis dan Diabolisme
Intelektual, 2008”.
Diskursus
tentang sesat-menyesatkan telah ada sejak generasi awal kedatangan Islam,
terutama muculnya firqah-firqah yang jelas-jelas menyimpang dari Islam yang
telah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Tersebutlah aliran
Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Musyabbihah, Jahmiyah, Salimiayyah, baca misalnya karya
“Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, ‘Buku Pintar Akidah Ahlussunnah wal Jamaah’
2011[terj.]”.
Saling
menyesatkan tidak hanya monopoli antara satu aliran ke aliran lainnya, melainkan
kerap juga terjadi intra-aliran. Ahlussunnah yang memiliki banyak sel-sel kerap
saling menyesatkan. Untuk kasus Indonesia misalnya, Nahdatul Ulama (NU) yang
mengusung aliran ‘Aswaja’ singkatan dari Ahlussunnah wal Jamaah dengan tegas
menyesatkan golongan ‘Salafi-Wahabi’ karena dianggap kaku dan tekstual dalam menafsirkan
nas serta sangat puritan dalam mengamalkan ajaran Islam, (Muhammad Idrus Ramli,
Bekal Pembela Ahlussunnah Wal-Jama’ah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi,
2013; Dr. KH. Mustamin Arsyad, Islam Moderat, Refleksi Pengamalan Ajaran
Tasauf, 2012; Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,
2011).
Namun
Salafi-Wahhabi –sebagaimana Muhammadiyah pada awalnya—lebih dulu menyerang dan
menyesatkan para pelaku bid’ah, khurafat, dan tahyul (TBC) yang ternyata disinyalir
banyak diamalkan oleh para pengikut yang mengklaim diri mereka sebagai ‘Aswaja’,
(AM. Waskito, Bersikap Adil Kepada Wahabi, 2011). Padahal sejatinya
kedua golongan di atas masih dalam koridor Ahlussunnah karena masih memiliki
rukun Islam dan Iman yang satu. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan
aliran Syiah yang memiliki rukun Islam dan Iman tersendiri, sebagaimana yang
tertulis dalam “Emilis Renita, 40 Masalah Syiah, 2009”.
Ternyata
Syiah juga demikian, tidak kalah seru pertentangan internal yang terjadi di
antara mereka (ba’suhum baynahum syadid), Syiah Zaidiyah yang
dianggap paling dekat dengan Sunni misalnya, dianggap sesat oleh Syiah Imam
12 (itsna ‘asyariyah) yang menjadi anutan resmi negara Iran. Belum
lagi kelompok Syiah Syurai’iyah yang meyakini bahwa Allah SWT berhulu
(manunggal) ke dalam diri lima orang, yaitu: Nabi Muhmmad dan keluarganya,
Abbas, Ali, Ja’far, dan ‘Aqil. Sedang Syiah Ma’mariyah meninggalkan
salat lima waktu, belum termasuk Syiah Ghuraibiyah (Kaum Gagak) yang
berpendapat bahwa ‘Persamaan Imam Ali dan Rasulullah ibarat persamaan antara
burung gagak yang satu dengan burung gagak lainnya’ (Ilham Kadir, Jejak
Dakwah KH. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi,
2010). Bahkan menurut Vali Nasr, dalam “The
Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future, 2006”
menyatakan dengan gamblang bahwa Syiah yang berkembang di Suriah saat ini yang
ajaranya dipelopori oleh kaum Alawi –biasa disebut Syiah Alawiyah atau
Nushairiyah—adalah sebuah pemahaman ajaran Syiah yang salah, dan menyimpang
dalam ortodoksi Islam, termasuk di dalamnya unsur Kristen serta ajaran
pra-Islam –Syiah Nushairiyah adalah anutan resmi pemerintah Suriah di bawah
Bashar Assad. Namun aliran ini –lanjut putra Hosein Nasr —kaum Alawi selalu
berusaha membujuk Syiah Lebanon dan Iran untuk memberikan pernyataan bahwa
mereka adalah benar-benar Syiah.
Ibnu
Taimiyah, seorang ulama dan pejuang, memiliki nalar yang tajam, berusaha
mengidentifikasi penyebab kesesatan seorang muslim, menurutnya, sumber
kesesatan berasal dari kejahilan yang hanya mengikuti nenek moyangnya atau
orang-orang yang mereka kagumi yang sudah lebih dulu tersesat sehingga ia
menyimpang dari jalan yang lurus karena kejahilannya terhadap perintah dan
larangan Allah, atau bisa juga karena mengikuti hawa nafsunya sehingga ia
beribadah tanpa dasar dan petunjuk dari Allah (Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqai’d
al-Firaq adh-Dhalah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, 2010).
Sebagaimana
orang liberal yang hanya beribadah jika sesuai dengan logikanya (akal), atau
aliran tasawuf yang meyimpang dan beribadah sesuai kehendaknya. Padahal dalam
beragama sudah ada rumus baku, dalam ranah muamalat, kita dibolehkan melakukan
segala bentuk aktifitas, termasuk makan dan minum hingga menemukan larangan (al-Ashlu
fil muamalat halalun illa ma dalla ad-dalilu ‘ala tahrimihi), dalam
beribadah, terbalik, kita dilarang untuk beribadah, sampai ada dalil yang
memerintah atau menganjurkan (al-ashlu fil ‘ibadati haramun illa ma dalla
ad-dalilu ‘ala wujudihi). Di sinilah kesesatan kerap bermula, bagi yang beribadah tidak sesuai dengan
tuntunan Alquran dan sunnah, serta contoh dari Rasulullah dan para salafus-shalih.
Tidak hanya itu, terlalu banyak golongan yang kerap melakukan perkara-perkara
baru dalam beribadah (bid’ah), lalu dinisbahkan pada Rasulullah. Bid’ah juga bertingkat-tingkat volume
kesesatannya, yang terbesar adalah bid’ah akidah, termasuk aliran yang
merombak lalu mengotak-atik (dekonstruksi) pondasi agama (rukun Islam dan
Imam).
Sufyan
ats-Tsauri rahimahullah, mengatakan bahwa perbuatan bid’ah lebih
disenangi iblis daripada kemaksiatan lainnya –seperti zina, korupsi, membunuh,
dst.—karena palaku maksiat bisa diharapkan tobatnya, sedangkan pelaku bid’ah
sulit diharapkan tobatnya. Allah menghalangi tobat atas setiap ahli bid’ah.
Karena mereka menganggap kesesatannya itu sebagai sebuah kebenaran. Namun jika
ia bertobat dengan sungguh-sungguh maka Allah akan menerima tobatnya,
sebagaimana tobat orang kafir.
Perlu
ditekankan bahwa golongan ‘sesat’ karena menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah
adalah masih bagian dari Islam dan bukan kafir. Dengan itu mereka yang divonis sesat kelak juga akan
masuk surga setelah melalui pencucian di neraka, sebagaimana para penganut
Ahlussunnah yang melakukan dosa besar (fasiq) lalu belum bertobat atau belum
diterima tobatnya, juga akan dicuci di neraka yang durasi waktunya sesuai kadar
volume dosa. Tentu saja dosa yang terbesar adalah penyimpangan akidah
sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum Syiah.
Aliran
Syiah yang masih memiliki Tuhan, Nabi,
dan Alquran yang sama dengan golongan Ahlussunnah, serta percaya pada rukun
Iman dan Islam a la Rasulullah tetap mendapat jaminan masuk surga selama
akhir hayatnya mengucapkan ‘La ilaha illallah”, sebagaimana sabda Nabi, Man
kana akhiru kalamihi la ilaha illallah dakhalal jannah, karena surga milik
umat Islam dan tidak hanya dikapling oleh golongan tertentu. Last but not
least, harus dipahami bahwa Sunni adalah produk sejarah berdasarkan wahyu
sebagaimana Syiah yang diproduk oleh sejarah berasaskan kebencian dan hawa
nafsu. Tindakan para ulama muktabar dari Ahlussunnah termasuk MUI dan Depag RI
yang telah menyesatkan Syiah juga bagian dari produk sejarah yang harus
diterima dan didukung. Wallahu a’lam!
Ilham
Kadir, Anggota Majelis Intelektual, Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti
LPPI Indonesia Timur.
Comments
"Last but not least, harus dipahami bahwa Sunni adalah produk sejarah berdasarkan wahyu sebagaimana Syiah yang diproduk oleh sejarah berasaskan kebencian dan hawa nafsu. Tindakan para ulama muktabar dari Ahlussunnah termasuk MUI dan Depag RI yang telah menyesatkan Syiah juga bagian dari produk sejarah yang harus diterima dan didukung."
Komentar saya: kalimat pertama di kutipan di atas sangat tendensius. Kalau bertanya kepada mazhab ahlulbait, mereka bisa juga menukar posisi kata Sunni dan Syiah di kalimat tersebut. Mereka bisa mengatakan bahwa fakta sejarahnya, justru pengikut mazhab ahlulbaitlah, bahkan Imamnya, yang dibunuhi. Tapi apa manfaatnya? Apa baiknya bagi persatuan Islam mengatakan hal-hal itu? Saya pribadi tidak akan mengucapkan kalimat tersebut.
Kalimat kedua di kutipan di atas, saya pastikan salah. Kita bisa melihat di berbagai situs bahwa fatwa MUI Maret 1984 itu sama sekali tidak pernah mengatakan Syiah sesat. Silahkan lihat kembali fatwa itu secara jujur. Dan hal menarik, saya baru tahu kalau ternyata Depag RI juga bisa mengeluarkan fatwa. Benarkah demikian? Selain itu, kalaupun benar fatwa kesesatan Syiah itu ada dari MUI dan Depag RI, saya berpikir kita juga tidak harus terima dan dukung, apalagi sampai dalam pengertian wajib secara hukum. Bukankah kita bisa memilih fatwa dari para ulama dan saya bisa memilih fatwa ulama yang tidak menyesatkan Syiah?
Di atas semua itu, apapun fatwa yang saya temukan, apapun fatwa itu katakan, selama hal itu menyangkut persatuan Islam, saya hanya akan kembali kepada pesan Allah Swt, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai...." (QS 3:103)