Abu Hanifah dan Malik Bin Anas: Ulama Penentang Penguasa Zalim

Kembali ke tahun politik. Saya
selaku warga negara Republik Indonesia yang masih ditakdirkan menetap di
Makassar, sebuah kota lama yang masyhur dan tertulis dalam buku-buku Asing,
mulai dari Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, hingga tulisan-tulisan orang
Potugis seperti Alexander De Rhodes sebagaimana dikutif oleh Leonado Y Andaya
dalam, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes)
in Seventeeth Century, 2004. Pendek kata, kata “Makassar’ adalah sebuah
jaminan akan eksistensinya dari dulu hingga kini.
Makassar, juga dalam hiruk-pikuk
karena sedang diambang pemilihan Wali Kota, yang akan menakhodai Makassar lima
tahun ke depan, atau satu priode mendatang. Sedikitnya ada sepuluh calon yang akan
bertanding menjadi ‘katanya’ pelayan rakyat, berbagai alasan mengapa begitu banyak yang ingin maju sebagai pemimpin di Makassar, mulai dari yang --sekali lagi katanya-- ingin mewakafkan diri, mengabdikan diri, berbakti, berjuang bersama rakyat, hingga yang ingin menjadikan Makassar 'bergerak' atau kota yang nyaman (comport city). Berbagai macam alasan, mengapa
mereka begitu ngotot menjadi pemimpin. Belum lagi pemilihan legislator yang
akan dihelat tahun depan, para caleg saat ini sedang gencar-gencarnya
mengiklankan dirinya, sudut-sudut kota kian rusak pemandangannya akbiat
banyaknya baliho yang tak tertata. Padahal sejatinya, menjadi pemimpin atau
wakil rakyat dalam pandangan Islam, tidak melulu dianggap mulia, malah kerap
mendatangkan kehinaan jika salah dalam menentukan kebijakan, terutama jika
berhukum atau memutuskan perkara dengan hukum thaghut dan hawa nafsu.
Para ulama dari salafush shaleh
sangat menghindari untuk memegang jabatan karena takut dimintai
pertanggung-jawaban di sisi Allah kelak, atau tidak sudi berbaur deengan para
pemimpin yang memerintah dengan zalim dan kejahilan, bukan dengan ilmu dan
keadilan.
Sebagai penawar, penulis mencoba
mengetengahkan dua sosok ulama yang namanya tetap abadi dan tersemat di dada
setiap umat Islam karena kegigihannya menjaga jarak dengan pemimpin dan terus
menjadi penasihat ‘bebas tak terikat’ bagi mereka. Kedua ulama di bawah ini
adalah sosok teladan yang harus dijadikan panutan di tengah hingar-bingarnya
suasana politk saat ini. Berikut kisahnya!
Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah bin Nu’man bin Tsabit
adalah teladan sejarah dalam memiliki karakter dan yang berlandaskan pada
agama. Dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad tahun 150 H,
dikenal sebagai tokoh Ahlul Ra’yi
(aliran rasionalitas).
Pernah dua kali ditunjuk menjadi
qadhi, pertama pada masa Bani Umayyah dan yang kedua, masa Abbasiyah. Namun
keduanya ditolak. Sikap tegasnya pada khalifah Al-Manshur sangat masyhur.
Semuanya mencerminkan karakter Abu Hanifah yang tidak mudah tunduk kepada
tirani. Takdir berbicara, bagaimana Abu Hanifah mendapat ujian akibat politik
kezhaliman. Api pemberontakan terhadap penguasa Umawiyah yang sadis dan tiran
berkobar di seantero negeri yang berakhir dengan pembantaian missal yang
mengerikan. Dalam situasi kacau dan memprihatinkan itu, Imam Abu Hanifah
didatangi utusan penguasa Irak yang durjana, Yazid bin Hubairah yang menawarkan
jabatan qadhi bersama sejumlah ulama lainnya. Sebagai seorang yang berilmu dan
berfikiran tajam, Abu Hanifah sadar bahwa penguasa durjana dan para pemimpinnya
yang biadab itu hanya bertujuan menjadikan dirinya dan para ulama lain sebagai
justifikasi bagi perbuatan jahat mereka. Justifikasi para ulama ini akan
dimanfaatkan para penguasa untuk mengelabui masyarakat, bahwa kebiadaban mereka
sah dan didukung penguasa zhalim. Dengan tegas Abu Hanifah mengumumkan penawan
itu secara terbuka. Ia berkata bahwa, demi Allah, jika Ibnu Hurairah membuka
pintu-pintu kota Wasith bagiku, aku akan menolak untuk memasukinya, maka
bagaimana mungkin aku menerimanya, padahal ia hendak membunuh seorang laki-laki
mukmin? Demi Allah, aku menolak selamanya.
Penolakan ini membuat pemimpin
tirani berang. Ia menjebloskan Abu Hanifah ke penjara selama dua minggu dengan
harapan, berubah fikiran. Selama dalam penjara, Abu Hanifah dicambuk 10 kali
setiap hari selama 10 hari, hingga nyaris nyawanya terenggut. Namun, Allah
berkata lain, dinasti Umawiyah tumbang akibat kezalimannya yang melampau.
Ketegasan sikap Abu Hanifah terhadap penguasa zhalim dinasti Umawiyah yang
tercermin pada sosok Yazid bin Hubairah, juga beliau lakukan terhadap Abu
Ja’far Al Manshur, penguasa Abbasiyah. Hal ini disadari logika pemikirannya
bahwa seorang tiran yang zhalim harus diperangi, tak peduli apakah ia Umawiyah
atau Abbasiyah.
Ketika itu, Al-Manshur menawarkan
jabatan yang dulu pernah ditawarkan Dinasti Umawiyah, tetapi Abu Hanifah
bersikukuh menolaknya. Keduanya sama-sama ngotot. Al-Manshur ngotot
menawarkan agar Abu Hanifah menerima jabatan itu, bahkan ia bersumpah, sedang
Abu Hanifah juga demikan halnya tetap menolak dan bersumpah untuk tetap dalam
pendiriannya. Rabi’ bin Yunus, menteri Al Manshur berkata, “Tidakkah engaku
lihat Khalifah bersumpah?” Abu Hanifah menjawab, “Ia lebih mampu membayar
keffarat atas sumpahnya daripada aku!” akhirnya Abu Hanifah ditangkap lalu
dipenjarakan. Namun setelah beberapa hari dia ditanya lagi, “Bersediakah
engakau?” Abu Hanifah menjawab, “Aku tidak layak menjadi qadhi.” “Engaku
dusta!”, sergah Al Manshur. “Engkau telah mengatakan aku pendusta, berarti aku
tidak patut menjadi qadhi. Kalaupun aku pendusta, aku tetap akan mengatakan,
‘tidak’” tukas Abu Hanifah tanpa beban. Al Manshur berang dan memvonis hukuman
cambuk pada Abu Hanifah. Hukuman inilah akhirnya merenggut nyawanya, ia wafat
setalah mendapat cambukan kali ke 130. Ruhnya yang suci melayang saat beliau
sujud. Abu Hanifah wafat sebagai syuhada, sementara Al-Mashur menjalani
hari-harinya dan dinyatakan oleh sejarah sebagai seorang penguasa zhalim dan
durjana. Tepat di di tahun wafatnya 150 H, Imam Syafi’i juga lahir, dengan itu
sering dikatakan bahwa imam yang satu pergi dan yang lain datang.
Karakter ketabahan dan konsistansi
dalam mempertahankan kebenaran (istiqamah), melawan kezaliman yang
dilakukan oleh penguasa tiran adalah sebuah karakter yang merupakan dasar dari
ajaran Islam yang tidak diperselisihkan lagi kebenarannya.
Imam Malik bin Anas

Dan cukuplah Malik bin Anas selama
hidupnya konsisten untuk menyuarakan kebenaran fi sabilillah, tidak takut terhadap kekejaman orang-orang yang
sadis dan keganasan para pemimpin durjana, Berkat dirinya, Madinah menjadi
kiblat ilmu yang didatangi para pencari ilmu dari beragam plosok dunia untuk
menimba ilmu dan mendulang ketakwaan Malik bin Anas yang luas. Sampai-sampai dikatakan, “Tidak ada
fatwa selama ada Malik di Madinah.”
Dalam tulisan ini, penulis hanya
akan menukil sebagian saja sebagai bukti keteguhan dalam mempertahankan al-haq dan kegigihannya menentang mereka
yang menyimpang dari kebenaran, serta keberaniannya dalam menjalankan amar ma’ruf nahyi mungkar, tanpa
mempedulikan penyiksaan penguasa terhadapnya. Sebagaimana dikutif Musthafa
Ar-Rifa’i, diantaranya adalah, Isa bin Umar pernah ditanya, “Apakah Malik
mendatangi para penguasa?” ia menjawab,”Tidak, melainkan lebih dulu ia
didatangi lalu ia mendatangi mereka.” Waktu itu Malik bin Anas ditanya,
“Mengapa engkau mendatangi penguasa, padahal mereka zhalim dan
sewenang-wenang?” Malik menjawab, “Semoga Allah Merahmatimu, siapakah orangnya
yang bicara kebenaran?” lalu Malik menambahkan, “Sepatutnyalah seorang muslim
yang Allah anugrahkan ilmu dan pemahaman agama, untuk mendatangi penguasa guna
menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta memberi
peringatan dan nasihat. Demikian agar kunjungan si alim berbeda dengan orang
lain. Jika semua itu dilakukan, maka tak ada puncak keutamaan selain
itu.”; Suatu hari, Imam Malik mendatangi
Harun Al-Rasyid. Kepadanya ia menganjurkan untuk peduli kapada kemaslahatan
kaum muslimin. Malik berkata kepada harun, “Aku mendengar sebuah riwayat bahwa
Khalifah Umar bin Khattab pada tahun paceklik meniup api tungku untuk memasak
makanan, sehingga dari jenggotnya keluar asap. Tak aneh bila rakyat respek
padanya.”; Pada kesempatan lain, Imam Malik mendatangi Khalifal Harun Al Rasyid
yang tengah bersiap-siap bermain catur Imam Malik berkata, “Apakah ini sebuah
kebenaran, wahai amirul mukminin?” tanyanya sambil berdiri tegak dihadapan
Khalifah. “Bukan!” Jawab Khalifah, Malik menutur, “Tidak adalagi sebuah
kebenaran melainkan kesesatan.” Maka Harun Al Rasyid mengangkat kakinya dan
menyuruh Imam Malik untuk tidak berdiri lagi dihadapannya setelah itu. Abu
Ya’qub al Hunaini, teman Imam Malik bercerita, “Aku mendengar Imam Malik
bersumpah demi Allah, bahwa ia tidak mendatangi seorang penguasa melainkan
Allah menghilangakan rasa takut dari hatinya, sehingga ia berani mengucapkan
kata-kata kebenaran kepadanya.”; Ibnu Wahab mengisahkan, suatu saat ia duduk di
samping Abu Ja’far Al Mashur, tiba-tiba Abu Ja’far bersin, maka Imam Malik
mendoakannya, “Ketika Malik pamit, pengawalnya menegur dan mengancamnya jika
melakukan hal itu sekali lagi di hadapan khalifah. Pengawal semacam ini adalah
pendamping jahat yang menjerumuskan pemimpin kepada bencana. Beberapa hari
kemudian Imam Malik kembali datang dan duduk di samping Khalifah. Ketika Abu
Ja’far Al Manshur bersin, Malik melirik pengawal lalu berkata kepada Al-Manshur,
“Apa hukum yang engkau inginkan wahai Amirul Mukminin? Hukum Allah atau hukum
setan?” Al-Manshur menjawab, “Hukum Allah!” serta merta Malik menjawab, “Yarhamukallah!”
(semoga Allah merahmatimu); Di lain waktu seorang penjilat yang cari muka
memuji salah seorang pejabat Madinah di hadapannya, sementara Malik di sisinya.
Mendengar pujian orang itu, Malik marah
dan menegur sang pejabat, “Hati-hati, engakau jangan tertipu oleh pujian orang
terhadapmu! Karena orang yang memujimu dengan suatu kebaikan yang tidak ada
pada dirimu, akan mencelamu dengan kejahatan yang tidak ada padamu,”; Suatu
hari, Imam Malik bin Anas diberi minuman saat berkunjung ke Khalifah Al-Mahdi,
namun ia menolak meminumnya, karena di gagang gelasnya yang terbuat dari kaca
terdapat perak, lalu dihadirkan cangkir dari tembikar, maka ia pun meminumnya
dan meminta Khalifah membuang perak itu; Di antara ujian yang dideritanya pada
tahun 146 H. adalah Khalifah Abu Ja’far melarangnya menyampaikan hadis yang
berbunyi, “Tidak ada thalak bagi orang yang dipaksa.” Diam-diam, ada yang mananyakan kepada Imam Malik tentang hadits
tersebut, hal ini mendorong sang Imam menyampaikan hadits ini ke khalayak.
Mendengar demikian Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah memukul Imam Malik 30
kali, dalam riwayat lain lebih 30 kali dan ada yang mangatakan 70 kali, serta
ada pula menyebutkan lebih dari itu. Sebagian perawi menyebutkan, penyebab Imam
Malik dipukul dikarenakan fatwa, bahwa pengangkatan Abu Ja’far sebagai Khalifah
tidak sah karena melalui paksaan.
Namun hukuman demi hukuman yang
diderita, tidak membuat Imam Malik turun derajat, bahkan sebaliknya. Dirinya makin
menjadi lebih terhormat dan masyhur di mata umat. Al-Hunaini teman Malik
menuturkan, “Setelah menderita hukuman pukul, tangan Imam Malik menjadi kaku
tidak dapat diangakat. Demi Allah, setelah ia dipukul, ia menjadi lebih
terhormat dan lebih besar sehingga seakan-akan pukulan itu menjadi perhiasan
baginya.” Al-Qarawi menguatkan, “Ketika Malik bin Anas dipukul dan disiksa,
orang-orang datang menjenguknya ketika siuaman, ia berkata, “Aku jadikan kalian
saksi bahwa orang yang memukuliku aku maafkan.” Al-Qarawi melanjutkan, “Pada
hari kedua, kami kembali menjenguk. Ternyata ia sudah dapat berdiri, lalu kami
ucapkan sesuatu yang telah kami dengar darinya. Dan kepadanya kami berkata,
‘Engaku telah menderita seperti ini.’ Ia bertutur, “Kemarin aku takut meninggal
lalu aku berjumpa denga Rasulullah, dimana aku sangat malu kepada beliau jika
sebagian muslim masuk neraka lantaran aku.”
Al-Mutharrif berkomentar, “Aku dapati bekas cambukan di punggung Malik,
aku telah memeriksanya dan nampaknya saat meraka mencambuknya, mereka membuka
baju Imam Malik sehingga ia dapat meluruskan sorbannya karena babak belur pada
pundaknya. Imam Malik sangat malu pada dirinya, saat pakaian yang menutupi dada
dan pahanya terlepas akibat cambukan. Terbukanya paha lebih berat baginya
daripada cambukan yang ia derita, ia lebih merasa sakit karena dadanya
kelihatan ketimbang karena cambukan.” Begitulah sekelumit cerita tentang
karakter kesabaran, konsistensi, dan perjuangan sang Imam dalam menyebar dan
mempertahankan kebenaran, sesuatu yang sangat langka di era pragmatisme saat
ini.
Semoga kedua ulama muktabar di atas dapat menjadi penawar dahaga dalam suasana yang serba pragmatis saat ini. Dimana mayoritas orang berlomba-lomba untuk menggapai kesuksesan material, seperti ingin terkenal, kaya, menjabat jabatan, disanjung, dst. Para ulama inilah yang seyogyanya menjadi panutan bagi kita semua dan sekaligus menjadi role model dalam membentuk pribadi yang berkarakter dan beradab. Ulama harus menjadi penasihat untuk pemerintah dan bahkan penentang jika penguasa melenceng dari aturan Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis. Wallahu A'lam!
Ilham Kadir, Anggota MUIMI dan Peneliti LPPI
Comments