Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Attas
Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Tan Sri Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, yang lebih dikenal dengan ‘Al-Attas’. Lahir 5 September 1931 di Bogor
Jawa Barat dan kini menetap di Malaysia. Beliau adalah ahli filsafat, pakar
sejarah Islam nusantara, dan konseptor pendidikan. Al-Attas adalah salah satu
anak bangsa yang menjadi konseptor utama pendidikan di Malaysia sehingga negeri
Jiran itu lebih maju dari Indonesia tiga generasi ke depan dalam ranah
pendidikan.
Dalam konferensi
internasional pendidikan Islam pertama yang diadakan di Makkah pada tahun 1977
yang berhasil mengumpulkan para pakar Islam (cedekiawan muslim) sebanyak 313
dari penjuru dunia, Al-Attas melemparkan gagasan tentang islamisasi ilmu. Dari
sanalah gagasan itu terus bergulir hingga saat ini. Dari gagasan Al-Attas
hingga muncullah perguruan tinggi yang berusaha mengaplikasikan gagasan
‘islamisasi ilmu’ yang kelak juga dipopulerkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi.
Kini, beberapa lembaga pendidikan Islam dengan kuliatas dan fasilitas standar
internasional telah mengaplikasikan ide Al-Attas, seperti, Internasional
Institute of Islamic Thought (IIIT), Washinting DC.; International Islamic
University Malaysia (IIUM); International Islamic University Islamabad
Pakistan; Islamic Academy di Cambridge; dan Internasional Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur yang didirikan dan dikelolah langsung
oleh Al-Attas. Selain itu jurnal-jurnal ilmiah pun lahir dari lembaga-lembaga
pendidikan yang berkualitas internasional tersebut, seperti American Journal
of Islamic Sosial Sciences (IIIT), The Muslim Education Quarterly
(Islamic Academy), dan As-Syajarah
Journal oleh (ISTAC), juga ratusaan buku telah ditulis dan diterbitkan, content
dari jurnal dan buku-buku tersebut berfungsi sebagai corong penyebar gagasan
islamisasi ilmu.
Al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam ilmu
pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi
kaum muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah
membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu,
peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Walaupun
peradaban Barat tak bisa dipungkiri telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat,
namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan
manusia. Dalam pandangan Al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan
dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke
tahap metodologi ilmiah. Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu telah menjadikan
keraguan sebagai epistemologi yang sah dalam keilmuan. Dan yang paling jelas
dan haqqul yaqin, westernisasi ilmu tidak dibangun di atas wahyu dan
kepercayaan agama. Akan tetapi dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat
dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan
manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.
Sedikitnya ada lima faktor –tulis Al-Attas—yang menjiwai tumbuh dan
berkembangnya peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan
manusia; (2) besikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan
aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela
doktrin humanisme; dan (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur
yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. (Al-Attas, Prolegomena
to the Metaphysics of the Worldvies of Islam, 1995).
Berangkat dari
kerancuan ilmu dalam pandangan Barat itu, sehingga Al-Attas memulai langkah
awal untuk melakukan islamisasi dengan merumuskan kembali konsep pendidikan
dalam pandangan Islam, konsep yang dimaksud adalah ‘ta’dib’. Pendidikan
dalam pandangan Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri
seseorang yang disebut dengan ta’dib. Alasan yang dikemukakan oleh
Al-Attas ketika memaknai pendidikan Islam dengan ta’dib karena
konsistensi perhatiannya terhadap akurasi dan autentitas dalam memahami ide-ide
dan konsep-konsep Islam. Menurut ilmuan yang serba bisa ini, disebabkan oleh
perubahan yang sangat mendasar dalam penggunaan istilah ta’lim, tarbiyah,
dan ta’dib yang berbeda dari yang selama ini dipakai dan dipahami orang.
Masih banyak yang menyangka jika tarbiyah, ta’lim dan ta’dib satu
makna padahal beda. Ta’lim hanyalah pengajaran biasa yang tidak
memerlukan aspek-aspek pendidikan, sedang tarbiyah lebih umum, dapat
dipakai untuk mengasuh manusia sekaligus binatang, sedang ta’dib lebih
sempurna, karena sudah mencakup pengajaran, pendidikan dan penanaman akhlak
mulia dan lebih khusus untuk manusia. Dengan ta’dib manusia sempurna
(al-insan al-kamil) dapat terwujud sebagaimana sifat-sifat dan tingkah laku
yang ada pada diri Rasulullah melalui ta’dib dari Allah. (Al-Attas, Islam
and Secularism, 1979).
Kata ta’dib setidaknya memiliki empat macam
arti, yaitu: education, pendidikan; discipline, ketertiban; chastisement,
hukuman; dan disciplinary punishment, hukuman demi ketertiban.
Nampaknya, kata ini lebih mengarah kepada perbaikan tingkah laku. Meskipun arti lafaz ta’dib begitu
tinggi nilainya. Barangkali asumsi Alquran tidak menyebut kata ta’dib dengan alasan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam kata ta’dib sudah tercakup dalam kata yang menunjukkan
arti pendidikan yaitu tarbiyah dan ta’lim. Asumsi yang lain yang
mendukungnya bahwa ciri khas kitab suci Alquran selalu bersifat global sehingga
aturannya hanya berkenaan dengan masalah pokok.
Jika konsep ta’dib Al-Attas dipadukan dengan konsep adab
dalam masyarakat Bugis maka akan menumbuh-kembangkan khazanah budaya lokal (local
wisdom) yang bernafaskan Islam, terlepas dari adanya islamisasi dari
pengertian adab bagi masyakat Bugis, yang jelas adab sudah menjadi falsafah
hidup orang Bugis yang sangak kental. Adab dalam masyarakat Bugis Bone dapat
dipadankan dengan ampe-ampe madeceng, menurut masyarakat Bontocani (Bone
Selatan) yang dapat membedakan manusia dengan hewan terletak pada ampe-ampe-nya
“iyamitu nariasengngi tau taue narekko madecengngi ampe-ampena, barulah
manusia itu dikatakan manusia jika memiliki prilaku yang baik,” tapi jika
seseorang tidak memiliki ampe-ampe madeceng maka ia akan dianggap
bersifat seperti binatang, seorang yang sering bikin onar dan biadab disebut “allao
asu”. Intinya pembeda antara manusia tau, dengan binatang olo-kolo
terletak pada adab alias ampe-ampe.
Problem utama yang mendera masyarakat Islam nusantara menurut
analisa Al-Attas adalah ‘lose of adab’ kehilangan adab. Maka tidak salah
dan bukan pula kebetulan para pendiri bangsa ini (founding fathers)
mendudukkan adab sabagai salah satu pilar berdirinya negara yang bernama
Indonesia. Sila kedua dari pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
menjelaskan akan urgensi adab dalam konteks keindonesiaan, dan manusia hanya
dikatakan manusia seutuhnya (insan al-kamil) jika memiliki adab yang
baik, (ampe-ampe madeceng).
Pandangan
Al-Attas tentang ta’dib sangat sinkron dengan TAP MPRS Nomor 2 Tahun
1960 terkait pemberian pelajaran agama
pada semua tingkat pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan
tinggi negeri dan TAP MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa “agama,
pendidikan, dan kebudayaan” adalah unsur mutlak dalam, nation and character
building, lalu diperkuat lagi setelah disahkan dan diberlakukan UUD RI
Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional yang membuka kesempatan
luas bagi pendidikan Islam untuk mengembangkan diri. Wallahu a’lam!
Anggota Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia
(MIUMI) dan Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments