Syiah, Ajaran Penuh Rasisme dan Narsisme

Dalam
sejarahnya, Syiah mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya
waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu, Kaisaniyah, Imamiyah
(Rafidhah), Zaidiyah, Ghulat, dan Isma’iliyah. Dari kelimanya, lahir sekian
banyak cabang-cabangnya (Asy-Syarastani, Al-Milal wan Nihal’, hal. 147). Namun
yang penting untuk diangkat adalah sekte Imamiyah atau lebih tepatnya Rafidhah,
yang sejak dahulu hingga sekarang berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan
kaum muslimin. Dengan segala cara tentunya, kelompok sempalan ini terus menerus
menebarkan berbagai macam kesesatannnya yang didukung oleh negara Iran-nya.
Pencetus
utama paham Syiah Rafidhah ini adalah
seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’
Al-Himyari yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan. Rafidhah
secara etimologi bermakna, ‘meninggalkan’, (Al-Qamus Al-Muhith, hal.829). Sedangkan
dalam terminologi syariat adalah ‘Mereka yang menolak kepemimpinan Abu Bakar
dan Umar radhiallahu ‘anhuma, berlepas dari keduanya, dan mencela lagi
menghina para sahabat Nabi saw (Abdullah Al-Jumaili, ‘Badzul Majhud fi Itsbati
Musyabbahatir Rafidhah lil Yahud’, I/85).
Sebutan
‘Rafidhah’ erat kaitannya dengan Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin
Marwan pada tahun 121 H, (Badzul Majhud, I/86). Abdullah
bin Ahmad bin Hambal berkata, “Aku bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?
Maka beliau menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar
ra.” (Ibnu Taimiyah, ‘Ash-Sharimul al-Maslul ‘Ala Syatimirrasul, hal. 567).
Abu
Hasan Al-Asy’ari berkata, “Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin
Abi Thalib atas seluruh sahabat Rasululllah saw, mencintai Abu Bakar dan Umar
dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya ia mendengar dari sebahagian
mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga
akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada
mereka, ‘kalian tinggalkan aku [Rafadhtumuniy]?’ maka dikatakanlah bahwa
penamaan mereka dengan ‘Rafidhah’ dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka [Rafadhtumuniy]”,
(Maqalatul Islamiyyin, I/137; Majmu’ul Fatawa, 13/36). Rafidah pasti Syiah,
namun belum tentu Syiah itu Rafidhah karena tidak semua Syiah menolak ‘rafadha’
kepemimpinan dan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.
Alquran,
Imamah, Sahabat, dan Taqiyah
Dalam
kitab ‘Al-Kafi’ –yang kedudukannya di sisi mereka seperti ‘Sahihul Bukhari’ di
sisi Ahlussunnah—karya Abu Ja’far
Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (II/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq),
ia berkata, “Sesungguhnya Alquran yang dibawa Jibril kepada Muhammad [ada]
17.000 ayat.” Dalam juz I, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata, “...
Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, mereka tidak tahu apa mushaf
Fatimah itu. Abu bashir berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdullah)
berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian.
Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Alquran kalian...’.” (Ihsan
Ilahi Dzahir ‘Asy-Syiah wal Qur’an’, hal. 31-32).
Bahkan
salah seorang ahli hadis mereka yang bernama Husain Bin Muhammad at-Taqi
an-Nuri ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari pada imam
mereka yang ma’shum –bersih dari segala jenis dosa—di dalam kitabnya ‘Fashlul
Khitab fil Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab’ yang menjelaskan bahwa Alquran yang ada telah
mengalami perubahan dan penyimpangan.
Kecuali
itu, masalah Imamah atau kepemimpinan umat juga menjadi persoalan dasar bagi
kaum Syiah hingga memasukkan dalam rukun Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari
Al-Kulaini dalam ‘Al-Kafi II/18’ dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata,
“Islam di bangun di atas lima perkara... salat, zakat, haji, shaum, dan wilayah
[imamah]...” Zurarah berkata, “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia
berkata, “Yang paling utama adalah wilayah.” (Badzul Majhud, I/174).
Imamah
menurut mereka adalah hak milik ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya sesuai
dengan wasiat Rasulullah saw. Ada pun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah
memimpin kaum muslimin dari Abu Bakar, Umar, dan yang sesudah mereka hingga ke
hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan
meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam,
maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah perempas kekuasaan.
(al-Kkhuthuth Ak Aridhah, hal. 15-17). Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam
ma’shum dapat mengetahui hal-hal ghaib. Khomeini berkata, “Kami bangga bahwa
para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai Ali bin Abi Thalib hingga
sang penyelamat umat manusia, Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman –baginya dan
bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak
Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup pada saat ini seraya mengawasi perkara-perkara
yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5 dan Firaq Mu’ashirah, I/192).
Ada
pun pandangan Rafidhah tentang para sahabat Rasulullah saw, dapat ditelusuri
dari sumber-sumber rujukan utama kaum Syiah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Al-Jarh wat Ta’dil mereka ‘Al-Kisysyi’ di dalam kitabnya, ‘Rijalul Kisysyi,
hal. 12-13’ dari Abu Ja’far Muhammad (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata,
“Manusia [para sahabat] sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga
orang,” maka aku (rawi) berkata, “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far)
berkata, “Al-Miqdad bin Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman al-Farisi...”
lalu menyebutkan surah Ali Imran ayat 44, (Asy-Syi’ah Imamiyah al-Itsna
‘Asyariyah fi Mizanil Islam, hal. 89).
Ada
pun Abu Bakar dan Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah dalam pandangan
Ahlussunnah, mereka cela dan laknat, bahkan berlepas diri dari keduanya
merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam
kitab bimbingan doa mereka ‘Miftahul Jinan, hal. 114’ wirid laknat untuk
keduanya. “Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan
keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy [Abu Bakar dan Umar], setan dan
thaghut keduanya, serta putri mereka [Aisyah dan Hafshah]”, (As-Sayyed
Muhibuddin al-Khatib ‘Al-Khuthuth Al-‘Aridhah’, hal. 18).
Mereka
juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umat
bin Khattab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” alias
seorang pemberani pembela agama, kini kuburan Abu Lu’lu dibangun dengan
megahnya. Hari kematian Umar dijadikan sebagai ‘Iedul Akbar’, hari kebanggaan,
hari kemuliaan, dan kesucian, serta hari berkah dan suka ria, (Al-Khuthuth
Al-‘Aridhah, hal. 16-17).
Ada
pun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah
saw lainnya, mereka yakini sebagai palacur sebagaimana yang terdapat dalam
kitab mereka ‘Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal, hal. 57-60’ karya Ath-Thusi, dengan
menukilkan –secara dusta—perkataan sahabat, Abdullah bin Abbas terhadap Aisyah,
“Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan palacur yang
ditinggalkan Rasulullah...” (Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, ‘Daf’ul Kadzibil Mubin
Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mu’minin, hal. 11).
Selain
itu, Syiah juga melegitimasi ajaran ‘taqiyah’ alias bohong, taqiyah berarti
berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq,
dusta, dan menipu umat manusia (Firaq Muashirah, I/195; Asy-Syiah al-Itsna
‘Asyariah, hal. 80). Mereka berkeyakinan bahwa taqiyah adalah bagian dari pada
agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam
‘Al-Kafi, II/175’ dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami,
“Wahai Abu Umar, sesungguhnya sembilan persepuluh dari agama ini adalah
taqiyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak bertaqiyah.” (Firaq
Mu’ashirah, I/196). Oleh karena itu Imam Malik ketika ditanya tentang mereka
(Syiah) beliau berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula
meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka selalu berdusta.” Setali tiga
uang dengan komentar Imam Syafi’i, katanya, “Aku belum pernah tahu ada yang
melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu!” (Mizanul I’tidal, II/27-28).
Rasis
dan Narsis

Mohammad Reza Pahlavi, Shah Iran yang lahir di Tehran, Iran, 26 Oktober
1919 – meninggal
di Kairo,
Mesir,
27 Juli
1980
pada umur 60 tahun adalah kaisar Iran dari 16 September
1941
hingga Revolusi Iran pada 11 Februari
1979.
Beliau
pernah berhasrat untuk mendamaikan Syiah dan Sunni, maka diundanglah para ulama
kedua aliran yang tidak akan pernah akur itu. Sampai waktu dimulainya acara
pertemuan, ulama Syiah sudah para datang, namun sayang dari pihak Sunni belum
ada yang terlihat kecuali satu orang ulama yang masuk ruangan sambil menjepit
sandal jepit diketiaknya. Ulama-ulama Syiah bertanya kepada ulama Sunni itu.
Apa yang kamu jepit di ketiakmu? “Sandal” jawabnya. “Kenapa Kamu bawa-bawa
sandal jepit kesini?” Tanya ulama Syiah. “Karena saya mendengar di zaman
Rasulullah ada orang Syiah pernah mencuri sandal!” jawab ulama Sunni dengan
enteng. Mendengar pernyataan itu, para ulama syiah serentak menjawab, “Mana ada
Syiah di zaman Rasulullah?”, ulama Sunni yang bijak itu berkata,”Cukuplah,
selesai sudah pertmuan ini. Darimana kalian mengambil agama kalian?”
Ada
yang berpendapat bahwa ulama Sunni dimaksud adalah Ahmad Dedaat ‘rahimahullah’,
namun ada pula yang meragukan kebenaran cerita di atas terutama dari pihak
Pihak Syiah yang merasa dirugikan. Namun, hemat penulis, tidak penting kisah di
atas pernah berlaku atau tidak, yang jelas melalui bukti-bukti yang telah
penulis paparkan dengan gamblang, menunjukkan bahwa aliran Syiah memang penuh
dengan bid’ah, khurafat dan kebatilan. Untuk menangkis serangan Syiah terhadap
Ahlussunnah, ada baiknya jika kita menggunakan teori Naquib Al-Attas, “Do
not read too much, just use your mind!” Jangan terlalu banyak membaca dan
ilmiah dalam menghadapi aliran sempalan, tapi perbanyak menggunakan logika dan
analogi. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir, Anggota Majelis
Intelektual-Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments