Tiga Langkah Mereduksi Terorisme
Sebuah tayangan video
kekerasan yang diduga dilakukan oknum Densus dan Brimob yang dapat di akses di youtube,
terlihat aparat keamanan meminta korban beristighfar sebelum ditembak mati.
Beberapa saat kemudian terdengar serentetan tembakan mengenai beberapa korban.
Vedeo ini dipermasalahkan oleh ormas-ormas yang
tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) antara lain Muhammadiyah, Muslimat NU, Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Syarikat Islam, PP Matla’ul Anwar, Wanita
Islam, Baitul Muslimin Indonesia, Hidayatullah, Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Ikata Dai Indonesia (IKADI), dan Majelis
Dakwah Islamiyah, PP Parmusi, Tabiyah, MIUMI, MUI, Al Irsyad, Dewan Masjid dan
BKRMI. Mereka meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu
membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak
Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Nada keras juga dilontarkan oleh Mantan Ketua Pengurus
Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa wacana dan
desakan pembubaran Densus 88 muncul sebagai respons karena negara bertindak
tidak adil. Ekstrem kanan –lanjut Muzadi—dihadapi dengan senjata, dan pada saat
yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan
sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM. (hidayatullah.com. 07/03/2013).
Dr. Marwah Daud Ibrahim, Ketua Presidium Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesa (ICMI), pada Kamis (07/03/2013) membacakan sikap
resmi ICMI. “Tindakan Densus 88 yang dalam banyak kasus telah terbukti
melampaui kepatutan, kepantasan, dan batas perikemanusiaan berupa penangkapan,
penculikan, penyiksaan, intimidasi, dan pembunuhan, yang sebagian terekam dalam
video yang beredar, dan yang telah memakan banyak korban dan menimbulkan
kesedihan, luka dan trauma. Demikian telah terjadi pelanggaran berat,” .
Pernyataan Marwah diamini oleh Din Syamsuddin,
katanya. “Terorisme sebagai musuh bersama tidak semestinya dihadapi
dengan pendekatan bernuansa teror. Dengan demikian, kami mendesak pemerintah
untuk mengaudit kinerja [termasuk keuangan] lembaga tersebut dan menggantinya
dengan lembaga baru yang kredibel, profesional dan berintegrasi dengan
melibatkan unsur-unsur masyarakat.” (hidayatullah.com. 8/3/2013).
Defini Terorisme
Kecuai itu di Makassar, pada hari
Selasa (5/3/13), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggelar
rapat pembentukan kelompok kerja dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana
terorisme di Provinsi Sulawesi Selatan, rapat yang digelar di Hotel Singgasana,
Jl Kojaolalido, Makassar itu, berujung dengan pembentukan pengurus Forum
Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang dikukuhkan pada hari Rabu (6/3/13) lalu.
Dalam acara pengukuhan FKPT
tersebut, dilakukan pula dialog pencegahan terorisme bertema “Sinergitas
Pemerintah dan Masyarakat dalam Pencegahan Terorisme Berbasis Kearifan Lokal
Guna Mendukung Kerja FKPT” dengan menghadirkan dua pakar, yaitu Prof. Qasim
Mathar sebagai pakar pemikiran Islam dan Prof Hamdan Juhannis sebagai pakar
sosiologi. Yang dipandu oleh Prof. Rahim Yunus. Dalam pembukaannya, Rahim Yunus
menegaskan bahwa ada tiga masalah besar yang dihadapi bangsa ini, yaitu,
korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), narkoba yang
ditangani oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), dan terorisme yang ditangani
oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Lontaran cerdas disampaikan Prof
Qasim Mathar, memulai pembicaraannya dengan mengupas defenisi makna
‘terorisme’, bahwa kata ‘terorisme’ tidak pernah dipahami dengan baku atau disepakati
oleh seluruh bangsa. Orang Amerika berpendapat bahwa siapa pun yang mengganggu
kepentingan dan ketenangan orang Yahudi maka mereka adalah teroris, namun di
lain pihak, umat Islam berpendapat bahwa siapa pun yang menyerang serta menindas
orang Islam sebagaiman di Palestina dengan cara biadab, maka merekalah teroris.
Jadi teroris –menurut Qasim Mathar—sangat tergantung siapa yang mendefinisikan
dan siapa yang menguasai definisi. Hingga saat ini, yang menguasai definisi adalah
mereka yang menguasai media, dan Amerika-lah menguasai media yang dikendalikan
oleh orang-orang Yahudi.
Prof. Hamdan Juhannis melacak akar
gerakan terorisme, menurutnya, embrio terorisme tidak hanya berpangkal pada
gerakan ideologi agama tertentu. Rasa keadilan, kesejahteraan dan distorsi
budaya sering menjadi pemicunya, lalu agama menjadi persemaian dari ketidak
puasan. Ditinjau dari permasalahan sosial, terorisme adalah tindakan riil dan
laten. Riil karena secara nyata aksi teror muncul dengan kreativitas tinggi dan
laten karena ideologinya merupakan keyakinan yang sangat prinsipil, diyakininya
sebagai sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan. Jika dicermati lebih jauh
–tulis Juhannis—terorisme dianggap kolaborasi antara kegagalan negara dalam menjalankan
fungsinya dan frustasi masyarakat atas kondisi yang dihadapi. Kemiskinan,
ketidak adilan sosial, pengangguran, dan generasi muda yang tidak memiliki
prospek masa depan yang cerah, (hopeless generation) dapat menjadi
generasi terorisme.
Sayang, pada dialog tersebut Prof.
Qasim melontarkan pernyataan yang tidak cerdas dengan mengatakan, “Kalau mau
mengikuti syariat dengan seutuhnya, silahkan naik ke langit.” Padahal setau
saya, syariat yang diturunkan Allah kepada umat manusia (Islam) melalui Rasul-Nya
untuk dijalankan dan ditaati di muka bumi ini, dan terbukti, pernah terjadi
beberapa generasi pada awal-awal kedatangan Islam. Rasulullah, para khalifah
penggantinya, hingga di era Umar bin Abdul Aziz adalah manusia biasa yang
tinggal dibumi.
Hemat saya, yang perlu ditekankan
bahwa setiap muslim wajib menjalankan syariat Islam secara subtansial seperti
menjalankan amalan-amalan wajib dan sunnah serta menjauhi seluruh larangan.
Menipu rakyat, menggarong uang negara (korupsi), perampokan, jambret, pencurian,
membunuh tanpa hak, aksi premanisme dan terorisme –daftarnya terus
berlanjut—adalah perbuatan melanggar syariat yang tidak hanya dihukum di dunia
namun di akhirat akan dipanggang dalam neraka yang berham baku batu dan manusia
yang menyala-nyala (waquduhannas wal hijarah). Sedangkan penerapan
syariat secara formalistik di negara ini, harus digapai dengan bertahap melalui
edukasi sejak dini bahwa Islam adalah agama yang dapat berkolaborasi dengan
politik sebagaimana pandangan Yusuf al-Qardhawi dalam “Al-Islamu wal-‘Ilmaniyah
Wajhan Liwajhin,2007” dan Naquib Al-Attas dalam “Islam and Secularism,
1977” bahwa ‘ad-din huwa as-siyasah’, agama adalah pilitik, sebagaimana
diamini oleh orientalis sekaliber Bernard Lewis, katanya, “In the experience of the first Muslims,
as preserved and recorded for later
generations, religious truth and political power were indissolubly associated:
the first sanctified the second, the second
sustained the first.[Sepanjang pengalaman Umat Islam generasi
pertama, sebagaimana telah dilestarikan dan direkam untuk generasi sesudahnya,
kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat tak terpisahkan. Yang
disebut pertama mensucikan yang terakhir, manakala yang disebut terakhir
mendukung yang pertama]" (Bernard Lewis,
The Crisis of Islam,
2003, hlm. 6).
Pencegahan
Aksi Terorisme
Setidaknya
ada tiga langkah yang dapat menjadi acuan bagi FKPT sebagai kepanjangan tangan
BNPT dalam mereduksi aksi-aksi terorisme, terutama pada masa yang akan datang:
Pertama, berkejasama dengan para muballig yang ada di Sulawesi Selatan,
baik yang berdomisili di kota maupun di pedalaman. Dengan itu, pesan-pesan
terkait bahaya terorisme bisa digaungkan lewat mimbar-mimbar masjid atau
majelis-majelis taklim, serta acara-acara keagamaan yang kerap diisi oleh para
muballig. Namun itu semua harus didahului dengan pelatihan (diklat) para
muballig dari berbagai lembaga dan perwakilan segenap daerah yang dianggap
memiliki kualifikasi untuk menjadi penyambung lidah FKPT, hal ini bermaksud sebagai
pembekalan materi-materi yang terkait dengan terorisme, dalam diklat tersebut
panitia yang terdiri dari FKPT harus mendatangkan nara sumber yang benar-benar
menguasai dalil syiar’i bahwa aksi teroris sangat bertentangan dengan syariat
Islam. Saya rekomendasikan agar pemateri diambil dari ustad yang pernah belajar di Timur Tengah,
khususnya Universitas Islam Madinah karena mereka sangat menguasai dalil-dalil
tentang larangan memberontak terhadap pemimpin atau melukai sesama muslim dan
non muslim yang tidak memerangi umat Islam.
Kedua, melakukan edukasi sedini mungkin bagi para pelajar, terutama di
pondok-pondok pesantren. Mencegah lebih baik dari mengobati, pepatah itu sangat
tepat diaplikasikan dalam memangkas generasi terorisme. Situs republika on line (ROL), melaporkan
bahwa setiap tahun BNPT mendapat dana sekitar 90 miliar untuk menanggulangi
terorisme, dana tersebut pasti dan haqqul yaqien dari hasil pajak,
bahasa kasarnya, dari kocek rakyat. Jika dana sebesar itu, digunakan untuk
membeli senjata dan peluru lalu dipakai menembak rakyat yang belum diketahui
pasti apakah yang bersangkutan teroris atau bukan, niscaya tidak mentupi
kemungkinan jika kelak anak atau keluarga si korban menaruh dendam dan hanya
menunggu waktu untuk melakukan pembalasan. Namun jika dana tersebut sebagian
besarnya dialihkan untuk pembinaan dan sosialisasi dampak buruk dari aksi
terorisme, niscaya hasilnya akan berbeda. Jika 50 persen dari jumlah di atas
dipakai untuk sosialisasi di pondok-pondok pesantren atau para ROHIS, tentu
hasilnya akan terlihat dalam tempo relatif singkat.
Ketiga, mengedepankan metode dialogis. FKPT harus menjadi ujung tombak
dalam menggagas dan melakukan dialog kepada gerakan-gerakan yang dianggap
radikal, baik itu oknum-oknum tertentu atau perkumpulan yang dicap sebagai golongan
ekstrim. Metode inilah yang diterapkan di Arab Saudi, para golongan garis keras
diundang untuk melakukan debat terbuka, disaksikan oleh publik. Kedua belah
pihak, baik pro dan kontra pemerintah harus mengeluarkan argumentasinya
berdasarkan dalil-dalil syar’i. Lagi-lagi saya merekomendasikan untuk
menghadirkan nara sumber dari aliran salafi yang kerap mendapat stigma
dari golongan ‘sufaha’ sebagai Salafi-Wahabi, padahal aliran ini pada dasarnya
loyalis pemerintah, karena dalam pemahaman mereka, siapan pun yang terpilih
sebagai pemimpin selama tidak melarang rakyatnya untuk melakukan kewajiban
beragama maka harus ditaati, jika melakukan ‘makar’ maka digolongkan sebagai
‘khawarij’ yang layak diperangi. Hingga detik ini belum pernah ada salafi yang
melakukan demo di Indonesia.
Itulah
langkah-langkah elegan yang layak ditempuh oleh FKPT untuk mereduksi aksi-aksi
terorisme yang kerap mencederai bangsa dan merusak citra umat Islam di mata masyarakat
internasional. Padahal Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat
bagi seluruh alam semesta. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Pengurus FUI Sulsel, Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments