Membedah ‘Tawassul’

Sang guru besar menulis. “Ironi dan tragedi yang
menimpa monumen-monumen historis di Arab Saudi jelas terkait dengan kerangka
religio-ideologi Wahabiyah yang memandang warisan sejarah, khusunya makam,
menjadi sumber kemusyrikan –mendorong khurafat dan takhyul bagi jamaah
peziarah. Mereka dianggap menjadikan figur dalam makam sebagai ‘washilah’ untuk
mendapat dan ampunan Allah swt.”
Menurut Ibnu manzhur, ‘tawassul’ berasal dari “al-washilah
bermakna al-qurbah (pendekatan), wassala fulan ilallah washilah, ‘si
fulan berperantara kepada Allah dengan satu washilah’
atau melakukan sesuatu perbuatan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Wa tawassala ilaihi washilah ‘bertawassul kepadaNya dengan suatu washilah’,
yaitu mendekat kepadaNya dengan satu amal. Al-fairuz Abadi berkata, “wassala ilaihi ta’ala tausilan,
‘berperantara kepadaNya dengan suatu perantara, yaitu melakukan suatu perbuatan
yang mendekatkan diri kepadaNya sebagai satu tawassul’.” Adapun ar Raghib al
Asfahani berkata.”Hakikat dari al-washilah
kepada Allah adalah memperhatikan jalanNya dengan ilmu dan ibadah, serta
menapaki kemuliaan syariat seperti taqarrub”. Al-Fayumi berkata, “Wa tawassala ila rabbihi bi washila’, ‘Bertawassul
kepada Tuhannya dengan suatu washilah’.” Yaitu mendekat kepadaNya dengan suatu
amal.
Pendapat para ulama dia atas menggiring kita pada
kesimpulan bahwa dari segi bahasa kata ‘tawassul’ berakar dari al-wasilah. Dan kata al-wasilah atau al-washilah, lalu at-tawassul dengan at-tawashshul memiliki makna yang berdekatan, karna dalam literatur bahasa arab
huruf sin dan huruf shad saling mewakili satu sama lain,
artinya salah satunya menempati posisi yang lain, oleh karna itulah kita boleh
membaca firman Allah dalam surah al-Fatihah ayat: 6, yang
berbunyi, “Ihdinashshirotal
mustaqim, atau ihdinassiratal
mustaqim, bacaan pertama dibaca sebagaimana umamnya yaitu huruf shad dan bacaan kedua dibaca dengan sin, dan kedua bacaan ini termasuk dalam tujuh jenis bacaan Alquran,
qira’ah as sab’ah.” (Abi ‘Aly Al Farisie, ‘Al- Hujjatu Lilqurrais Sab’ah’, hal. 110.)
Maka tawassul dan tawashshul memiliki makna yang sangat berdekatan, dan wasilah adalah sebab yang menyampaikan
kepada tujuan. Sedangkan pengertian tawassul menurut sayariat adalah ibadah yang
dengannya dimaksudkan tercapainya ridha Allah dan surga sebagai tujuan utama
ibadah. Karena itulah kita berkata, bahwa seluruh ibadah adalah wasilah
atau sarana menuju keselamatan dari api neraka dan kebahagiaan masuk
surga. Sebagaimana firman Allah. “Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah).” (al Isra’:57).
Jika anda berpuasa Ramadhan misalnya, maka dapat dikatakan bahwa itu adalah wasilah menuju ampunan dosa-dosa,
begitupula dengan ibadah yang lainnya, shalat fardhu, sunnah, zakat, ibadah
haji dan seterusnya. Semua ini tentu atas dasar iman dan pengharapan raja’. Jadi, segala amal shalih adalah
washilah, dan tujuan dari perbuatan shaleh tersebut adalah, Barang siapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.” (Ali Imran: 185).
Kita dapat menarik ‘benang merah’ bahwa
maksud dari wasilah adalah pendekatan
diri kepada Allah dengan suatu amal. Dan sama sekali tidak ada
perkataan bahwa tawassul berarti mendekatkan diri kepada Allah dengan
perantaraan orang-orang tertentu atau bersandar kepada orang orang yang telah
meninggal. (Abu Anas ali bin Husain Abu Luz ‘At Tawassul, Aqsamuhu, wa Ahkamuhu’).
Ragam Tawassul
Melihat fenomena masa kini, dalam menanggapi masalah
tawassul maka tulisan ini coba memaparkan sedikit tentang pembagian jenis
tawassul, baik yang dianjurkan maupun yang dilarang.
Diceritakan
dalam kitab Shahih at Targhib wat Tarhib dalam bab ‘Anjuran Kepada Ikhlas; Kejujuran dan Niat yang Baik’, yang disusun oleh Syekh
Muhammad Nashiruddin al-Albani. Dari Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah bersabda. “Ada tiga orang dari ummat
sebelum kalian yang sedang bepergian, sehingga mereka harus bermalam di sebuah
goa, mereka masuk kedalamnya. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari gunung
dan menutup pintu goa. Salah satu dari mereka berkata, ‘Yang menyelamatkan kalian dari batu besar ini hanyalah
do’a kalian kepada Allah [sambil
bertawassul] dengan amal shaleh kalian.’
Salah satu dari mereka berkata, ‘Ya Allah,
aku mempunyai bapak-ibu yang sudah tua. Aku tidak pernah mendahulukan siapapun
atas mereka dalam minum susu di petang hari, keluarga maupun hartaku. Suatu
hari aku pergi ke tempat yang jauh untuk mencari padang rumput. Aku tidak dapat
kembali [menggiring unta-untaku pulang ke
kandangnya] hingga keduanya telah tidur.
Maka aku memerah susu untuk mereka minum di malam hari tapi aku mendapatkan
keduanya sedang tidur, maka aku tidak mau mendahulukan orang lain dari mereka
berdua dalam minum susu tersebut, tidak keluarga atau hartaku. Aku terdiam
sementara bejana susu ada di tanganku sambil menunggu keduanya bangun, sehingga
fajar pun
menyingsing –sebagian rawi menambahkan, sementara
anak-anakku menangis di kakiku—keduanya bangun dan minum susunya. Ya Allah, jika aku
melakukan itu demi mencari wajahMu maka bukalah kesulitan kami akibat batu
besar ini’. Maka batu besar itu bergeser sedikit tapi mereka belum bisa
keluar.”
Nabi melanjutkan, “Yang lain berkata, Ya
Allah, aku mempunyai sepupu perempuan. Dia adalah orang yang paling saya cintai.
Aku berhasrat melakukan [apa yang
dilakukan oleh suami terhadap isterinya] kepadanya, tetapi dia menolakku. Sampai ketika dia tertimpa paceklik,
dia datang kepadaku. Aku memberinya sertatus dua puluh dinar emas dengan syarat
dia menerima ajakanku, maka diapun menerima. Tetapi ketika aku telah
menguasainya dia berkata, ‘Aku tidak mengizinkanmu membuka cincinku [perawanku] kecuali dengan haknya’. Maka aku
merasa berdosa melakukan itu padanya, lalu melepasnya. Ya Allah, jika memang aku melakukan itu
demi mencari wajahMu maka bukalah kesulitan kami.’ Maka batu itu bergeser,
hanya saja mereka belum bisa keluar.”
Nabi melanjutkan, “Yang ketiga berkata, ‘Ya
Allah, aku menyewa beberapa pekerja. Dan aku telah membayar gaji mereka. Hanya
seorang yang belum, dia pergi meninggalkan haknya. Lalu aku mengembangkan
haknya itu sampai ia menjadi harta yang melimpah. Beberapa waktu kemudian dia
datang kepadaku. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai hamba Allah, berikan hakku’. Aku
menjawab, ‘Apa yang kamu lihat ini adalah gajimu: unta, sapi, domba, dan hamba
sahaya’. Dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, jangan mengejekku’. Aku berkata, ‘Aku
tidak mengejekmu’. Lalu dia mengambil semuanya. Dan dia menggiringnya tanpa
menyisakan apapun. Ya Allah, jika aku
melakukan demi mencari wajahMu, angkatlah kesulitan kami.’ Lalu batu itu
bergeser dan mereka keluar dan meneruskan perjalanan.”
Kisah di atas mengajarkan kita bahwa keihklasan dalam beramal merupakan
modal utama untuk dapat dijadikan washilah akan terkabulnya doa,
sebagaimana tiga orang di atas yang menjadikan amal shaleh sebagai jalan untuk
bertawassul agar keluar dari kesusahan yang menimpa mereka, dan ini termasuk
salah satu tawassul yang disyariatkan.
Selain itu, tawassul yang dianjurkan
dalam Alquran adalah bertawassul kepada Allah dengan nama-namaNya. Sebagaimana
firmanNya yang artinya, “Hanya milik
Allah-lah al Asma’ al Husna, maka memohonlah kepadaNya dengan menyebut al Asma’ al Husna’. (Al A’raf:180),
tawassul kepada Allah dengan Sifat-sifatNya, dengan perbuatanNya, tawassul
kepada Allah dengan beriman kepadaNya dan kepada RasulNya, atau dengan orang
shaleh yang masih hidup yang diharapkan
doanya terkabul.
Adapun tawassul yang tidak dibenarkan adalah tawassul kepada Allah dengan
kedudukan seseorang yang memiliki keistimewaan di sisi Allah, seperti tawassul
dengan nabi sambil berkata, “Ya Allah,
sesungguhnya saya memohon dengan kedudukan nabiMu agar demikian dan
demikian.” Dengan nabi saja kalau
sudah meninggal kita tidak dibenarkan apalagi
hanya dengan sahabat-sahabatnya atau dengan wali-wali, ulama-ulama, atau
para ayatollah –sebagaimana lazimnya para kaum Syiah—karena mereka sudah sibuk
dengan diri mereka masing-masing, mana mungkin mereka sempat menolong yang
masih hidup.
Begitu pula tawassulnya orang-orang musyrik dengan
berhala-berhala dan patung-patung atau kuburan-kuburan orang-orang tertentu.
Ini sumua adalah tawassul haram karna sudah berhubungan dengan rusaknya akidah. Mudah-mudahan kita
terhindar dari bentuk tawassul yang terlarang. Wallahu a’lam.
Ilham Kadir, Mahasiwa Pascasarjana UMI Makassar,
Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments