Muhammad al-Fatih, Hasil Pendidikan Karakter

Dalam
Islam, karakter identik dengan adab yang biasa disebut akhlak, orang bugis
menamainya ampe-ampe atau tingkah laku, berupa kecenderungan jiwa untuk
bersikap dan bertindak secara otomatis. Adab yang sesuai dengan ajaran Islam
disebut akhlaqul karimah atau ampe-ampe madeceng yang hanya dapat
diperoleh melalui dua jalan. Pertama, bawaan lahir sebagai karunia Allah the
gift sebagaimana akhlak para nabi dan rasul. Dan kedua, sebagai hasil usaha
pendidikan dan penempahan exercise terhadap jiwa soul. Dengan itu
program pendidikan karakter yang kini sedang ditekankan oleh pemerintah pada
dasarnya sejalan dengan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlaqul
karimah, dan sangat sejalan dengan falsafah orang Bugis, local wisdom.
Selain sifat terpuji, pendidikan karekter pada
hakikatnya menanamkan jati diri yang tangguh kepada peserta didik, sehingga
ketika baranjak dewasa mereka mampu mempertahankan dan membela kebenaran.
Sebagaimana yang telah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya, beliau
membangun karakter yang tangguh sehingga dapat melahirkan pribadi yang mumpuni,
salah satunya adalah karakter Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam
merupakan pribadi yang beringas dan tak terkendali, namun ketika menjadi
muslim, Rasulullah membangun karakternya, dan berhasil menjadi pemimpin yang
ditempatkan oleh M. Harts dalam “The 100: A Ranking of the Most Influential
Persons in History, 1978” pada urutan ke-51 sebagai manusia paling
berpengaruh dalam sejarah dunia.
Semasa menjabat sebagai khalifah, khususnya dalam
pertempuran Yarmuk (636), pasukan Arab berhasil memukul habis kekuatan
Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua
tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Arab telah menguasai seluruh Palestina
dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun
639, pasukan Arab menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan
Byzantium. Sungguh aneh jika ada aliran yang menamai diri mereka sebagai
pencinta keluarga Nabi ‘Ahlul bait’ lalu melancarkan fitnah yang keji dan
biadab terhadap Umar bin Khattab dan menuduhnya sebagai sahabat yang murtad,
serta menganggap Rasulullah telah gagal mengajar dan membina para sahabatnya.
Aliran inilah yang disebut Syiah-Rafidhah, yang telah disesatkan oleh
MUI Jatim dan Depag RI.
Karakter Religius
Sewaktu
mengajar di Malaysia, saya memiliki seorang rekan berkebangsaan Turky yang juga
berprofesi sebagai guru di tempat yang sama, beliau adalah lulusan Universitas
Al-Azhar Mesir dan mantan wartawan BBC, berkali-kali beliau menceritakan
bagaimana orang Turky membangun karakter para pemudanya sehingga sanggup
bertahan selama berabad-abad sebagai penguasa Dinasti Utsmaniyah yang
terbentang dari Timur Asia hingga Barat Eropa.
Salah
satu karakter pemimpin yang dibangun dari keluarga dan guru yang memiliki
karakter kuat, tangguh, namun salih adalah seorang pahlawan Islam yang tak
pernah lekang oleh zaman. Dialah Muhammad al-Fatih.
Muhammad
al-Fatih, sosok yang sejak kanak-kanak telah ditanamkan karakter yang kuat dan
melekat dalam jiwanya agar kelak dapat menaklukkan Konstantinopel. Gurunya,
selain mengajarkan Islam dan pelbagai ilmu pengetahuan lainnya, rajin mengajak
al-Fatih kecil memandangi benteng Konstantinopel di kejauhan sambil berujar.
“Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu akan
ditaklukkan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baik pemimpin dan tentaranya
adalah sebaik-baik tentara. Saya percaya pemimpin itu adalah kamu!”
Nyaris
setiap hari kata-kata itu dirilis dan akhirnya menumbuhkan karakter yang penuh
dengan keyakinan dan semangat yang berapi-api. Sudah delapan abad berlalu,
sejak masa sahabat Nabi, Konstantinopel tak pernah tersentuh apalagi tertakluk.
Kota yang dikelilingi benteng dengan tembok setebal sepuluh meter, di
sekeliling benteng masih terdapat parit dalam yang menganga selebar tujuh
meter.
Jika
diserang dari arah barat, ada benteng dua lapis. Dari selatan, ada pelaut Genoa
yang tangguh dan berpengalaman. Sementara masuk dari arah Timur tidak mungkin
karena armada laut harus masuk ke selat Golden Horn yang dilindungi rantai
besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak dapat lewat. Ayah dan kakek
serta pemimpin perang lainnya telah berkali-kali gagal menaklukkan kota
tersebut. Kini al-Fatih kembali mencoba.
Ketika
beribu-ribu pasukannya selama berpekan-pekan hanya berada di sekeliling benteng
dan tak juga berhasil memasukinya, al-Fatih dengan karakter kuat hasil dari
didikan sang guru dan ayah, tak ingin menyerah dan akhirnya menemukan celah,
adanya kelemahan pertahanan lawan di selat sempit Golden Horn, mereka
beranggapan bahwa tak satu pun kapal yang sanggup melewati rantai yang dipasang
dalam laut sehingga menjadikan pertahanan pada bagian ini agak lemah.
Al-Fatih
melakukan ide ‘gila’ dengan menggotong kapal pasukannya melalui darat melintasi
pegunungan, sebuah sejarah peperangan yang tak perrnah ada sesudah dan
sebelumnya bagi umat manusia. Hanya dalam waktu semalam, 70 kapal perang pindah
dari laut Selat Bosphorus menuju Selat Tanduk untuk kemudian melancarkan
serangan tak terduga yang berakhir dengan kemenangan yang telah dinanti
berabad-abad lamanya.
Banyak
analisa yang muncul dari para sejarawan, Timur maupun Barat. Namun yang paling
berpengaruh dari kesuksesan al-Fatih adalah adanya pendidikan dan penanaman
karakter yang tangguh sejak dini. Sang ayah mencarikan guru terbaik dan memberi
otoritas penuh pada sang guru untuk mendisiplinkan putra mahkota, termasuk
memukul jika ia bandel. Namun al-Fatih kecil menertawakan tindakan ayah dan
gurunya itu, tapi saat itu juga pukulan melayang padanya. Sejak saat itu ia
tahu jika dirinya harus taat guru, disiplin, menghormati orang tua dan orang
lain, menjaga sikap, sekalipun ayahnya seorang khalifah.
Pendidikan
karakter yang telah ditanamkan padanya membuat al-Fatih menjadi murid yang
cerdas namun salih. Ia menguasai sedikitnya enam bahasa, ilmu politik,
pemerintahan, matemattika, pengetahuan alam, ilmu militer, dan lainnya. Saat
berumur 19 tahun –masa tawuran bagi para pelajar kita saat ini—beliau sudah
didaulat menjadi sultan dan panglima perang dan telah menjadi pribadi yang
matang. Pada usia 21 tahun –usia berdemo bagi para mahasiswa kita—al-Fatih
menjalankan misi pembebasan konstantinopel yang berhasil dengan gemilang.
Ketika
pasukan berhasil menguasai Kota Konstantinopel yang bertepatan dengan hari
Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam
salat Jumat, sang Sultan bertanya, “Siapakah yang sejak akil balig hingga hari
ini pernah meninggalkan salat wajib lima waktu, yang merasa silahkan duduk!”
tak seorang pun yang duduk. Muhammad al-Fatih kembali bertanya, “Siapa yang
sejak akil balig sampai hari ini pernah meninggalkan salat sunnat rawatib,
yang merasa silahkan duduk!” Sebagian pasukan mulai ada yang duduk. Sultan
kembali bertanya, “Siapakah yang sejak akil balig tak pernah alpa melakukan
salat tahajjud, yang merasa silahkan duduk! Semua pasukan mulai duduk kecuali
sang sultan sekaligus panglima itu tetap tegak berdiri.
Kota
Konstantinopel diubah namanya oleh Al-Fatih dengan Islambul lalu diganti oleh
Mustafa Kemal Attarurk dengan Istambul yang kini menjadi ibu kota Turky yang
berada di dua Benua, Asia dan Eropa.
Wajar
saja jika Rasulullah menggambarkan bahwa yang akan menaklukkan Konstantinopel
adalah pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik sebagai buah dari pendidikan
karakter religius dan berbasis agama yang sinergi antara anak, guru, orang tua
hingga penguasa. Wallahu a’lam!
Ilham
Kadir, Anggota Majelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti
LPPI Indonesia Timur
Comments