Anregurutta H. Lanre Said; Teladan Pendidikan Karakter

Lanre Said
tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan didikan ayahnya. Setelah berumur
sepuluh tahun, ia dikirim belajar ke MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk
manyusul kakaknya Petta Haji Lesang yang telah belajar disana di bawah asuhan
langsung oleh KH Muhammad As’ad, berasal dari keluarga yang taat dalam
agama dan peduli terhadap pendidikan terutama ilmu-ilmu agama. Ini terbukti
dari tujuh bersaudara, mereka semuanya pernah belajar dan mondok di MAI
Sengkang. Adik-adiknya yang turut serta mondok dan belajar di bawah asuhan KH
Muhammad As’ad adalah Petta Haji Sikki, Petta Haji Dollah, Petta Hj Sokku,
Petta Lebbi, dan Andi Abdul Malik Petta Simpuang. Adapun yang paling bungsu di
sebut di atas hanya mondok di MAI saja namun melanjutkan sekolah formal di luar
pondok tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sengkang.[2]
Dikisahkan,
sebagaimana ditulis oleh Ilham Kadir bahwa ibunya pernah mendapatkan Lailatul
Qadar dan berdoa agar dikaruniai keturunan ulama semuanya hafal Al-Qur’an dan
penghuni sorga. Lanre Said menghabiskan waktunya selama 16 tahun untuk menimba
ilmu di madrasah pencetak kader ulama nomor wahid di Indonesia bagian timur
ini. Ia menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di As’adiyah, mulai dari
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan kelas atau halaqah khusus, kelas ini
setingkat dengan perguruan tinggi. Pelajaran
yang diterima dari seorang guru lebih spesifik (khusus). Syekh yang pernah
mengajar di sana kesemuanya berasal dari Timur Tengah. Dari penelusuran penulis,
mereka adalah Syekh Ahmad al Hafifi, merupakan ulama jebolan al Azhar Cairo
yang langsung didatangkan dari negara asalanya, Mesir dan Syekh Sulaiman as
Su’ud, merupakan ulama yang dikirim langsung dari Mekah, Saudi Arabia. Membutuhkan
pembahasan khusus siapa sebenarnya yang berperan penting mendatangkan para
ulama berkaliber internasional dan memiliki keikhlasan yang tak ada duanya ini
ke tanah Bugis.[3]
Mereka ini
mengajar mata pelajaran tertentu kemudian para muridnya diberikan ijazah khusus
jika telah selesai dan menguasai satu bentuk disiplin ilmu. Cara belajar
seperti ini merupakan cara konvensional yang telah terjadi pada ulama-ulama
terdahulu. Jadi seorang murid tidak dapat mengajar jika belum memiliki ijazah
yang merupakan sebuah pengakuan dari seorang guru kepada para muridnya. Seorang
pelajar bisa saja memiliki ijazah dari lembaga pendidikan tapi di lain pihak
juga mendapatkan pengakuan khusus dari guru tertentu. Para tilmiz atau
murid dalam setiap khalaqah bukan mempelajari ilmu-ilmu agama saja, tapi juga
mereka diajarkan berbagai macam ilmu yang dibutuhkan di tengah masyarakat, di
antara ilmu yang sering dikupas oleh Lanre Said adalah yang berhubungan dengan
ilmu psikologi dan sosiologi. Bahkan, menurut pengakuan beliau, gurunya yang
mengajarkan khusus ilmu ini mencapai dua puluh lima orang. Padahal untuk satu
mata pelajaran saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Untuk tafsir tahlily
misalnya, sebagaimana penuturan beliau, bahwa untuk membahas basmalah saja
dalam surah al Fatihah membutuhkan waktu selama dua minggu.[4]
Dalam umurnya
yang menginjak 22 tahun, Lanre Said telah menyelesaikan seluruh jenjang
pendidikan yang ada di Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang. Tahun selesainya
jatuh pada tahun 1945. Setelah itu, ia mengajar pada almamaternya selama empat
tahun, hingga 1949. Sepulang dari pesantren tempatnya belajar dan mengabdi, ia
kembali ke kampung halamannya di Tuju-Tuju untuk mengabdikan diri dengan
mengajar dan berdakwah.[5]
Pada tanggal 7
Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan
Abdul Qahhar Muzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan dan daerah
yang dikuasainya ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan
Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan bergabungnya Qahhar Muzakkar
ke dalam NII, secara otomatis jaringan NII ini yang telah diproklamirkan
Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas. Untuk menopang perjuangan
NII, Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang digunakan untuk mempertahankan
eksistensinya, termasuk menentang pasukan dan pemerintahan Republik Indonesia
yang tidak setuju tentang perjuangan, visi, dan misi NII. [6]
Pada tahun
1953, setelah dua tahun merintis sekolah dan mengajar di Pulau Jampea,
Selayar (1952-1953), dan bertepatan pada tahun diproklamasikannya penggabungan
pasukan Qahhar Muzakkar dan pasukannya yang dikuasainya ke dalam NII, Lanre
Said bergabung bersama DI/TII dengan Qahhar Muzakkar. Pada awalnya, menurut
Ilham Kadir Lanre Said enggan bergabung dengan DI/TII karena lebih tertarik
pada dunia pendidikan atau lebih suka mengajar. Sejak awal, setelah
menyelesaikan pendidikannya di MAI Sengkang, dia memang langsung terjun
mengajar. Karena itulah ia tidak tertarik dengan pola perjuangan DI/TII. Namun,
menurut lanjut Ilham Lanre Said ikut bergabung dengan DI/TII di bawah komandan
Qahhar Muzakkar karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Saat itu, sejumlah
teman-temannya sudah lebih dulu bergabung dan memberikan informasi kalau Lanre
Said merupakan salah satu alumni terbaik MAI Sengkang dan penguasaan hukum Syariah
serta berbagai macam disiplin ilmu lainnya sangat tinggi. Untuk itulah,
walaupun berada nun jauh di pulau yang sangat terpencil itu, tetap saja
berkali-kali anggota Qahhar Muzakkar datang untuk mangajaknya ikut bergabung.
Padahal, saat itu alat transportasi dan komunikasi masih sangat langka. Sekadar
untuk diketahui juga, bahwa jaringan alumni MAI Sengkang pada saat itu tidak
pernah putus sehingga satu sama lain dapat memberikan informasi tentang kegiatan
dan keberadaan mereka. Lanre Said pada akhirnya turut bergabung dengan pasukan
Qahhar Muzakkar dengan memberikan sayarat tertentu. Di antaranya, agar seluruh
sanak keluarganya tidak diganggu atau diajak bergabung dengan DI/TII.
Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau bersaudara semuanya lulusan MAI Sengkang.
Namun, Lanre Said tidak ingin agar para saudaranya juga ikut masuk ke hutan.
Dan rupanya syarat ini dipatuhi oleh pasukan DI/TII di bawah komando Qahhar
Muzakkar.[7]
Menurut Kadir,
semasa bergabung dengan DI/TII, karirnya
sangat cemerlang, bermula dengan menjadi Kepala Kepolisian DI/TII, kemudian
dipindahkan menjadi Imam Tentara (Panglima Tertinggi). Jabatan terakhirnya
adalah Ketua Mahkamah Agung. Aaat inilah beliau tidak setuju karena merasa
tanggung jawabnya sangat besar baik terhadap manusia ataupun di hadapan Allah
kelak. Di samping itu, beliau merasa belum pantas karena umurnya saat itu
masih terlalu mudah untuk menyandang Ketua MA. Memang, jika dibandingkan dengan
para rekannya, Lanre Said termasuk yang termuda di antara mereka. Namun, karena
keputusan pengangkatannya merupakan keputusan musyawarah dewan tertinggi DI/TII
dan penunjukannya langsung di bawah Qahhar Muzakkar, Lanre Said tidak bisa
berkutik. Akhirnya, beliau pun menerima tanggung jawab tersebut.[8]
Dalam
menjalankan tugasnya, ia berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Hal
ini dapat dipahami karena selama bergabung dengan pasukan Qahhar Muzakkar ke
dalam DI/TII, terus mendapat hambatan dari pihak pemerintah Republik Indonesia
di bawah pasukan TNI. Cara DI/TII menjalankan pemerintahannya juga tergolong
sederhana yaitu dibagi menjadi pusat sebagai pemegang kendali utama dan distrik
sebagai perpanjangan tangan dari pusat atau disebut juga daerah kekuasaan.
Pusat pemerintahan bertempat di daerah asal Qahhar Muzakkar yaitu di Luwu.
Daerah lain, seperti Sengkang, Bone, Sinjai, Soppeng, dan lainnya merupakan
distrik. Untuk daerah Bone bagian selatan misalnya, pemerintahan dikendalikan
oleh distrik yang meletakkan pusat pemerintahannya di daerah Patimpeng (kini
telah menjadi Kecamatan Patimpeng) tepatnya di Bulu’ Bilalang (Gunung
Bilalang). Sebagai Ketua Mahkamah Agung Pusat, Lanre Said harus terjung ke
daerah-daerah termasuk ke Bulu’ Bilalang. Yang tidak kala pentingnya, saat
bertugas di Bulu’ Bilalang ini, terjadilah sebuah peristiwa besar pada diri
Lanre Said. Disana dia bermimpi menyalakan lampu untuk menerangi kegelepan.
Lampu itu dinyalakan di puncak gunung Bilalang dengan menggunakan lampu
petromaks. Dalam mimpinya, ia melihat cahaya di sekitar lampu
tersebut sangatlah terang benderang. Namun, di bawahnya kelihatan remang-remang
bahkan nyaris gelap. Mulai dari saat itulah, beliau berusaha untuk mencari
takwil mimpi tersebut. Dengan metode tersendiri yang beliau dapatkan dari guru-gurunya
serta pengalaman pribadinya dalam cara mentakwilkan mimpi, beliua berkesimpulan
kalau arti dari mimpinya itu adalah perintah untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang dapat memancarkan cahaya iman dan ilmu sebagai sumber
penerangan bagi umat ini. Tanpanya manusia akan menjadi gelap dan sesat tanpa
arah tujuan sehingga sangat mudah disambar oleh syetan dari spesies manusia dan
jin. Setelah itu, Lanre Said berusaha mencari tempat yang sesuai untuk
mendirikan lembaga pendidikan yang berlandaskan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang
shahih.[9]
Walaupun Lanre
Said masih tetap menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung NII-DI/TII, namun pada
dasarnya setelah mendapatkan perintah dari Allah untuk mendirikan lembaga
pedidikan lewat mimpi tersebut, beliau mulai berfikir untuk keluar dari pasukan
Qahhar Muzakkar. Ditambah lagi, saat itu sebagian anggota DI/TII sudah banyak
yang menyalahi aturan syariat Islam seperti merusak fasilitas umum, membakar
pemukiman penduduk, membuat onar, dan berbagai pelanggaran lainnya. Hal ini
dapat dimaklumi, menurut Lanre Said, karena banyaknya anggota baru yang
direkrut masuk dalam pasukan DI/TII tanpa melewati mekanisme pembinaan.
Di samping itu,
pasukan TNI makin gencar melakukan serangan secara maraton di bawah pasukan
Jenderal M Jusuf, yang akhirnya memaksa pasukan DI/TII bertekuk lutut. Terlebih
lagi, Abdul Qahhar Muzakkar syahid di ujung moncong senapan pasukan Siliwangi
pada bulan Februari 1965. Dengan begitu, sejarah NII-DI/TII berakhir sampai di
sini. Persoalan yang muncul belakangan adalah manhaj perjuangannya. Ada
yang berpendapat bahwa Qahhar Muzakkar bergabung dengan NII
dilatarbelakangi kekecewaan karena ditolak bergabung dengan APRI(S), di samping
itu Kartoswirjo telah memproklamirkan NII pada tahun 1949 sedangkan Qahhar Muzakkar
bergabung empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1953. Banyak yang berpandangan
bahwa kalau memang ikhlas bergabung dengan NII kenapa bukan sedari awal.[10]
Setelah Qahhar
Muzakkar dinyatakan terbunuh oleh pasukan siliwangi pada tahun 1965, secara
total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya menyerah dan ikut
kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, pada
saat itu, Lanre Said merasa mendapatkan angin segar dan leluasa mencari tempat
untuk mendirikan lembaga pendidikan. Pada tahun ini juga, Lanre Said melakukan
ekspedisi pertama. Beliau berangkat dari Pulau Sembilan yang bernama Kanalo
(Sinjai) dengan menumpang kapal barang disertai oleh 20 orang yang barasal dari
veteran pasukan DI/TII, serta beberapa kerabatnya. Mereka menuju Pulau
Kalimantan bagian selatan, tepatnya di Kabupaten Kota Baru Kecamatan Pamukan
Selatan, di sebuah kampung bernama Tanjung Salamantakan. Disini beliau bermukim
mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan sosial termasuk di antaranya
belajar mengajar bagi penduduk setempat. Disini beliau sempat mendirikan
lembaga pendidikan. Namun, masyarakat setempat kurang peduli dengan pendidikan
atau tidak begitu respons tentang kehadiran Lanre Said.[11]
Selama bermukim
disinilah tidak sedikit meninggalkan cerita-cerita yang sangat menarik untuk
dijadikan pelajaran. Sebagaimana ditulis oleh Ilham Kadir, bahwa kedatangan Lanre Said di daerah ini
menjadikan masyarakat terbagi dua. Ada yang merespons kehadirannya dengan
positif namun tidak sedikit pula yang menantang. Kubu yang tidak suka
pada Lanre Said didukung pemerintah setempat yang disebut pembakal atau
jabatan pemerintah setingkat Kepala Desa. Pembakal inilah yang menghasut para
masyarakat untuk memusihinya. Praktis Lanre Said tidak boleh tampil di mimbar
mesjid untuk mengisi ceramah atau pengajian. Alasan utama pembakal bahwa Lanre
Said membawa ajaran atau agama baru. Bahkan, pada puncaknya, beliau dilaporkan
pembakal ke pemerintah kecamatan dengan tuduhan bahwa di daerah Tanjung
Salamantakan ada kelompok mantan pembesar NII/DI-TII yang menyebarkan agama
baru. Pada akhirnya, beliau dijemput satu batalyon aparat keamanan. Ketika
Lanre Said diinterogasi oleh pemerintah kecamatan (Camat, Kormil, Danres)
tentang kebenaran isu bahwa dirinya membawa agama baru, Lanre Said dengan
santainya menjawab bahwa dirinya hanya mengamalkan apa yang ia ketahui dari Al-Qur’an
dan Hadis yang sesuai dengan contoh dari Rasulullah SAW. Menurutnya, dosa bagi
dirinya jika menyembunyikan kebenaran, karena kelak akan dituntut di hari
akhirat nanti. Dia tidak akan berhenti
menyebarkan kebenaran apapun yang
terjadi pada dirinya.” Bahkan Lanre Said
mempertanyakan, menapa jika dirinya menyebarkan pemahaman yang benar dalam
ajaran agama, malah dihalang-halangi, sedangkan mereka yang menyebarkan
kesesatan malah didukung termasuk penyebar paham komunis. Para aparat ini tidak bisa berkutik dan akhirnya
mengantar kembali sang ulama yang jago diplomasi ini. Padahal sewaktu Lanre
Said dijemput oleh satu batalyon Brimob dari Kota Baru, pembakal tadi sudah
menyebarkan informasi bahwa Lanre Said akan dipenjara selama satu tahun disana.
Pada dasarnya, Lanre Said di daerah ini sangat dicintai masyarakat karena cara
beliau mengadakan pendekatan yang dianggap sangat menyentuh para masyarakat
setempat. Seperti mengumpulkan pemuda untuk membuat klub oleh raga, atau
sejenis karang taruna. Nah, anggota karang taruna inilah yang kelak menjadi
binaannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau sendiri adalah pencinta olah
raga, baik sepak bola, badminton, hingga sepak takrow. Bahkan pada tahun
1949-1950, ia masuk tim sepak bola untuk mewakili daerah Tarasu Kajuara, dan
memegang posisi utama sebagai defender.[12]
Yang menjadi
kendala utama adalah cara beliau berdakwah dalam memberantas bid’ah, tahayul,
dan khurafat. Cara itu dinilai menggunakan metode DI/TII alias frontal dan tak
kenal kompromi. Inilah yang tidak disukai sebahagian orang, terutama mereka
yang memiliki kepentingan. Tapi anehnya, pada saat-saat orang banyak memusuhinya
ada saja beberapa tokoh berpengaruh yang mendukung dan rela mengorbankan apa
saja demi menegakkan kebenaran. Tidak jauh beda di zaman Rasulullah.[13]
Kecuali itu,
orang-orang yang pernah memusuhinya pada satu saat akan berbalik mendukungnya,
terutama jika telah melihat keajaiban-keajaiban yang nampak pada diri Lanre
Said sendiri. Suatu saat, beliau pergi meninggalkan kampung Tanjung
Salamantakan dengan alasan bahwa di kampung ini akan terjadi peristiwa yang di
luar dugaan. Terbukti, seminggu setelah belaiu pergi ke Kalimantan Timur untuk
beberapa saat, datanglan satu batalyon Brimob untuk menangkap paksa pembakal
yang telah melaporkan Lanre Said tempo hari. Pembakal tersebut ditangkap dengan
tuduhan memeras masyarakat dan mengadakan pungutan ilegal. Pada akhirnya, si
pembakal termakan kata-katanya sendiri dan dibui selama satu tahun. Pembaka pun
diganti dengan yang baru dan pro dengan perjuangan Lanre Said. Namun kelak
pembakal yang telah dipenjara beserta keluarganya juga berbalik mendukung Lanre
Said.
Selain kegiatan
sosial, Lanre Said juga tetap beraktivitas sebagai masyarakat biasa. Bahkan,
beliau dengan anggotanya pergi ke hutan menebang pohon untuk dibuat perahu
layar, yang akan dijadikan jasa angkutan, dengan kapasitas mencapai 140
ton. Namun karena misi utamanya adalah ingin mendirikan lembaga
pendidikan sehingga ia merasa tempat ini tidak cocok baginya. Akhirnya
berangkat mencari lokasi lain. Sekitar tahun 1970, Lanre Said kembali
melanjutkan perjalanannya ke sebuah pulau yaitu Sumbawa dan Lombok, bahkan
sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores. Dalam perjalanannya, misi
utamanya tetap mencari tempat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Tetapi apa yang
didapatkan di daerah ini ternyata lebih parah dari sebelumnya. Jika di daerah
Kalimantan para masyarakatnya bersikap masa bodoh terhadap pendidikan, di
daerah Sumbawa, Lombok, dan sekitarnya Lanre Said tidak diberikan kesempatan
untuk mengajar dan berdakwah. Selama beberapa bulan disana, hanya diperkenankan
naik mimbar sekitar dua kali saja. Bahkan, masalah klasik timbul lagi di daerah
ini yang lebih dahsyat dari sebelumnya. Disini Lanre Said sudah dikepung
akan dihabisi massa dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Dia dan beberapa
pendamping setianya dikepung dalam mesjid. Namun seperti biasa, ada saja
beberapa orang bepengaruh yang diutus oleh Allah untuk membelanya. Karena
pembelanya ini tergolong jawara dan sangat berpengaruh maka para massa ini pun
ciut nyalinya dan akhirnya bubar.[14]
Tidak berapa lama di Sumbawa, akhirnya Lanre Said kembali
melanjutkan perjalanannya. Kali ini beliau mencoba ke pulau Jawa, Surabaya, di
tempat para saudaranya yang lebih dulu telah merantau dan bermukim di kota
pahlawan ini. Berada di Surabaya jauh lebih nyaman dibanding beberapa tempat dan
kampung halaman yang disinggahinya selama dalam perantauan. Disini ia diberi
kesempatan dan keleluasan untuk mengajar dan berdakwah di beberapa mesjid. Hal
ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk di daerah tempat tinggalnya
adalah masyarakat pendatang juga atau heterogen dan memiliki sumberdaya manusia
yang lebih tinggi dari pada territorial dakwah sebelumnya. Lanre Said juga
mengoptimalkan waktunya dan kesempatannya untuk tetap mencari tempat yang
sesuai dalam mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini diidam-idamkannya. Dia
pun melakukan kroscek dari satu daerah ke daerah lain sampai ke Jawa Barat
tepatnya di daerah Cirebon. Namun, hasilnya nihil alias tidak menggembirakan.
Ini berlanjut sampai tahun 1973, Lanre Said pernah kembali ke Tuju-Tuju. Namun itu
tidak berlangsung lama, sekadar mengantar keluarga dari istri keduanya yaitu
Andi Nurhasanah Petta Cinnong ke Tuju-Tuju dan dua bulan kemudian kembali ke
Surabaya hingga awal tahun 1975. Antara tahun 1973 dan 1975 tersebut, Lanre
Said sudah merasa menemukan tempat yang tepat untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang selama ini menjadi obsesi dan cita-cita mulianya, yaitu kampung
asal atau halamannya sendiri di Tuju-Tuju. Pada tahun-tahun ini jugalah dia
telah menanamkan pengetahuan dan jiwa sosial yang tinggi kepada kedua istrinya
yaitu Andi Nuhasanah Petta Cinnong dan Andi Banunah Petta Paccing (istri ke
empat) yang saat itu masih bermukim di Surabaya. Karena kelak jika telah
mendirikan pondok maka harus betul-betul ikhlas memelihara dan mendidik para
santri. Di samping itu, Lanre Said sudah beberapa kali mengadakan pertemuan
dengan pihak keluarganya dan menyatakan keinginannya pulang ke kampung halaman
dengan sebuah tujuan mulia yaitu mendirikan lembaga pendidikan. Mereka pun
setuju dan mendukung sepenuhnya. Namun, ketika Lanre Said memaparkan mekanisme
dan teknis dalam menjalankan lembaga pendidikan terutama tekadnya untuk tidak
mengambil bayaran dari para santrinya, banyak dari pihak keluarganya keberatan
dan protes. Bahkan tidak yakin kalau lembaga pendidikan itu kelak akan bertahan
lama. Namun Lanre Said memberikan pengertian dan hanya minta kepada seluruh
pihak keluarga yang ada di pulau Jawa dan memiliki harta benda di kampung
seperti sawah, ladang, dan hasil kebun agar dapat dimanfaatkan oleh para
santri. Ternyata mereka menerima permintaan Lanre Said dengan baik. Karena
memang selama ini hasil sawah dan kebun tersebut tidak dimanfaatkan secara
optimal.[15]
Akhirnya pada
awal 1975, Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya
kembali ke Tuju-Tuju dan pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7
Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-Tuju dengan tujuh santri, sebuah lembaga
pendidikan lahir dengan nama Majelisul Qurra’ wal Huffaz. Dan mimpi itu pun
terwujud menjadi sebuah kenyataan. Pada dasarnya Lanre Said selama merantau
sudah berkali-kali mendirikan serta mengajar di lembaga pendidikan. Bahkan,
waktu yang dihabiskan dalam perantauan sekitar sepuluh atau duabelas tahun,
antara 1965- 1975. Namun, selama itu tidak satupun lembaga pendidikan binaannya
dalam perantauan yang dapat eksis sebagaimana di Tuju-Tuju ini.[16]
Ilham kadir, pernah berguru pada Guruta H. Lanre Said selama sembilan tahun.
[1] Ilham
Kadir Palimai,Jejak Dakwah KH. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi, (Cet. I; Jogjakarta: Aynat Publishing, 2010), h. 49.
[2] Ibid.,
h. 50.
[3] Ibid.,
h. 50.
[4] Rohadi
Abdul Falah, dkk. Rekonstruksi Pessantren Masa Depan, dari Tradisonal,
Modern, hingga Post Modern, (Cet. I; Jakarta: Listafariska, 2008), h. 62.
[5] Ilham
Kadir, Op., Cit., h. 51.
[6] Anhar
Gonggong, Abdul Qahhar Muzakkar, dari Patriot hingga Pemberontak, (Cet.
I; Jakarta: Ombak, 2004), h. 212.
[7] Palimai, Op., Cit., h.52.
[8] Ibid.,
h. 53.
[9] Ibid.,
h. 54.
[10] Ibid.,
h. 55.
[11] Ibid.,
h. 56.
[12] Ibid.,
h. 57.
[13] Ibid.,
h. 58.
[14] Ibid.,
h. 59.
[15] Ibid.,
h. 60.
[16] Ibid.,
h. 70.
Comments