Atraktif Berdakwah

Dalam
Alquran (103:1-3) dijelaskan dengan gamblang bahwa, “Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, serta nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan
kesabaran.” Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah
besabda, “Manusia bergantung kepada Allah, yang lebih dicintai-Nya adalah
mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.”
Jadi
muslim yang baik, beruntung dan tidak buntung adalah, mereka yang melengkapi
perbuatan baiknya dengan keimanan, kesabaran, dan selalu nasihat-menasihati
dalam menunjukkan kebenaran ajaran Islam serta kesabaran dalam menjalankan ibadah
kepada Allah. Dengan itu, seorang muslim dapat bermanfaat kepada muslim
lainnya, makin berkualitas nasihat yang kita sampaikan, makin tinggi pula
nilainya di sisi Allah. Makin menarik metode dalam memberikan nasihat, makin
ramai pula peminat nasihat, dan tentunya amal kita juga makin meningkat. Siapa
yang menunjukkan satu perbuatan baik kepada orang lain, niscaya ia akan turut
mendapatkan pahala sebagaimana yang melakukakannya, tidak berkurang sedkit pun,
dan barang siapa yang menunjukkan jalan kesesatan, niscaya dosanya persis
dengan orang yang mekakukan dosa itu tak kurang sedikit pun. Demikian Nabi
bersabda.
Dakwah
Atraktif
Islam
sebagai agama misi mengharuskan ada segolongan orang yang melakukan kerja-kerja
dakwah secara profesional dan atraktif, sehingga umat mendapat pencerahan dan
bimbingan sesuai apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya:
amar ma’rif nahy mungkar.
Orang
yang terlibat dalam dakwah adalah manusia pilihan yang menjadi pewaris para
nabi (waratsatul anbiya’). Karena sentuhan para dai sehingga agama ini
tetap eksis di muka bumi. Untuk itulah, para dai perlu bekal yang cukup sebelum
terjun dalam masyarakat luas, bukan hanya sekadar memiliki satu-dua buku
kumpulan khutbah Jum’at lalu terjun bebas berdakwah tanpa ilmu yang memadai dan
pengetahuan tentang metodologi dakwah yang mumpuni. Kita tidak butuh dai yang
fakir materi dan miskin metode.
Penguasaan
materi adalah hal mutlak yang harus dimiliki seorang dai, dalam ajaran Islam,
ada tiga perkara inti yang harus diketahui setiap muslim, yaitu ‘ilmu
ushuluddin, atau landasan ajaran agama (tauhid), ‘ulum as-syariah,
atau ilmu yang berhubungan dengan tata cara beribadah (kepada Allah) dengan
baik dan benar, serta ilmu muamalat, termasuk di dalamnya adab berinteraksi
sesama makhluk Allah di muka bumi yang sebagian ulama menamai at-tashawwuf
wal akhlaq.
Jika
para rasul mendapatkan materi dari Allah melalui wahyu, maka manusia biasa
seperti kita harus mendapatkan ilmu dengan cara belajar dan membaca. Para dai
harus memiliki keilmuan yang syumul (komprehensif) sehingga dakwahnya
selain kaya materi juga harus selalu situasional. Tidak mesti benar-benar ahli
dalam satu bidang, tetapi minimal harus tau bidang-bidang tertentu yang sering
menjadi tema pembahasan. Penceramah tidak mesti seorang pakar hadis untuk
mengutif sebuah hadis, tapi ia harus tau kedudukan sebuah hadis dan cara menerangkan (matan) isinya dengan benar.
Ketika
para dai banyak membaca, maka mereka akan sanggup memimpin umat Islam. Jika
umat Islam membaca lebih banyak lagi, maka mereka akan memimpin peradaban umat
manusia. Sungguh sebuah ironi, karena faktanya: orang-orang Barat (Kristen)
banyak membaca, sedang umat Islam sedikit membaca! Selain itu, kita belajar
untuk membaca, sedang Barat membaca untuk belajar.
Selain
materi, penguasaan metode berdakwah juga tak kalah pentingnya. Dalam ilmu
komunikasi kita kenal “Fannul Khithobah” seni berpidato. Ilmu ini juga
tak kalah pentingnya, karena seorang orator kendati menguasai materi sebanyak
apa pun, namun jika terserang ‘demam
panggung’ semuanya akan sia-sia. Atau seorang dai yang tidak tau metode
dakwah sehingga para jamaah salah paham dan berbalik memusuhinya, ini jauh
lebih fatal.
Hisham
Altalib, dalam “Training Guide for Islamic Workers, 1991” menulis sebuah
cerita tentang seorang ustad yang mahir mendidik para santrinya untuk
berdakwah. Enam bulan teori –pembekalan materi—dan tiga bulan untuk praktik-lapangan.
Seorang siswa yang percaya diri telah menyelesaikan bagian teori merasa bahwa
dia akan dapat mengerjakan praktiknya sendiri. Sang ustad mengingatkan, tapi
tidak digubris. Dia telah memilih sebuah desa nun jauh untuk melakukan praktik
dakwahnya sendiri. Pada hari Jumat pertama di desa itu, seorang imam gadungan
menyampaikan satu khutbah yang penuh dengan kebohongan tentang Allah dan
Rasul-Nya. Santri tersebut berdiri dan berteriak dengan lantang, ‘Imam itu pembohong!
Allah dan Rasul-Nya tidak mengatakan demikian!’ Sang Imam pun menjawab, ‘Pemuda
itu kafir dan harus dihukum!’ Para hadirin salat jumat bersatu menyerang santri
itu secara membabi buta. Ia pun kembali pada ustad dengan balutan dan tulang
yang remuk (babak belur). Ustad berkata padanya, ‘Akan kutunjukkan padamu
praktik dakwah yang baik dan atraktif.’ Jumat selanjutnya, mereka pergi ke
masjid yang sama dengan imam yang sama menyampaikan khutbah serupa. Setelah
mendengar khutbah, sang ustad berdiri dan berkata, ‘Imam kalian adalah lelaki
penghuni surga. Setiap orang yang mengambil rambut dari jenggutnya akan
mendapatkan surga!’ Seketika, para
jamaah Jumat menyerang janggut sang imam dan setiap orang menarik satu rambut
dari jenggutnya sampai gundul, darah pun bercucuran. Ustad lalu membisikkan
kata-kata kepada Imam gadungan, ‘Akankah Anda berhenti berbohong tentang Allah
dan Rasul-Nya? Atau Engkau ingin hukuman tambahan?’ Sang imam mengaku salah dan
bertobat. Santri itu menyadari kekeliruannya, dan memohon pada ustad agar
diberi waktu tambahan tiga bulan untuk praktik berdakwah. Teori dan praktik dua adalah kutub yang beda.
Bekal
yang terpenting dari semuanya adalah, seorang pendakwah harus sesuai ucapan dan
perbuatannya. Tidak lazim membahas tema fadhilatul ju’ keutamaan
berlapar-lapar sementara dia sendiri tidak pernah kelaparan; menekankan
keutamaan salat berjamaah sementara ia hanya berjamaah di hari Jumat;
menekankan keutamaan berpoligami sementara dirinya belum punya istri walau
hanya satu. Inilah yang dimaksud dalam Alquran (QS. 61:2), lima taquluna ma
la taf’alun, Mengapa kamu katakan sesuatu yang tidak kamu laksanakan?
Hingga
saat ini, umat Islam masih tetap memandang bahwa para dai adalah harapan,
cita-cita, dan penyelamat bangsa dan umat, mereka adalah agent of change.
Salah satu ciri kian dekatnya hari kiamat adalah, jika para dai rama-ramai
menetap di kota untuk memburu kemewahan dunia, dan pada saat yang sama para
misionaris-Kristen ramai-ramai masuk kampung untuk menyelamatkan ‘domba-domba’
sesat. Wallahu a’lam!
Ilham
Kadir, Anggota Majelis Intelektual, Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Peneliti
LPPI Indonesia Timur
Comments