Ismail Raji Al-Faruqi dan Islamisasi Ilmu

Islamisasi ilmu
Setelah Al-Attas melemparkan gagasan islamisasi ilmu secara
komprehensif dan sistematis pada konferensi internasional tentang pendidikan
Islam untuk pertama kalinya (First World Conference of Islamic Educaion)
di Mekkah pada tahun 1977. Beberapa ilmuan kontemporer turut menyambut dan
memasarkan ide brillian tersebut, salah satunya adalah Al-Faruqi.
Dalam pandangan Al-Faruqi, islamisai ilmu berarti sebuh ijtihad
untuk mendefenisikan kembali makna ilmu, menyusun ulang data, memikir kembali
argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali
kesimpulan dan penafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukan cara-cara
yang menjadikan disiplin itu memparkaya visi dan perjuangan Islam. Menurutnya
lagi, islamisasi ilmu dapat dicapai melalui pemaduan antara ilmu-ilmu baru ke
dalam khazanah warisan Islam dengam mambuang, menata, menganalisa, menafsir
ulang, dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam (islamic wrold
view). Dari sudut metodologi, Al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmu
berdasarkan pada tauhid. Menurutnya, metodologi tradisional tidak mampu memikul
tugas ini karena beberapa kelemahan. Di antara kelemahan itu adalah, (1) karena
telah menyempitkan konsep utama seperti fiqh, faqíh, ijtihad dan mujtahid;
(2) metodologi tradisional telah memisahkan wahyu dengan akal, dan seterusnya
memisahkan pemikiran dan tindakan; dan (3) mitodologi tradisional membuka ruang
dualisme sekuler dan agama. Sebaliknya Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip
dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi, dan cara
hidup Islam.
Prinsip-prinsip tersebut ialah, (1) keesaan Allah; (2) kesatuan
penciptaan; (3) kesatuan kebenaran; (4) kesatuan ilmu; (5) kesatuan kehidupan dan
(6) kesatuan kemanusiaan. Al-Faruqi juga merumuskan konsep dan kerangka kerja
usaha-usaha islamisasi ilmu dengan
menggariskan lima tujuan pokok dari gagasan islamisasi ilmu: (1)
menguasai disiplin ilmu modern; (2) menguasai warisan Islam (islamic
heritage); (3) menentukan relevansi Islam yang tertentu bagi setiap bidang
ilmu modern; (4) mencari cara-cara bagi melakukan sintesis yang kreatif antara
lain ilmu modern dan ilmu warisan Islam; (5) melancarkan pemikiran Islam ke
arah jalan yang boleh membawanya memenuhi kehendak Allah.
Selain itu, Al-Faruqi juga menetapkan setidaknya terdapat 12
langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan mulia di atas, langkah-langkah
yang dimaksud adalah, (1) penguasaan disiplin modern yang meliputi prinsip,
metodologi, masalah, tema, dan perkembangannya; (2) peninjauan disiplin; (3)
penguasaan ilmu warisan Islam: ontologi; (4) penguasaan ilmu warisan Islam dari
sisi analisis; (5) penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu
disiplin; (6) penilaian secara kritis disiplin modern untuk memperjelas kedudukan
disiplin terhadap langkah yang harus diambil untuk menjadikannya bersifat
islami; (7) penilaian secara kritis ilmu warisan Islam, seperti pemahaman
terhadap Alquran dan sunnah, perlu analisis dan kajian terhadap
kesalaha-pahaman; (8) kajian dan penelitian masalah utama umat Islam; (9)
kajian tentang masalah utama yang membelit manusia sejagad; (10) melahirkan
analisis dan sintesis yang kreatif; (11) pengacuan kembali disiplin dalam
kerangka Islam, seperti kitab-kitab utama teks dalam universitas; dan (12)
harus memasar dan mensosialisasikan ilmu-ilmu yang sudah di-Islamkan.
Baik Al-Attas maupun Al-Faruqi menekankan bahwa islamisasi ilmu
yang dimaksud adalah ilmu-ilmu kontemporer, dengan kata lain merujuk pada ilmu
yang berdasarkan pandangan Barat Sekuler; atau ilmu yang ditemui dan
disebarluaskan oleh peradaban Barat, terutama yang bersifat ontologis,
aksiologis, epistemologis, dan kosmologis. Hal ini dapat dimengerti karena ilmu
menurut Barat sangat bergantung sepenuhnya dengan kaidah empiris, rasional, dan
dapat dirasa dengan indera dan sangat materialistik, maka ilmu wahyu yang
terkandung dalam kitab suci dianggap nihil. Ilmu bagi Barat tidak didasarkan
pada wahyu dan kepercayaan agama, dan sepenuhnya sudah sekular.
Paradigma
Barat sepertinya mengambil pendapat Aristoteles tentang Tuhan dan penciptaan
alam bahwa alam ini laksana sebuah jam, dan Tuhan umpama pencipta jam tersebut. Setelah jam tercipta dan dapat
berjalan sendiri, penciptanya tidak ikut campurtangan lagi. Atau berpandangan
bahwa Tuhan tidak lagi mempunyai peran apa-apa setelah Ia menciptakan alam ini,
yang bergerak dengan sendirinya melalui mekanisme cause and effect.
Jadi,
ilmu menurut Barat adalah neutral dan bebas nilai, sedang Al-Attas dan
Al-Faruqi menilai sebaliknya, bahwa ilmu sarat dengan nilai (full of value),
selain itu mereka berdua juga sama-sama memiliki tujuan bahwa konsep islamisasi
ilmu berdasarkan pada prinsip metafisik; ontologi, epistemologi, dan aksiologi
Islam yang bernafaskan tauhid. Juga sepakat bahwa, ilmu Barat khususnya dalam
ranah sains modern berdasarkan pada falsafah dan pandangan alam sekular dimana
Allah yang Maha Pencipta telah direduksi.
Banyak yang keliru menilai gagasan islamisasi ilmu, terutama dari
internal kaum muslimin sendiri. Salah paham timbul karena menyangka jika semua
ilmu termsuk ilmu-ilmu fradhu ‘ain, seperti akidah, syariat, dan akhlak yang bersumber dari wahyu harus diislamkan,
padahal dari ilmu-ilmu itulah Islam terbangun dan tetap eksis hingga saat ini.
Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Mahasiswa S2 UMI Makassar dan Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments