Muhasabah Untuk Perubahan

Di
Makassar, komunitas dakwah lintas generasi dan latar belakang ini mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Setahun lalu, dakwah hanya bermula dan
berfokus pada komunitas mahasiswa dari
kampus-kampus yang tersebar di Makassar. Namun kini, Ar-Rahman telah
merambah ke lintas kalangan, terutama kaum terdidik dan kelas menengah atas.
Mulai dari cendekiawan, akademisi, politisi, hingga pengusaha, dari kaum Hawa
dan Adam yang ada di kota Angin Mamiri.
Ar-Rahman
beda dengan lembaga dakwah lainnya, salah satu ciri khasnya adalah, adanya
segmen-segmen dakwah pagi para audience-nya. Untuk pengurus Ar-Rahman
misalnya, mereka rutin melakukan kajian sekali sepekan yang diisi oleh pimpinan
Ar-Rahman setempat, yaitu Ust. Kamaluddin Marsusu, S.Pd.I, kajian ini bertujuan
untuk menggembleng para kader yang akan menjadi tulang punggung penyebaran
dakwah pada masa-masa yang akan datang. Mereka adalah para mahasiswa dari
lintas kampus dan berbeda latar belakang jurusan. Kini hasilnya sudah terlihat.
Adapun
untuk kalangan umum, dakwah diadakan hanya sekali sebulan dan bersifat relguler
(terjadwal) yang dipusatkan di Masjid Raya Makassar pada tiap bulannya
berbentuk tabligh akbar. Acara ini diisi langsung oleh Ust. Bachtiar Nasir dan
kerap juga mendatangkan ulama-ulama atau cendekiawan lokal yang dianggap
memiliki visi dan misi dakwah yang sama.
Selain
itu, Ar-Rahman juga menyediakan komunitas dakwah khusus bagi para eksekutif.
Segmen ini biasanya diisi oleh kalangan yang memiliki mobilitas tinggi, dari
para pejabat, pengusaha, politisi, hingga orang-orang berpengaruh dari ranah
politik dan ekonomi atau dalam menentukan kebijakan-kebijakan penting. Dakwah
ini diadakan di tempat-tempat khusus (special place), seperti restoran
dan hotel. Komunitas dakwah ini disebut “Arrahman Khalifah Club”. Kajian inilah
yang berlangsung pada Jumat malam sabtu dini hari (22/3/13). Terlihat hadirin
begitu antusias menghadiri kajian bulanan ini, ballroom yang begitu luas tak
memadai sehingga pihak hotel terpaksa menambah kursi cadangan.
Dalam
kajian kali ini, Pimpinan Ar-Rahman yang sekaligus sebagai Sekjen Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), membawa tema “Muhasabah Untuk Perubahan”,
ustad yang merupakan alumni Universitas Islam Madinah ini memulai kajiannya
dengan membacakan ayat Alquran, Surah Az-Zumar ayat ke-30.
Sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka menjawab,
‘Allah’. Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru
selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaKu, Apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaKu, Apakah mereka dapat menahan rahmatNya?
Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri.
Ayat yang mengandung pertanyaan, ‘siapakah yang menciptakan langit
[wahai Muhammad]?’ dan niscaya mereka [orang-orang kafir itu] menjawab ‘Allah’.
Ini bermakna para kaum kafir mengetahui
eksistensi Allah namun sekaligus mengingkari perintah-Nya. Jika ayat di atas
–lanjut Ustad Bachtiar—ditujukan kepada kita semua, niscaya kita dapat
bertanya: Mengapa kita selalu mengingkari keberadaan Allah dalam hidup yang
serba pragmatis ini. Dengan mudah kita saksikan dan mungkin menikmati hal-hal
yang sudah pasti haram namun dihalalkan, atau yang jelas dan terang
kehalalannya, namun diharamkan, atau mencampur adukkan antara kebatilan dan
kebenaran. Ini semua merupakan ciri-ciri manusia yang membangkan atas hukum dan ketatapan Allah, dan jika berlanjut
terus-menerus bisa-bisa terjerumus pada kekafiran. Di sinilah pentingnya, kata
ustad berdarah Bugis seratus persen ini, untuk melakukan perubahan pada diri
sendiri dengan kembali bermuhasabah demi perubahan yang lebih baik, dan itu
harus dimulai dalam diri sendiri.
Perubahan dapat dimulai dari diri sendiri melalui segenap komponen
yang berada pada tubuh, dalam hal ini, Ustad Bachtiar menekankan pentingnya
mengoptimalkan otak dan jantung sebagai instrumen terpenting dalam tubuh kita
untuk memulai perubahan. Untuk itulah, dalam kanjian ini, ditampilkan beberapa
cerita dari petikan-petikan film yang mendukung maksud dan tujuan dakwah. Salah
satunya adalah, cerita seorang pengemis yang duduk di samping jalan dengan
membawa kertas karton bertuliskan “I’m blind, please help me”, dengan
kata-kata itu sang pengemis bermaksud mendapatkan uang recehan dari para
pejalan kaki yang lalu-lalang di depannya, dan terbukti ada beberapa yang
memberikan uang receh satu atau dua koin. Namun tak lama kemudian, muncullah
seorang wanita berparas cantik dengan tubuh jangkung, yang tau dan mengerti
menggunakan kata-kata lewat tulisan untuk sebuh perubahan, wanita itu
benar-benar paham kekuatan ‘kata’. Ia lalu membalik karton yang menjadi sign
board dan penyambung lidah si buta, dibalik lalu diganti tulisannya dengan
kata-kata yang lebih menyentuh dan menggugah, “It’s a beutuful day, but I
can’t see it...” tak terduga para pejalan kaki yang lalu-lalang tergugah
dan memberi uang recehan dengan jumlah yang banyak, syahdan, sang pengemis
surplus koin recehan dalam masa yang singkat. Jadi, perubahan dapat terjadi
dalam waktu singkat dari hal-hal yang
sederhana.
Dalam konteks tema kajian di atas, muhasabah untuk perubahan, maka
jika ingin berubah ke arah yang lebih baik, maka hal yang terpenting adalah
memperbaiki hubungan dengan Allah. Jika hubungan kita dengan Allah baik, maka
dengan pasti Allah akan melakukan hal yang baik kepada kita. Makin baik
hubungan kita kepada Allah, makin baik pula Allah berhubungan dengan kita.
Orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya, niscaya Allah juga akan lebih
dekat pada hamba-Nya. Dan harus dipahami jika cinta Allah kepada hamba-Nya (mahabbatullah ila ‘abdihi)
terpatri karena usaha hamba yang selalu melakukan taqarrub, pada
akhirnya Allah akan memberikan apa saja yang diminta oleh sang hamba.
Di antara cara untuk merawat taqarrub ilallah menurut
pengasuh kolom konsultasi agama harian nasional Republika ini adalah, harus
selalu merawat iman dengan melakukan amal saleh baik yang sunnah apalagi yang
wajib kerena dengan ta’at beribadah maka iman kita akan meningkat, namun
sebaliknya, jika seorang hamba melakukan maksiat, maka dengan itu iman akan
berkurang, kalau tidak diatasi secepat kilat, akan bersifat fatal, terjerumus pada kubang
kekufuran.
Dan terpenting, dalam beribadah harus tau rumusnya, yaitu: segala
bentuk muamalat lakukan saja selagi tidak ada larangan, jadi dalam konteks ini
seorang hamba hanya diwajibkan untuk mengenal dan menghafal hal-hal yang haram
saja. Ada pun masalah ibadah (ritual wajib), maka seorang hamba harus berdasarkan perintah,
jangan beribadah jika tidak ada perintah dan contoh dari rasulullah dan para
salafus shaleh, apalagi beribadah sesuai kehendak akal seperti orang-orang
liberal, yang hanya beribadah jika sesuai dengan selera dan akalnya, atau
orang-orang sufi yang tersesat, yang beribadah sesuai dengan selera hatinya. Beribadah
dengan berlebih-lebihan tanpa ada nash dari Alquran dan hadis, serta contoh dari para salafus shaleh
tidak hanya sia-sia namun mendatangkan dosa. Ilham Kadir melaporkan dari
Makassar.
Comments