Ulama Sebagai Ekosistem Peradaban
Suatu ketika, Khalifah Abdulah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid yang lebih dikenaldengan Al-Makmun –salah satu
penguasa pada era Bani Abbasiah priode 813-833 M—mendatangi seorang ulama pada
masanya, menjadi kebiasaan baginya jika ingin meminta nasihat dan petunjuk
pasti rujukannya adalah para ulama. Dalam pertemuan tersebut dialog
antara khalifah dan sang ulama terekam dan diabadikan
oleh sejarah, berikut petikan dialognya:
Khalifah,
“Saya datang kesini untuk mendapat nasihat dari Anda,
nasihatilah saya!” Maka
ulama itu pun meminta kepada sang
khalifah untuk mengambil air putih,
“Tolong ambilkan saya segelas air putih!”. Setelah segelas
berisi air putih dalam genggaman Al-Makmun,
maka sang ulama pun bertanya, “Bagaimana bayangan Tuan
kalau seandainya Tuan melakukan perjalanan di tengah padang pasir selama tiga hari
tiga malam dan tidak pernah mendapatkan air minum, tiba-tiba ada seseorang yang
datang membawa segelas air putih seperti dalam genggaman Tuan itu, menurut Tuan
berapakah taksiran harga segelas air putih itu?” dengan tanpa berpikir Al-Makmun
menjawab, “Aku akan membeli air putih ini dengan harga separuh dari seluruh harta kerajaanku,” “kalau
begitu silahkan tuan minum air putih itu!” perintah sang ulama.
Setelah itu sang ulama bertanya lagi, “Kalau seandainya air yang telah Tuan
minum itu semuanya membeku dan menjadi batu dalam perut, tidak mau keluar dan
menjadi penyakit mematikan, maka menurut Tuan berapa taksiran harga yang akan
tuan bayar untuk mengeluarkan air yang telah membatu itu?” Khalifah menjawab
dengan seriusnya, “Aku akan membayar dengan separuh harta kerajaanku yang
tersisa!” “Kalau begitu harga seluruh kerajaan Tuan di mata Allah hanyalah
segelah air putih,” nasihat sang Ulama.
Dialog
di atas memberikan pelajaran berharga pada
kita, bahwa harus ada sinergitas
antara umara dan ulama. Ulama menjadi rujukan utama para penguasa dalam menjalankan roda
pemerintahannya, terlebih yang ada kaitan dengan agama sebagai sumber ajaran
moral. Moral adalah intrumen terpenting dalam sebuah negara bahkan peradaban,
dan umara yang tak bermoral akan menggiring para rakyatnya menuju
kehancuran, bisa saja dari segi fisik suatu negara bisa dikategorikan maju
namun tidak dari sisi moral atau adab sebagai sumber tegaknya peradaban.
Agar penguasa dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sesuai harapan
umat. Umara tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dan mengabaikan peran para
ulama karena bagaimanapun para ulama inilah yang menjadi juru petunjuk dalam kesesatan,
cahaya dalam kegelapan, laksana bintang-bintang yang memberikan petunjuk kepada
para pengembara di tengah lautan atau padang pasir pada malam gelap gulita. Sebagimana
sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi laksana bintang di langit yang menjadi pedoman dalam
kegelapan di darat dan di laut. Maka apabila bintang telah gelap maka hampirlah juru petunjuk itu
sesat”.
Siapapun yang menyulut api permusuhan terhadap para ulama, maka secara
langsung mereka mengatakan perang terhadap Allah, karena dari merekalah
kebenaran dapat terungkap, pesan Allah di muka bumi ini dapat dipahami dan
direalisasikan, dari titah para ulama sehingga kemungkaran direduksi baik
secara indipidu maupun secara kolektif. Ulama adalah wakil Allah di bumi ini.
Dari sentuhan tangan ikhlas para ulama sehingga dakwah islamiyah tetap
berjalan dan terus berkembang yang pada akhirnya melahirkan muslim yang taat
dan sejati dari satu tempat ke tempat lain serta dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Tranmissi agama ini berasal dari para ulama, mereka adalah mata
rantai agama dari zaman generasi emas khaerul qurun hingga generasi
pemburu emas saat ini.
Ulama
adalah agen perubahan agent of change
sekaligus pemelihara ekosistem peradaban, dengannya peradaban dapat terbangun
dengan kokohnya dan tanpanya peradaban akan punah.
Peradaban yang acuh kepada para ulama adalah peradaban yang
lemah, rapuh, kropos, dan hanya menunggu kehancuran karena ulama dapat berfungsi
sebagai pemelihara ekosisten peradaban.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penduduk muslim yang cukup
banyak dari segi kuantitas, maka secara otomatis negara ini juga harus memiliki
ulama yang dapat membimbing para umatnya. Kita semua tentu kenal sebuah lembaga
yang sangat terhormat yaitu Majelis Ulama Indonesia yang populer disingkat
dengan MUI. Dari segi bahasa majelis adalah tempat duduk, namun dalam istilah
yang lebih luas dapat pula berarti perkumpulan. Ada pun ulama berasal dari kata
‘alim atau orang berilmu, jadi majelisul ‘ulama adalah kumpulan
orang-orang yang dianugrahi atau telah memiliki ilmu yang tinggi.
Kata ‘alim dalam Alquran terulang sebanyak 106 kali, namun
kata ulama tersebut dalam Alquran hanya dua kali saja. Pertama,
dalam konteks ajakan Alquran untuk memperhatikan turunnya hujan dari
langit, gunung-gunung dan beraneka ragam jenis dan
warna buah-buahan, hewan dan manusia maka sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,”(QS. 35: 28). Yang
dimaksud dengan ulama di sini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan
kekuasaan Allah, yakni mereka yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah
yang bersifat kauniyah (Sains atau alam semesta), di
samping ayat-ayat qauliyah (teks Alquran). Allah
menciptakan alam semesta ini sebagai ayat-ayat kauniyah
(teks/tanda alam semesta) yang keduanya saling melengkapi. Oleh karena itu,
istilah ulama dalam bahasa Arab moderen
juga berarti para cendekiawan dalam salah satu bidang sains dan teknologi. Kedua,
dalam konteks membicarakan tentang kebenaran Alquran dan Nabi Muhammad saw
sebagai penutup para nabi yang telah lama diketahui oleh ulama Bani Israil,
(QS. 26:197). Ada pun pengertian
ulama pada ayat ini ialah para ahli agama yang mampu memahami arti dan
maksud dari teks-teks kitab suci dengan baik dan benar. (Ibnu Katsir,
200:1130).
Oleh karena itu, berdasar dari kedua ayat
tersebut di atas, maka pengertian ulama menurut Alquran dengan dua konteks
berbeda itu adalah “orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat
Allah swt, baik yang qauliyah maupun yang kauniyah.”
Dan ada pun tugas utama seorang ulama dalam
pandangan Alquran adalah sebagai pewaris para nabi waratsatul anbiya’,
maka ulama mengemban beberapa fungsi sebagaimana dinyatakan dalam Alquran,
yaitu: 1) tabligh (menyampaikan pesan-pesan agama) yang menyentuh
hati dan merangsang pengamalan, misalnya Q.S. al-Nisa: 63, 2) tibyan
(menjelsakan masalah-maalah agama berdasarkan kitab suci) secara transparan,
misalnya Q.S. al-Nahl: 44, 3) tahkim
(menjadikan Alquran sebagai sumber utama dalam memutuskan perkara) dengan
bijaksana dan adil, mislanya Q.S. al-Baqarah: 213, dan 4) Uswah
hasanah (menjadi teladan yang baik) dalam pengamalan agama, misalnya Q.S.
al-Ahzab: 21.
Sulawesi Selatan juga termasuk salah satu daerah yang telah banyak
memperoduksi ulama, bahkan ulama mendapat posisi terhormat di mata masyarakat
Sulawesi khususnya etnis Bugis, Makassar, dan Mandar. Ada Syekh Yusuf
Al-Makassar ulama kharismatik, pejuang agama dan pembela tanah air, pahlwan di
dua negara Indonesia dan Afrika Selatan yang berasal dari Butta Gowa,
ada Al-Allama Anre Gurutta Muhammad As’ad yang menjadi pencetak ulama di
Sulsel, dan begitu pula Imam Lapeo di Tanah Mandar.
Untuk itu, demi terus terjaganya mata rantai agama ini, maka diharap
partisipasi pemerintah agar memberi ruang dan menyediakan pasilitas bagi
lembaga yang bisa mencetak kader-kader ulama yang mumpuni, siap berjuang untuk
membela agama Allah, mendidik dan menuntun umat dari kesimpang-siuran, menjadi
penyuluh dalam keremangan, dan terus menerus menegakkan kebenaran. Wajib bagi
kita memilih pemimpin yang menghargai ulama dan meninggalkan pemimpin yang
hanya mengunjungi ulama jika masa pemilu menjelang. Wallahu A’lam!
(Ilham
Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar &
Peneliti LPPI Indonesia Timur)
Comments