Jilbab di Barat

Berjilbab
bagi wanita muslimah adalah merupakan tuntunan agama yang asasi dan hukumnya
wajib. Itu berarti melaksanakannya adalah sebuah keniscayaan dan meninggalkannya
murupakan sebuah dosa, ma yuhasabu ‘ala fi’lihi wa yu’aqabu ‘ala tarkihi.
Demikian terminologi wajib dalam Ilmu Ushulul-fiqh.
Dalil-dalil
syar’i tentang jilbab dengan mudah kita dapatkan dalam Alquran, misalnya
perintah Allah kepada kaum lelaki dan perempuan yang beriman agar menundukkan
pandangannya serta memelihara kemaluannya. Dan khusus untuk perempuan agar
mereka jangan menampakkan perhiasannya (perhiasan bagi wanita adalah seluruh
auratnya), kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kerudung ke dadanya, (QS. An-Nur, 30-31). Juga firman Allah yang memberi
peringatan kepada segenap manusia bahwa Allah telah menurunkan pakaian yang
bertujuan untuk menutup aurat sekaligus sebagai perhiasan, dan pakaian takwa
(dengan menutup aurat) adalah yang paling baik, (QS. Al-A’raf, 26).
Karena
jilbab adalah tuntutan dasar dalam agama Islam, maka Undang-Undang Dasar 1945
menjamin para penganut agama untuk mengamalkan ajaran agamanya tak terkecuali
Islam, dan merupakan hak paling asasi yang tidak bertentangan dengan sejumlah
konvensi internasional. Berjilbab adalah ekspresi keimanan seorang muslimah dan
sekaligus ekspresi kebebasan seseorang yang meyakini agamanya. Dengan itu,
tidak ada seorang, lembaga, dan kekuatan apa pun yang boleh melarang seorang
muslimah berjilbab di tempat-tempat umum.
Kini,
hampir seluruh negara –kecuali mungkin Indonesia—telah menyadari kesalahannya
ketika melarang kaum muslimah mengenakan jilbab, tak terkecuali polisi dan
tentara wanita muslimah di negara-negara sekuler seperti Barat. Bahkan saat ini
di Barat. Para polisi dan tentara wanita mendesain khusus pakaian dinasnya yang
berjilbab, dan sama sekali tidak menghambat kegesitannya sebagai seorang polisi
atau tentara wanita.
Memang
beberapa negara di Barat pernah melakukan pelarangan mengenakan jilbab, namun
setelah menyadari kesalahannya, mereka akhirnya mencabut larangan tersebut. Di
Toronto, Kanada, Departemen Kepolisian mengizinkan para Polwan muslimah
mengenakan jilbab ketika bertugas, di Amerika Serikat juga demikian, Amandemen
Pertama melindungi kebebasan berekspresi masyarakat AS, termasuk cara
berpakaian, hal ini bermula setelah ada warganya yang berjilbab menggugat ke
Mahkamah Agung, hasilnya, Mahkamah Agung memvonis larangan itu sebagai
pelanggaran konstitusi, maka setelah itu larangan berjibab pun dicabut dan setiap
wilayah mempraktikkan perlindungan terhadap wanita berjilbab dengan cara yang
berbeda.
Pada
tahun 2003, Mahkamah Konstitusi Jerman mengeluarkan putusan bahwa larangan
mengenakan jilbab melanggar kebebasan beragama. Di Denmark, pemerintah
mengizinkan muslimah berjilbab untuk mengikuti pendidikan militer, ada pun di
Hungaria, para Polwan dibolehkan mengenakan jilbab yang diserasikan dengan
pakaian dinas dan dirancang sesuai dengan bahan dan krudung, sedang di Swedia,
para muslimah dibebaskan untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan tuntutan
syariat agar tidak membuat mereka terisolasi. Di Inggris, kepolisian Inggris
merancang khusus seragam Polwan yang beragama Islam dengan jilbabnya didesain
sedemikian rupa agar menutup aurat sebagai bagian dari syariat Islam. Dengan
berjilbab, para Polwan Inggris itu, tetap tidak mengurangi kinerja dan
kelincahannya.
Ada
pun di Francis, yang sebelumnya keras terhadap para jilbaber kini sudah
melunak, dan hanya melarang para wanita muslimah untuk mengenakan cadar yang
menutup seluruh wajah kecuali mata. Namun hal ini bisa dipahami, karena para
internal umat Islam sendiri berselisih tentang hukum mengenakan cadar. Ada yang
berpendapat wajib, sunnah, dan mubah. Karena itu, tidak mengenakan cadar
berbeda dengan tidak mengenakan jilbab. Para ulama sudah sepakat bahwa aurat
bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Kini,
para muslimah di Barat, akhirnya dengan leluasa mengenakan jilbab di
tempat-tempat kerja, di sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya. Itu artinya,
di negara-negara sekuler sekalipun sudah tidak ada lagi larangan untuk
mengenakan jilbab sebagaimana aturan Polri yang juga mayoritas personilnya
beragama Islam. Dengan itu, jika Indonesia masih tetap melarang Polwan
mengenakan jilbab, bukan saja ketinggalan zaman out of date tapi tak
peka dengan ajaran agama. Sungguh aneh bin ajaib jika larangan dan pembatasan
berjilbab bagi wanita muslimah masih terjadi di Indonesia yang merupakan negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Inilah mungkin yang dimaksud oleh
Jamaluddin Al-Afghani, “Ra’aetu al-islam fil garb wal mulimin fi asy-syarq.
Saya justru melihat Islam di Barat, dan kaum muslimin di Timur. Jika di Barat
saja Polwan dibolehkan berjilbab, kenapa di Indonesia tidak? Sungguh sebuah
ironi.
Digugat
Majelis
Ulama Indonesia (MUI), melalui wakil sekertaris jenderalnya, Tengku Zulkarnaen
menegaskan bahwa jika Polri tidak mau mengubah aturan berupa larangan berjilbab
bagi Polwan, maka MUI dan ormas-orams Islam akan menggugat peraturan itu,
apalagi Polri seharusnya taat aturan dan tidak mambuat kebijakan yang
bertentangan dengan UUD 45. Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan MUI agar
Polri mencabut peraturan yang bertentangan dengan syariat Islam dan HAM itu
adalah melayangkan surat imbauan kepada Polri untuk mengubah peraturannya.
Gugatan
yang dilancarkan MUI itu didasari banyaknya pengaduan dari pihak Polwan yang
ingin mengenakan jilbab di kala bertugas namun terhambat dengan adanya
undang-undang yang malarang. Selama ini Polri masih tetap berpacu pada
Keputusan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 tentang sebutan penggunaan pakaian
dinas seragam Polri dan PNS polisi. Walaupun anturan pelarangan mengenakan
jilbab tidak tercantum dalam surat keputusan di atas, namun Polri tetap berpendapat
bahwa mengenakan jilbab saat bertugas adalah sebuah pelanggaran.
Terkait
tindakan Polri di atas, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menilai
bahwa kebijakan Polri tak hanya melanggar HAM, tetapi juga tidak sejalan dengan
konstitusi, kebebasan beragama telah dijamin dalam pasal 29 UUD 45. Menurutnya
lagi, berjilbab adalah merupakan kegiatan ibadah sesuai dengan keyakinan agama
Islam, larangan Polwan berjilbab merupakan kebijakan yang tidak bijak.
Kita
semua berharap agar Polri mampu mengakomodasi para personilnya yang terdiri
dari para Polwan yang hendak menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah untuk
mengenalan jilbab dengan mendesain uniform-nya sebagaimana yang telah
terjadi di negara Barat yang sekuler. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Mahasiswa S2 UMI, dan Peneliti LPPI.
Comments