Muhammad bin Abdul Wahab, Pelopor Gerakan Pemurnian Akidah

Selama lima belas abad, dunia
Timur Islam hidup dalam kejayaan dan peradaban yang tinggi, berkat cahaya Islam
yang memancarkan aneka kebaikan keseluruh pelosok bumi. Setelah itu, ia
mengalami kemunduran, sebelum akhirnya pudar. Pada akhirnya umat Islam
menjalani masa-masa suram yang diliputi kegelapan yang pekat. Hidayah Islam
tidak lagi memancar dan peninggalan kaum muslimin nyaris menjadi santapan
srigala-srigala bangsa-bangsa lain. Mereka mengambil ilmu-ilmu yang dibawa oleh
Islam dan melumatkan peradaban yang cemerlang, hingga kejayaan itu pindah ke
negara-negara Barat, akibatnya negeri-negeri islam meluncur ke jurang
keterpurukan, kemunduran, dan ketidak berdayaan.
Kemudian pada abad ke-18 M. muncul
satu teriakan penuh kesadaran dan penuh keimanan dari jantung semenanjung
Arabia. Teriakan ini membangunkan umat Islam, agar melepaskan diri dari
berbagai khurafat dan pandangan yang mengotori serta merusak kemurnian akidah.
Selanjutnya menyerukan seluruh umat agar kembali dalam seluruh aspek
kehidupannya kepada sistem yang telah dianut generasi salaf. Teriakan ini
disampaikan oleh seorang da’i ilallah
dan seorang pemimpin yang langka. Dialah Imam Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah.
Kepadanya harakah salafiah
dinisbahkan, suatu gerakan yang menyeru kepada perbaikan jiwa dan mengembalikan
kejayaan Islam. Seruan ini muncul membawa cahaya baru, mendatangkan sinar cerah
yang membangkitkan kaum muslimin dari tidur lelapnya yang panjang. Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin
Sulaiman bin Ali bin Muhammad, nasabnya berakhir pada Nizar bin Ma’ad bin
Adnan, lahir di kota Ainiah Nejd pada tahun 1704 M/1116 H. konon kakeknya yang
bernama Sulaiman mimpi melihat api keluar dari pusarnya menerangi lembah-lembah.
Sebagian ahli tafsir mimpi mentakwil, bahwa akan lahir darinya seorang
laki-laki yang akan memberi petunjuk bagi umat Islam, membangun suatu kerajaan
dan mengibarkan bendera mereka. Ternyata laki-laki itu adalah cucunya, yaitu
Muhammad bin Abdul Wahhab yang sekelumit dari sepak terjang jihadnya sedang
kita cicipi.
Muhammad bin Abdul Wahab menimba
beragam ilmu di Damaskus, mengambil dasar-dasar ajaran Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan Muridnya Ibnul Qayyem al Jauziyah, Ibnu Adwan al Hambali, dan para
pentolan ulama Hambali lainnya. Ia lantas berfikir untuk mengembalikan Islam
kepada sumbernya yang utama, akidah sahabat dan tabi’in. Semenjak kecil, ia memang cerdas,
cepat paham, dan mudah hafal. Ayahnya, Syaikh Abdul Wahhab adalah mufti qadhi
Ainiyah. Sedang kakeknya adalah mufti wilayah Nejd. Ketika Muhammad bin Abdul
Wahab menginjak dewasa, ayahnya menyuruhnya untuk menjadi imam shalat. Ia pun
tampil mengimami banyak orang. Ia lalu menikah dengan wanita negerinya, lalu
mempelajari fikih mazhab imam ahli hadits, Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Di Hijaz, ia berguru pada para ulama
Mekkah dan Madinah, gurunya yang paling menonjol adalah Syaikh Abdullah bin
Ibrahim bin Saef An Nejdi dan Allamah Muhammad Hayat As Sanadi Al Madani,
penulis kitab Hasyiyah Shahih bukhari
yang terkenal. Selain itu Muhammad bin Abdul Wahab juga berguru kepada Syaikh
Muhammad Al Majmu’i Al Basri di Basrah. Selama tinggal di Irak, ia berdakwah
menyeru orang kepada tauhid, ibadah kepada Allah, serta meninggalkan bid’ah,
begitu juga selama ia tinggal di Huraimala.
Sepeninggal ayahnya pada tahun
1153 H. Muhammad bin Abdul Wahab mulai memperluas dakwahnya dengan
terang-terangan. Ia mengirim sejumlah surat ke negeri Nejd melarang masyarakat
bergantung kepada selain Allah. Masyarakat menyambut seruan itu, kemudian tidak
sedikit dari mereka datang kepadanya untuk belajar. Muhammad bin Abdul Wahab berhasil
meyakinkan Amir kota Ainiyah, Usman bin Muammar untuk melenyapkan kuburan yang
dibangun. Sang Amir Usman bersama sekelompok masyarakat menyambut seruan itu,
maka Syaikh sendiri langsung terlibat menghancurkan kuburan Zaib bin Khattab.
Muhammad bin Abdul Wahab membenci kayakinan terhadap wali dan ziarah kubur dan
bertawassul atau minta pertolongan kepada selain Allah serta berbagai bid’ah dan
khurafat lainnya yang merupakan pintu syirik. Ia melakukan hal itu dengan
mengemukakan argumentasi al Qur’an dan hadits-hadits Nabi sebagai dalil
pijakannya. Maka masyarakat protes, mereka melaporkan tindakannya itu kepada
Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Uwaimir, penguasa Ihsa dan Qathief. Syaikh
Sulaiman menerima pengaduan mereka dan meminta kepada Amir Usman bin Muhammad
agar menyuruh Muhammad bin Abdul Wahab meninggalkan negeri itu. Sang Syaikh pun
meninggalkan kota itu, pergi ke kota
Dar’iyyah, sebuah kota yang terletak dekat Riyadh dimana di situ ia mengarang
sebuah kitab yang masyhur, yaitu “At
Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah ‘Ala al ‘Ibad”.
Beliau disebut-sebut sebagai
pelanjut apa yang pernah dibawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Betapapun keadaannya
yang dihadapinya, Allah telah memunculkan seorang pria bernama Muhammad bin
Su’ud bin Muhammad bin Muqarrin yang hidup dilingkungan kabilah Qunub dan
Ananah, satu kabilah yang kepada salah satu pangkalnya bersambung kepada
keluarga Ali r.a. sehingga ia menjadi pemimpin mereka dan bergelar Amir. Allah
swt. memunculkan pria ini untuk menyambut kehadiran Syaikh sang juru dakwah,
bahkan dakwah sang Syaikh dijadikan lambang bagi kepemimpinannnya. Lalu ia
membuat satu markas baginya yaitu Qashabah Dar’iyah. Saat bertemu kepada Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab, Amir Muhammad bin Sa’ud berkata, “Wahai Syaikh,
semoga Allah memberi kemenangan dan kekuatan kepada engkau.” Muhammad bin Abdul
Wahab lalu manyambut, “Dan mudah-mudahan engkau diberi pahala dan kejayaan
serta kemenangan. Ini adalah kalimat Laa
Ilaha Illallah. Barangsiapa yang berpegang teguh kepadanya dan membelanya,
ia akan meraih untung di dunia dan akhirat. Ia adalah kalimat yang diserukan
oleh para rasul dan dengannya kitab-kitab diturunkan.”
Konon, putera Muhammad bin Su’ud
menjadi syaikh di Qashabah Dar’iyah. Ia membentuk beberapa batalyon yang
dipersenjatai bahan peledak, disertai sejumlah pasukan cadangan untuk menyerbu
negeri-negeri tetangga dalam rangka menyebarkan dakwah kepada akidah salafus
shaleh. Suatu hal yang perlu disampaikan disini, bahwa para pengikut Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab menamakan diri mereka dengan “Salafiyun” atau “Muhammadiyun”,
nisbat kepada Muhammad Rasulullah SAW. Sedangkan ada pun sebutan “Wahhabiyun” (orang-orang Wahhabi),
diberikan oleh musuh-musuhnya agar orang-orang menjauh dan agar timbul kesan,
bahwa mereka berupaya membuat mazhab baru, mazhab kelima yang bertentangan
dengan mazhab Islam yang empat. Tapi memang, para pendukung Muhammad bin Abdul
Wahab dikenal dengan “Wahhabi” dan gerakan disebut gerakan wahhabiyah. Padahal
yang tepat adalah gerakan pemurnian atau kembali kepada tata cara berakidah dan
beribadah ala generasi awal umat ini yang disebut salafus shaleh.
Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah
salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang akidah yang telah
lama jumud (beku) akibat kemunduran akidah umat. Dakwah beliau sangat
memperhatikan pengajaran dan pendidikan umum serta merangsang para ulama dan tokoh
untuk kembali membuka literatur kepada buku induk dan maraji` yang mu`tabar,
sebelum menerima sebuah pemikiran. Sebenarnya mereka tidak pernah mengharamkan taqlid, namun
meminta agar umat ini mau lebih jauh meneliti dan merujuk kembali kepada
nash-nash dan dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW serta pendapat
para ulama salafus shalih.
Di antara tokokh ulama salaf yang paling sering mereka
jadikan rujukan adalah: Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H); Ibnu Taimiyah
(661-728 H); Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H). Oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai
pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah,
Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan
gerakan lainnya di benua India. Paling tidak, masa hidup Muhammad bin Adbul
Wahhab lebih dahulu dari mereka semua. Dalam penjulukan yang kurang tepat,
gerakan ini sering dijuluki dengan wahabi. Namun istilah ini tidak pernah
diterima oleh mereka yang ikut mengembangkan dakwah salafiyah.
Demikian sekelumit tentang gerakan Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab. Maka dengan demikian, sesungguhnya dakwah ini juga dakwah
ahlisunnah wal jamaah. Sebab tetap berpegang kepada sunnah Rasulullah SAW dan
juga para jamaah (shahabat ridhwanullahi 'alaihim). Para pendiri dakwah ini umumnya bermazhab fiqih dengan
mazhab Al-Hanabilah, jadi tidak benar kalau dikatakan mereka anti mazhab. Namun
memang mereka tidak selalu terikat dengan mazhab tersebut dalam fatwa-fatwanya.
Terutama bila mereka menemukan dalil yang lebih rajih. Oleh karena itu dakwah
merka sering disebut La Mazhabiyyah, namun sebenarnya lebih kepada masalah
ushul, sedangkan masalah furu`nya, mereka tetap pada mazhab Al-Hanabilah.
Dakwah ini jelas-jelas sebuah dakwah ahlisunnah wal
jamaah serta berpegang teguh dengannya. Mereka menyeru kepada pemurnian tauhid
dengan menuntut umat agar mengembalikan kepada apa yang dipahami oleh umat
Islam generasi pertama. Sedangkan bila dikatakan bahwa dakwah ini mengharamkan
ziarah kubur, sebenarnya tidak juga. Sebab mereka pun mengakui bahwa ziarah
kubur itu ada masyru'iyahnya dari syariat Islam.
...Dahulu Aku (Rasulullah SAW) melarang kalian ziarah
kubur, namun sekarang silahkan berziarah kubur. (HR Muslim dan merupakan hadits
Shahih dan terdapat dalam syarah imam Nawawi).
Hanya saja mereka agak lebih berhati-hati, agar jangan
sampai niat ziarah yang baik itu dirusak dengan praktek-praktek yang
diharamkan. Seperti meminta doa dari ahli kubur, meminta keberkahan, minta
diselamatkan, minta dilindungi, minta jodoh, rizqi dan sebagainya. Sebenarnya
praktek seperti inilah yang mereka takutkan. Dan memang praktek seperti ini
tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Sebab tempat meminta itu hanya kepada
Allah SWT saja, bukan kepada kuburan. (Ilham Kadir/LPPI).
Comments
boleh saya tahu rujukan-rujukan dan sumber utama mengenai Muhammad bin Abdul Wahhab ini?