Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Refleksi
Hari Pendidikan Nasional
Setiap tanggal 02 Mei, Bangsa
Indonesia memeringati hari Pendidikan Nasional dengan bertitik-tolak dari tahun
1921, ketika Ki Hadjar Dewantoro mendirikan lembaga Taman Siswa. Ki Hadjar pernah
terjun di Politik sampai berhasil mdnduduki pucuk Pimpinan Partai Nasional Indonesia
(PNI), dan mengantarkan dirinya menduduki Menteri Pengajaran pada Kabinet
Pertama Indonesia awal kemerdekaan. Sejatinya jauh sebelum Ki Hadjar Dewantoro
terjun dibidang pendidikan dan mendirikan lembaga Taman Siswa, sudah tersebar
di nusantara lembaga-lembaga Pendidikan Islam.
Pada
awal abad ke-20, madrasah-madrasah dengan sistem berkelas (klasikal) mulai
muncul di Indonesia. Menurut penelitian Mahmud Yunus, pendidikan Islam pertama kali
memiliki kelas dan memakai bangku, meja, dan papan tulis adalah Madrasah
Adabiyah (Adabiyah School) di Padang. Madrasah Adabiyah adalah madrasah
pertama di Miangkabau, bahkan di Indonesia, didirikan oleh Syaikh Abdullah
Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini hidup sampai tahun 1914, kemudian diubah
menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915, yang merupakan HIS pertama di Miangkabau
yang memasukkan pelajaran agama Islam dalam pengajarannya. (Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, t.th.)
Muculnya
sekolah-sekolah Islam yang besepadu dengan sistem pendidikan modern juga tak
terlepas dari banyaknya alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang telah
menyelesaikan pendidikannya di sana. Mereka adalah hasil dari sistem pendidikan
yang telah direformasi oleh Muhammad Abduh. Setibanya di Indonesia, mereka
mengelolah dan mengajar di sekolah-sekolah agama serta memasukkan mata
pelajaran umum. Lembaga pendidikan yang demikian dinamai Madrasah Guru Islam
atau Sekolah Menengah Islam (SMI). Di antara madrasah yang juga termasuk awal
adalah Al-Jami’ah Islamiyah, di Sungayang Batusangkar, didirikan oleh
Mahmud Yunus pada 20 Maret 1931; Normal Islam (Kuliah Mu’allim Islamiah),
didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada tanggal 1
April 931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus, dengan demikian Mahmud Yunus memimpin
dua madrasah tingkat menengah dan tinggi di atas. Apa pula Islamic College, didirikan oleh
Persatuan Muslim Indonesia (Permi) di Padang pada tanggal 1 Mei 1931, dipimpin
oleh Mr. Abdul Hakim. Kemudian digantikan oleh Mukhtar Yahya tahun 1935.
Selanjutnya
berdirilah beberapa madrasah yang memasukkan pengetahuan umum dalam rencana
pendidikannya, di antaranya, Training College didirikan oleh Nasruddin
Thaha di Payakumbuh tahun 1934; Kulliah Muballghin/Muballighat,
didirikan oleh Muhammadiyah di Padang Panjang; Kulliah Muallimat Islamiah,
didirikan oleh Rgk. Rahmah Al-Yunusiah di Padang Pada tanggal 1 Februari 1937; Kulliah
Dianah, didirikan oleh Syakh Ibrahim Musa di Parabek pada tahun 1940 dan
dipimpin oleh H. Bustami A. Gani; Kulliatul Ulum, didirikan oleh
Thawalib Padang Panjang dan dipimpin oleh Engku Mudo Abdul hakim; Kulliah
Syariah, didirikan oleh Tarbiyah Islamiah di Padang Panjang; Nasional
Islamic College, didirikan oleh alumni Islamic College di Padang; Modern
Islamic College didirikan oleh St. Sulaiman dan kawan-kawan di Bukitinggi.
Di Sulawesi
Selatan, secara umum para raja-raja memberi keleluasaan kepada para dai dan
ulama sekalihus pendidik untuk mengembangkan syiar agama Islam dan pendidikan.
Raja Gowa yang bergelar Imangimangi Daeng Matuju Karaeng Bontonompo Sultan
Muhammad Tahir Muhibuddin (1936 – 1946) menggagas pembukaan Madrasah Islamiyah,
bertempat di Jongaya, Gowa. Pengajaran agama Islam yang diberikan berdasarkan
mazhab syafi’i. Pimpinan Madrasah dipegang oleh Asy Syekh Abdullah bin Shadaqah
Dahlan, penganjur mazhab Imam Syafi’i yang taat. Madrasah ini dubuka, setelah
beberapa bulan Sultan Muhammad Tahir naik tahta di Gowa pada tahun 1936. Para
murid-murid madrasah ini berasal dari daerah Takalar, Jeneponto, dan Gowa
sendiri. Ketika pecah perang dunia ke II madrasah ini terpaksa ditutup, perang
memang selalu membawa petaka!
Sebelum
itu, di daerah Campalagian Mandar, menurut catatan, pendidikan dengan sistem
tradisional telah bermula dari tahun 1913 dibawah asuhan H. Maddeppungeng yang
pernah berguru di Mekah Saudi Arabia. Tempat ini menjadi pencetak kader-kader
muballigh Islam di Sulawesi Selatan pada awal abad ke XX. Tempat pendidikan ini
tidak membatasi usia para pelajarnya. (Sarita Pawiloy,
Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan, 1986).
Di
kerajaan Wajo ketika diperintah oleh La
Mannang Toapamadeng Puangna Raden Galla, Arung Matoa ke-40 yang berkuasa pada tahun 1821-1825,
beliau melakukan berbagai usaha dalam bidang pendidikan dan agama, seperti:
memperluas dan menyempurnakan Masjid Jami’ Tosora; mendatangkan ulama dari
Madinah, (biasa disebut oleh orang Wajo dengan Syekh Madinah); mengeluarkan
perintah pada raja-raja bawahannya agar masjid yang ada dipelihara dan
diperbaiki, dan yang belum memiliki masjid agar segera membangun supaya rakyat
dapat shalat secara berjamaah; pohon-pohon yang dikeramatkan agar ditebang;
perempuan yang keluar rumah agar menggunakan tutup kepala dan kain sarung
(baca: krudung); dan dari segi pelaksanaan hukum, pemerintah memotong tangan
bagi pencuri atas anjuran Syekh Madinah.
Ketika
La Oddang Datu Larompong, Arung Matoa
Wajo ke-47, memerintah Wajo dari tahun 1926-1933. Beliau memiliki pengetahuan
agama yang dalam, karena sejak kecil dididik oleh orang tuanya dalam masalah
keagamaan. Beliau disifatkan sering bergaul dengan para Ulama seperti, Haji
Makkatu, seorang Ulama yang sangat tegas dalam memberantas segala kemungkaran
dan merintis pengajian yang bersifat kalsikal di Tosora, juga beliau dekat
dengan Haji Muhammad As’ad, seorang Ulama Bugis yang lahir di Mekkah, ke Wajo
pada tahun 1928, sangat berjasa dalam mengembangkan pendidikan Islam di
Sulawesi Selatan dengan mencetak para ulama berkaliber nasional dan internasional.
Anre
Gurutta (AG) Haji Muhammad As’ad memulai pendidikan dengan memberikan pengajian
rutin di rumahnya atau di masjid dengan sistem halakah. Materi utamanya dititik-beratkan
pada akidah dan hukum sayriah. Semakin lama berjalan, pengajiannya semakin
terkenal dan didatangi para santri yang dari perbagi penjuru sehingga sistem
halakah (mangaji tudang) tidak cocok lagi. Bulan Mei 1930
beliau membuka sistem pendidikan formal dengan bentuk madrasah atau sekolah
formal klasikal di samping Masjid Jami’ Sengkang yang diberi nama Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI). Dua tahun kemudian dibangunlah gedung sekolah secara
permanen di samping masjid atas bantuan pemerintah kerajaan Wajo bersama tokoh
masyarakat. Beliau juga sebagai aktor dan pelopor pemurnian ajaran Islam dan
pembaruan sistem pendidikan Islam modern melaui Madrasah Arabiyah Islamiyah
(MAI) yang berpusat di Sengkang. (Ilham Kadir, Jejak Dakwah KH. Lanre Said,
Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi, 2010).
Para
alummni MAI Sengkang, bertebaran mendirikan lembaga pendidikan Islam bercorak
pesantren dengan sistem klasikal (modern) di berbagai daerah. Seperti AG. H.
Abdurrahman Ambo Dalle mendirikan MAI Mangkoso lalu bersama AG. H. Daud Ismail
dan AG. H. M. Pabbajah mendirikan Darul Da’wah wal Irsyad (DDI). AG. H. Daud
Ismail juga mendirikan Pesantren Yasrib di Watangsoppeng. AG. H. Junaid
Sulaiman mendirikan Pesantren Ma’had Hadits di Watangpone, AG. H. Abd. Muin
Yusuf mendirikan Pesantren Al Urwatul Wutsqa di Benteng Rappang, dengan sistem
pendidikan dan pemahaman yang secara umum hampir sama karena berafiliasai pada
mazhab syafi’i sebagaimana pemahaman Gurutta H. M. As’ad sendiri, kecuali KH.
Lanre Said yang Mendirikan Pondok Pesantren Darul Huffadh di Tuju-tuju, Bone,
dan KH. Marzuki Hasan pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa-Maros
dan Sinjai memiliki sistem dan pemahaman yang berbeda karena tidak berpegang
kepada salah satu mazhab. Adapun AG. H. Hamzah Manguluang selain mendirikan
pesantren Babul Khaer di Bulukumba, beliau juga menjadi penulis produktif, di antara
tulisannya yang sangat spektakuler adalah tafsir al-Qur’an 30 Juz lengkap
dengan menggunakan bahasa Bugis, dan inilah salah satu tafsir berbahasa daerah terlengkap
pertama kali di nusantara.
Demikian
pula di Kerajaan Bone, berkat bantuan Andi Mappanyukki alias Petta Mangkau Bone, pada tahun 1929
didirikan sebuah madrasah yang diberi nama “Madrasah Amirah” di Watampone.
Pimpinannya ialah Abdul Aziz Asy-Syimie berasal dari Mesir, tahun 1935 pimpinan
madrasah beralih ke tangan Ustaz Abdul Hamid al-Misyrie dan selanjutnya
digantikan oleh Ustadz Mahmud al-Jawad bekas Mufti Madinah al-Munawarah yang
sebelumnya pernah mengajar di Palopo. Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1940
dibangunlah asrama para pelajar sebagai tempat tinggal dan gedung belajar yang
teratur. Para pengasuh madrasah ini
adalah para Ulama dari Bone sendiri yang pernah mukim dan belajar di Makkah dan
Mesir.
Selanjutnya
pada tahun 1932 atas inisiatif Raja Bone Andi Mappanyukki diadakan “Pertemuan
Ulama se-Celebes Selatan” di Watampone, ibukota kerajaan Bone. Musyawarah
tersebut dihadiri oleh 26 Ulama terkemuka dari seluruh penjuru Sulawesi Selatan
termasuk Gurutta H. M. As’ad, di antara isi pertemuan tersebut adalah
membicarakan cara-cara pengelolaan pendidikan Islam yang sesuai dengan tuntutan
zaman bagi generasi pelanjut. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir,
Anggota Majelis Intelektual, Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti LPPI
Indonesia Timur
Comments