Islamisasi Epistemologi Ala Fuad Rumi

Menjelang kuliah
materi filsafat ilmu dimulai, ketua kelas yang terpilih secara aklamasi maju ke
depan untuk memberi arahan kepada kami, “Kita akan belajar filsafat ilmu, dan
memiliki dua dosen yang berbeda. Delapan pertemuan awal kita akan diajar oleh seorang
guru besar dalam filsafat, dan sisanya oleh Dr. Ir. Fuad Rumi.”
Kalau guru besar
yang masuk mengajar–lanjut ketua kelas—jangan terlalu sering menghubungkan antara
filsafat dengan agama apalagi ayat-ayat Alquran, tapi sebaliknya jika Ir. Fuad
Rumi mengajar, segala pendapat harus selalu bersandar dan berdasarkan dengan
nilai-nilai wahyu ilahi yang bersumber dari Alquran dan Sunnah.” Tegas ketua
kelas.
Selaku
mahasiswa, penulis paham betul bagaimana iklim pendidikan dunia kampus di
Indonesia. Hubungan antara dosen dan mahasiswa adalah sama dengan hubungan
antara nabi dan umatnya, sebagaimana Musa a.s. dan Bani Israil. Keselamatan
seorang mahasiswa sangat tergantung dari seorang dosen, sebagaimana peran
seorang nabi dalam menyelamatkan umatnya.
Faktanya,
penulis memiliki teman yang juga sedang menempuh studi program pascasarjana di
salahsatu kampus negeri termasyhur di
Indonesia bagian Timur terpaksa mengundurkan diri karena bertentangan dengan
dosennya dalam mata kuliah filsafat. Ini hanya contoh kecil dari sekian banyak
korban ‘polemik’ dalam ilmu filsafat.
Polemik
Polemik
yang berasal dari bahasa Yunani Kuno ‘polemikos’ artinya suka berlawanan antara
satu dengan lainnya juga bisa diterapkan dalam kajian filsafat, betapa tidak,
dari dulu hingga kini para pemikir dan ulama muslim tidak pernah sebulat suara
menilai dan memandang filsafat. Ada yang berpendapat bahwa filsafat ikut andil
dalam memurtadkan seorang muslim, namun ada pula yang sebaliknya, menilai bahwa
filsafat sangat cocok diguna-pakai dalam pencarian kebenaran.
Mereka
yang antipati terhadap filsafat
karena menganggap sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur
atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme. Filsafat dalam
pengertian inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim dengan sebulat suara,
yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama,
mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya.
Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali
melepaskan pukulan keras (knock out) terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut
al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat:
pertama, keyakinan filosof (Ibnu Sina) bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan
mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga,
pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat.
Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran
filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: ‘Filsafat adalah pangkal
kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat,
maka butalah hatinya akan keutamaan syariat suci yang ditopang dalil-dalil dan
bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup
dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan”.
Padahal jika ditelusuri dan diteliti karya-karya
para filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekadar mereproduksi apa yang
mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasif-reseptif, tidak
menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap
kritis. Sebaliknya, para pemikir muslim semisal Ibn Sina, al-Baghdadi dan
ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan
dan menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan
menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru
pada istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk
persoalan-persoalan perennial dalam filsafat.
Selain
berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran
tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah
keilmuan Yunani Kuno
dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata
lain, mereka berupaya mengislamkannya. Maka yang terjadi adalah islamisasi
filsafat secara negatif (pengenyahan unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan
unsur-unsur islami).
Adapun
filsafat dengan tujuan mulia ialah membenarkan yang benar (ihqaq
al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional,
persuasif dan elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin
tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang
mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim
menjawab, “Aku percaya, akan tetapi [aku bertanya] supaya hatiku tentram (mantap).” Jadi, filsafat itu
untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan. (http://www.insistnet.com.)
Epistemologi
Salah satu
kajian dalam ilmu filsafat yang sangat penting adalah epistemologi yang
diartikan sebagai pengetahuan dalam memporoleh ilmu. Atau cabang ilmu filsafat
tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan, dan
dapat diartikan sebagai dasar cara pandang dalam menilai sesuatu.
Dr. Ir. Fuad
Rumi adalah salah satu cendekiawan lokal yang berusaha sekuat jiwa dan raga
untuk memasarkan kepada khalayak umum dan lebih khusus kepada mahasiswa
didikannya tentang Islamisasi epistemologi. Dalam artian, cara pandang dunia (wrold
view) kita terhadap epistemologi ilmu harus diislamkan terlebih dahulu. Dalam
pandangan Fuad Rumi, salah satu faktor penyebab bobroknya negeri ini terletak
dari kerancuan epistemologi para pengelolahnya. Baik itu eksekutif
(pemerintah), legislatif (pengawas), maupun yudikatif (penegak keadilan) yang
selalu memiliki cara pandang yang salah. Salah satu di antara cara pandang itu
selalu melihat harta negara atau orang lain sebagai bagian dari hartanya, sehingga
merasa memiliki hak untuk mengambil dan menikmatinya, termasuk menggunakan
sebagai biaya perjalanan spritual, seperti haji dan umrah.
Untuk itulah,
pengurus ICMI Sulsel ini, memandang bahwa dalam berilmu ada beberapa kriteria yang
harus dipenuhi oleh seorang penuntut. Pertama. Hendaklah memulai
menuntut ilmu dengan tujuan mengenal Allah secara utuh bukan parsial, karena
beragama tanpa ilmu itu sia-sia. Hal ini sesuai dengan pandangan ulama salaf
bahwa “al-ilmu qablal qaul wa amal” berilmu sebelum berucap dan berbuat.
Hancurnya agama ini karena terlalu banyak orang yang mengaku berilmu lalu
mengeluarkan pendapat yang tidak jarang menyesatkan.
Alquran juga
demikian, mendahulukan kata ilmu sebelum bertauhid, sebagaimana yang tertera
pada Surah Muhammad ayat ke-19. “Fa’lam annahu laa ilaha illallah, [ketahuilah bawa tidak ada tuhan selain Allah]”. Kata ‘ketahuilah’ sama dengan perintah untuk
berilmu. Jadi berilmu sebelum bertauhid adalah hal mutlak dalam Islam.
Kedua. Ilmu harus
selalu mendekatkan empunya kepada hidayah (kebenaran ilahi), karena ilmu
yang menjauhkan seseorang dari hidayah
adalah ilmu yang sia-sia, kelak akan menjadi musuh di hari kemudian.
Sebagaimana sabda nabi, “Barang siapa yang bertambah ilmunya namun tidak
bertambah hidayahnya, maka baginya tidak ada apa-apa di sisi Allah kecuali
makin menjauh dari-Nya.”
Ketiga. Ilmu harus
selalu menjadi alat untuk menggapai ridha Allah, sepintar dan setinggi apa pun
ilmu seseorang namun jika tidak menjadikan dirinya makin takut pada-Nya maka ilmunya
dianggap nihil.
Oleh itulah,
menurut pandangan insinyur ahli tanah dan doktor bidang epistemologi ini, bahwa
seorang yang layak dijuluki ulama tidak mutlak memiliki ilmu yang tinggi, namun
yang terpenting adalah bagaima ia manfaatkan ilmunya bagi orang lain, serta
dapat menjadikan dirinya senantiasa takut (khasyiah) pada Allah.
Ketiga kriteria
di atas menjadi asas epistemologi dalam Islam yang semuanya bernafaskan
nilai-nilai Alquran, inilah yang disebut oleh Fuad Rumi sebagai ‘Epistemologi
Qurani’. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Anggota
Majelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti LPPI Indonesia
Timur.
Comments