Pendidikan Islam Menurut Al-Attas
Pada awal era modern, para pemikir dan pemimpin muslim telah
menyadari pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat, terutama dalam
menghadapi hegemoni sosial-ekonomi dan kebudayaan Barat. Namun, kegagalan
serangan Dinasti Utsmaniyah terhadap Vienna pada tahun 1683, tidak hanya
menandai runtuhnya superioritas militer Islam yang waktu itu sangat ditakuti,
tetapi juga menandai pudarnya kebanggaan dan rasa percaya diri terhadap
supermasi peradaban umat Islam. Keadaan ini semakin diperpuruk dengan
ditandatanganinya Perjanjian Karluftisy tahun 1698 yang memaksa Dinasti
Utsmaniyah kehilangan Ukraina, Bodulia, Azuf, Hungaria, serta melepaskan
Translvania dan sebagainya. Pada tahun 1717, Perjanjian Bisarovetis ditanda
tangani yang isinya Dinasti Utsmaniyah harus melepaskan Serbia, Beograd, dan
sebagian wilayah Valechie.[1]
Perjanjian demi perjanjian terus terjadi, tahun 1773, Perjanjian
Qainarajah diadakan dengan tujuan agar Utsmaniyah melepaskan Kryn, Bisarobia
(Rumania), dan Koban (Kafkas). Palestina, tahun 1775 bergejolak, dibawah
revolusi yang diadakan oleh Zhahir Umar, namun pemerintah masih dapat
mengatasinya. Keruntuhan yang sama juga terjadi di Imperium Moghul India.
Kekalahan Antara Nawab Siraj ad Daulah dari tangan English East Company (EIC)
dalam sebuah peperangan di Plassey tahun 1757 menandai kemunculan kondisi
serupa dengan yang dialami oleh Imperium Utsmani.[2]
Kecuali itu, perjanjian Kutruch Quinarji pada 1774, antara Dinasti
Usmaniyah dan Rusia, juga turut menyumbang pada keruntuhan kekuatan militer
pada peradaban Utsmani di mata Eropa hingga hari ini. Di Mesir keberhasilan
agresi militer yang dipimpin Napoleom pada tahun 1798 semakin menyingkap
kelemahan kekuatan militer Islam. Peperangan internal umat Islam juga demikian
dahsyat, dan membuat para penjajah bertepuk tangan, tepat pada tahun 1811-1817,
Dinasti Utsmaniyah memerangi pemerintah Saudi Arabia. Mereka menugaskan
Muhammad Ali, penguasa Mesir saat itu, untuk mengalahkan pemerintah Saudi yang
masih berumur muda, dan dakwah Abdullah bin Abdul Wahhab yang bercorak
salafiah. Waktu itu, pemerintah Saudi sedang mencapai puncak perluasan
wilayahnya. Thusun bin Muhammad Ali mendatanginya, dan berhasil merebut Hijaz
dan sebagian wilayah Najed. Kemudian saudaranya Ibrahim berhasil menguasai ibu
kota Dar’iyah dan mengalahkan orang-orang Saudi, namun ini tak berlangsung
lama, karena kelak Saudi kembali merebutnya.[3]
Jauh sebelum itu, Kerajaan Nusantara yang berpusat di Malaka telah
pun jatuh ke tangan bangsa Portugis dengan bala tentaranya pada tahun 1511 dan
berlanjut jatuhnya keperkasaan kerajaan kembar Islam Gowa-Tallo –setelah melewati pertempuran
paling sengit yang pernah ada dalam sejarah penjajahan bangsa Belanda—di tangan
Laksamana Cornelis Janszoon Speelman pada tanggal 24 Juni 1669.[4]
Disebabkan oleh latar belakang ini semualah sehingga para pemimpin
politik umat Islam dari Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II
(1807-1839) hingga Pasya Muhammad Ali di Mesir (1803-1849) beranggapan bahwaa
cara yang terbaik untuk menghadapi kekalahan ini adalah dengan mengadakan
sejumlah reformasi pendidikan, terutama dalam bidang militer dan ilmu-ilmu
terknik, kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.[5]
Banyak tokoh cendekiawan muslim reformis yang peduli akan
kemunduran umat Islam dan telah banyak wacana digulirkan yang berkaitan
langsung dengan isu tersebut. Hal ini dapat diamati dari adanya pelbagai usaha
para cendekiawan muslim, dalam banyak bidang kehidupan dan keilmuan yang
mencoba menawarkan pembaruan pemikiran atau strategi pembenahan kondisi umat.
Usaha-usaha pembaruan pemikiran semacam itu pada zaman modern ini memiliki
kecenderungan yang berbeda-beda, tetapi di kalangan cendekiawan muslim
kontemporer sekurang-kurangnya terdapat dua tren pemikiran yang menonjol. Pertama,
upaya-upaya pembaruan yang berangkat dari identifikasi penyebab kemunduran umat
berdasarkan pengamatan terhadap ragam fenomena sosial, politik, ekonomi,
teknologi, atau fenomena lain yang cenderum bersifat eksternal, dan kedua,
upaya pembaruan yang bertolak dari pencarian penyebab kemunduran umat secara
internal dari pemahaman yang intens serta perenungan yang mendalam mengenai
makna Islam itu sendiri dan kondisi umat.
Kedua tren di atas menghasilkan pemikiran dan strategi dengan
tingkat kedalaman dan efektifitas masing-masing. Mereka yang mengidentifikasi
dari asfek yang superfisial akan menghasilkan konsep-konsep dan langkah-langkah
jangka panjang yang bersifat strategis. Tren pertama yang memang lebih bersifat
populis karena hasilnya lebih muda diketahui dan diraksan, sedangkan yang kedua
tampak bersifat ekslusif karena memang berupa kajian teoritis dan konseptual
yang hanya dapat dipahami secara mendasar oleh para ulama atau cendekiawan.
Meskipun tidak populis, tren kedua lebih konseptual dan secara
teoritis lebih efektif daripada yang pertama. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
pekerjaan mengindentifikasi penyebab kemunduran umat Islam mengharuskan adanya
pemahaman terhadap hakikat Islam itu sendiri, sebab kondisi umat hanya dapat
dipahami melalui pandangan hidup wrold view Islam. Karakter Islam dan
pandangan hidup Islam menunjukkan bahwa realitas fisikal selalu berdimensi
spritual, pemikiran ilmiah selalu berdimensi amaliah, pemahaman muslim yang
akurat mengenai Islam dan umatnya terletak pada kecanggihannya dalam
mengintegrasikan realitas ajaran wahyu dengan realitas sosial, realitas
yang mutlak dengan realitas yang nisbi,
nilai-nilai normatif dengan fakta-fakta historis, dan lain-lain.
Seharusnya seorang muslim tidak memandang realitas kehidupan hanya
dalam perspektif yang besifat profan, tetapi harus bersifat profan sekaligus sacred
sakral. Oleh karena itu, pandangan cendekiawan muslim terhadap realitas kondisi
umat tidak cukup akurat hanya berdasarkan fenomena praktik keagamaan di
masyarakat, tetapi memerlukan juga realitas ajaran Islam yang menjadi anutan
mereka.
Kebiasaan para cendekiawan muslim untuk mengambil pemikiran dari
luar Islam secara tidak kritis taken for guarantee dan menerima
pandangan para orientalis secara apa adanya telah mengakibatkan kerancuan confusion
pada tingkat pemikiran dan penentangan terhadap kemapanan tradisi Islam
pada tingkat etika alias adab. Oleh karena itu, cendekiawan muslim yang
mengadopsi konsep-konsep asing yang seakan-akan membawa konsep baru tidak
semestinya diberi label ‘pembaru’, sebab konsep dan kriteria pembaruan ‘tajdid’
dalam tradisi pemikiran ulama Islam tidaklah demikian.
Begitu pula pilihan-pilihan yang berdasarkan pendekatan dikotomis,
seperti pemahaman antara tekstual-kontekstual, historis-normatif adalah salah
satu contoh produk kerancuan berfikir. Berfikir kontekstual yang berangkat dari
realitas sosial (al-haqiqah), tanpa merujuk pada nilai-nilai kebenaran
teks wahyu, hanya akan menjadikan seseorang kehilangan arah untuk menuju
kebenaran mutlak (al-haq). Sebaliknya, jika tidak dipahami dalam konteks
zaman sekarang, teks-teks wahyu dan pemahamannya yang membentuk suatu tradisi
itu akan kehilangan kekuatan konseptualnya dalam menyelesaikan masalah-masalah
umat. Demikian pula, berfikir dalam kerangka kesejarahan yang sifatnya selalu
berubah tanpa meletakkaannya dalam kerangka berfikir normatif yang sifatnya
permanen, akan kehilangan subtansi ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu,
jika tidak diarahkan pada tujuan konseptualisasi ulang, kecenderungan bersikap
kritis terhadapat pemikiran para ulama dalam tradisi intelektual Islam hanya
akan mencerminkan sikap apriori, yang pada gilirannya akan mengarah pada
penghapusan otoritas dan tradisi.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, selanjutnya disebut Al-Attas, tampil
memberi solusi terhadap kesenjangan di atas dengan mencanangkan pendekatan
integral yang ditempuh melaui konsepnya tentang ‘pandangan hidup Islam’ islamic
world view. Dengan pendekatan ini, kita tidak perlu lagi meletakkan dua
pilihan yang saling bertolak belakang atau meletaakn Islam vis a vis
dengan Barat dalam setting yang konfrontatif. Barat dan kebuadayaan
asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional,
yang berarti bahwa di suatu sisi Islam dapat mengadopsi atau meminjam
konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dahulu dengan
pandangan hidup Islam dan pada sisi lain menolak ide asing yang tidak
diperlukan dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara
asasi dari kebudayaan manapun termasuk Barat.
Pendekatan integral melalui konsep pandangan hidup Islam yang
merujuk pada tradisi intelektual Islam secara kritis dan kreatif akan
menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat konseptual dan integral.
Dalam perspektif inilah kita dapat mengukur dan menilai apakah suatu pemahaman
atau penafsiran mengenai Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sains,
dan lainnya benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan pernyataan dan
kesimpulan umum kebenaran yang diwahyukan (revealed true). Jika tidak
sejalan, maka penafsiran atau pemahaman tersebut harus dikoreksi ulang (islah)
dengan perubahan paradigma yang berarti perubahan pandangan hidup world view
dan sistem metafisikanya.
Dalam tradisi pemikiran Islam, kerja-kerja koreksi ulang atau
konseptualisasi ulang dapat disebut tajdid, yang pada hakikatnya selalu
berorientasi pada pemurnian (refinement) yang bersifat kembali pada
ajaran asal, dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak
selalu berarti kembail pada corak kehidupan zaman Nabi, tetapi harus dimaknai
secara konseptual dan keratif. Al-Attas mendefenisikan tajdid atau ishlah
sebagai ‘pembebasan’ yang juga bermakna membebaskan manusia dari belenggu
tradisi magis, mitologis, animistis, dan kultur kebangsaan yang bertentangan
dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap
fikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang
cenderung sekuler dan tidak adil pada fitrah atau hakikat kemanusiaan yang
benar.
Al-Attas merasa perlu melakukan ‘pembebasan’ terhadap bentuk-bentuk
belenggu yang mendera umat Islam yang berimplikasi pada keterbelakangan dan
kemunduran. Beliau tidak hanya menyodorkan solusi untuk menghadapai
problematika kemunduran umat, tapi jauh dari itu, Al-Attas juga memberikan
langkah kongkrit untuk mengaplikasikannya dalam bentuk lebaga pendidikan yang
didesain sebagai langkah-langkah kerja nyata. Sebagai perangkat lunaknya,
beliau telah matang dengan konsep-konsep mengenai metafisika Islam, filsafat
ilmu, filsafat pendidikan, konsep manusia, konsep kebahagiaan, konsep agama,
dan moralitas yang semuanya menggambarkan sistem sebagai pandangan hidup Islam
(islamic world view).
Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan yang didirikan dan
dikelolahnya, konsep dan proses islamisasi juga dipahami secara akademis dan
para mahasiswa diarahkan agar mengetahui bagaimana membedakan kebenaran dan
kebatilan (tafriq baynal haq wal bathil), kebetulan dan kesalahan (as-shawab
wal al-khatha’), ilmu dan informasi (al-ilmu wal ma’lumat), dan
seterusnya, yang juga sangat dibutuhkan para pelajar tingkat mahasiswa di
Makassar.
Al-Attas berpandangan bahwa pendidikan adalah salah satu sarana
terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan penanaman
nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan menciptakan sarana dan
tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban. Masalah sumber daya
manusai dan seribu satu permasalahan pendidikan yang dihadapi umat ini.
Bertolak dari sinilah sehingga Konferensi Dunia pertama mengenai Pendidikan
Islam (First World Confrence of Islamic Educaion) yang diadakan di
Makkah. Konferensi pertama pada tahun 1977 yang menghadirkan para pemikir
pendidikan Islam dunia tersebut dilanjutkan dan dimatangkan lagi pada
Konferensi Dunia kedua mengenai Pendidikan Islam (Second World Confrence on
Islamic Educattion) di Islamabad pakistan pada tahun 1980. Tujuan dan
harapan diselenggarakannya konferensi tersebut sangat jelas, yaitu memantapkan
dan meningkatkan mutu pendidikan umat yang telah mengalami degradasi pasca
dominasi Barat di dunia Islam. Al-Attas mendapat kehormatan menyampaikan keynote
address pada konferensi tersebut memang telah memiliki konsep pendidikan
yang fundamental.
Di antara konsep pendidikan Al-Attas yang tetap relevan menjadi
bahan kajian hingga kini adalah konsep ‘ta’dib’. Baginya, masalah
mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai-nilai adab (lost of
adab) dalam arti yang luas, hal ini disebabkan oleh rancunya pemahaman
konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Al-Attas memilih
menggunakan ta’dib untuk konsep pendidikan Islam sebab jika konsep ta’dib
ini diterapkan secara konprehensif, integral dan sistematis dalam praktik
pendidikan Islam, maka –menurut Al-Attas—pelbagai persoalan pengembangan sumber
daya manusia muslim dapat diatasi dengan lebih baik.
[1] Ahmad
Al-Usairy, At-Tarihkul Islamiy, diterjemahkan oleh Samson Rahman, dengan
judul, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi hingga Abad XX, (Cet. I; Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2003),h. 367,
[2] Ibid.,
h. 367.
[3] Ibid., 364.
[4] Ilham Kadir
Palimai, “Jejak Dakwah KH. Lanre Said; Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era
Reformasi”, (Cet. I; Jogjakarta:
Aynat Publishing, 2010), h. 39.
“.. den volgend dag was het gevecht zoo hevig ‘als crijgers van hoogen uoderdom misschein in Europa niet dijkijls gehoordd hebben.” Lihat ulasannya lebih lanjut dalam karya, Moh. Alwi, “Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin”, (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan: Bhakti baru, t.th), h. 45.
“.. den volgend dag was het gevecht zoo hevig ‘als crijgers van hoogen uoderdom misschein in Europa niet dijkijls gehoordd hebben.” Lihat ulasannya lebih lanjut dalam karya, Moh. Alwi, “Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin”, (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan: Bhakti baru, t.th), h. 45.
[5] Ghulam Nabi
Saqib, Modernizatuon of Muslim Education in Egypt, Pakistan, dan Turkey,
(Lahore: islamic Urdu Service, 1983), h. 79-80.
Comments