Jamaluddin Al-Afgani dan Ide Pembaruan

(Maulana Zafar Ali Khan)
Antara tahun 1500 dan 1800 Masehi, orang Eropa barat berlayar ke
hampir seluruh dunia dan menjajah hampir semuanya. Di beberapa negeri mereka
bahkan mengambil alih kepemilikan, menggantikan sepenuhnya penduduk asli: Amerika
dan Australia mengalami nasib ini, dan berakhir nyaris sebagai perluasan Eropa.
Di
wilayah-wilayah lain mereka membiarkan penduduk aslinya tetap di tempat tapi
bergerak di atas mereka sebagai elite penguasa yang mengendalikan semua sumber
daya terpenting. Beberapa atau –mayoritas- penduduk asli menjadi pelayan, jongos,
dan budak, sementara sisanya terus hidup dalam kenistaan dan keterbelakangan.[2]
Di antara
penyebabnya adalah, keberhasilan Eropa –yang diwakili Prancis- dalam revolusi
industri yang telah melahirkan pencerahan dalam segala bidang, renaissance[3].
Ini semua bermula dari pengembangan ilmu pengetahuan berbasis terapan yang
selanjutnya melahirkan teknologi yang terus berkembang pesat. Sementara itu, di
belahan bumi lainnya, bagian timur yang didominasi oleh negara-negara Islam
sibuk dalam perebutan kekuasaan yang berkepanjangan, di samping terlena dan
terbuai oleh kegemilangan masa lalu. Saat itulah bangsa Eropa datang mencaplok
negara-negara Islam satu per satu dengan mudahnya, selanjutnya mereka pun
bertekuk lutut.
Penjajahan ini,
telah melahirkan benturan-benturan antara umat Islam di belahan timur dan
kekuatan Eropa kristen dari belahan barat. Benturan ini kian nampak pada abad
ke-19. Di banyak wilayah Islam, seperti benua Afrika, Timur Tengah, India, dan
Asia Tenggara. Benturan-benturan itu telah melahirkan gagasan yang disebut
“pembaruan”[4]
yang mencakup segala bidang, baik agama, budaya, sosial, dan politik tentunya.[5]
Timbulnya
gerakan-gerakan pembaruan tentu saja didasari beberapa faktor, di antaranya
adalah kemunduran dan kerapuhan umat Islam yang disebabkan oleh masalah-masalah
internal; intervensi barat terhadap kekuatan politik wilayah dunia Islam, dan
berakhir dengan kolonialisme; dan keunggulan barat dalam ilmu teknologi dan
organisasi pemerintahan.[6]
Gagasan
pembaruan dalam ranah politik yang pertama kali muncul adalah Pan-Islamisme
(persatuan dunia Islam) yang pertama kali dipopulerkan oleh tokoh dan pemikir
terkenal, Jamaluddin Al-Afghani.[7]
Dialah yang pertama menyadari sepenuhnya akan dominasi barat dan bahayanya.
Oleh karena itu dia mengabadikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan
hal itu, dan melakukan segala upaya untuk pertahanan.[8]
Berangkat dari
latar belakang pemikiran di atas maka, penulis mencoba membuat rumusan berupa
beberap pertanyaan: Siapakah Jamaluddin
al Afgani?
Kemana sajakah
Beliau Mengembara? Bagaimanakah Ide-ide pembaharuannya?
Riwayat
Singkat
Pada abad ke-19 sebuah ledakan vulkanik terdahsyat melanda beberapa
dunia Islam; dialah Sang Pembaru, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Sang Pembaru Islam
yang dominan ini dipercayai oleh orang Afghan lahir di Afhganistan pada tahun
1836, di sebuah tempat sekitar 50 mil sebelah timur Kabul, di sebuah kota
bernama Asadabat, ibukota provinsi Kunar. Keluarganya terhubung dengan klan
penguasa Afghanistan melalui perkawinan, tetapi melakukan sesuatu yang
menyinggung kerajaan dan harus buru-buru pindah ke Iran ketika Jamaluddin masih
kecil.
Uniknya.
Keluarga yang terasing ini menetap dekat kota Iran yang juga bernama Asadabad,
sehingga menimbulkan sengketa panjang tentang di mana Jamaluddin Al-Afghani di
lahirkan, dan dari negara mana ia berasal, Afghanistan ataukah Iran, yang bisa
mengklain sebagai putra asalnya. Orang Afghan mengemukakan bahwa dia selalu
menyebut dirinya “Jamaluddin Al-Afghani” yang berarti “Jamaluddin ‘orang’
Afghan” dan atas dasar ini mereka menganggap masalah kelahiran dan asal
muasalnya telah final. Lain halnya dengan sejarawan Iran, dia Jamaluddin Al-Afghani,
menyebut dirinya “orang Afghan” hanya kamuflase, untuk menyembunyikan fakta
bahwa dia orang Iran dan menyinggung bukti dokumenter yang menurut mereka telah
menuntaskan pertanyaan itu secara definitif.
Satu hal yang
pasti, bahwa hari ini, banyak pemerintah muslim melihat kalau Jamaluddin Al-Afghani
sebagai sebuah hadiah yang tak ternilai harganya untuk diperebutkan. Ironis
memang, betapa tidak, Sang Pembaru ini pada masa hidupnya justru setiap
pemerintah muslim melihat orang ini sebagai hama penyakit pemicu masalah dan
melemparkannya ke luar. Kita aka mengetahui, bagaimana hal itu bisa terjadi.
Terlepas dari
mana tempat dia ‘mungkin’ dibesarkan, namun tidak ada perselisihan bahwa ia
berhijrah ke India pada umur delapan belas tahun.[9]
Sentimen anti Inggris sedang memuncak di India saat itu, dan Jamaluddin Al-Afghani
telah bertemu beberapa muslim untuk menyusun siasat anti Inggris. Saat itu dia
kebetulan berada di Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima saat pemberontakan
Besar India pecah.[10]
Tetapi dia kembali pada waktunya untuk menyaksikan pembalasan Inggris yang amat
mengejutkan kaum muslim timur. Selama perjalanan pertama ke India itulah bisa
jadi Jamaluddin mengembangkan kebencian seumur hidup terhadap Inggris dan antipati
yang abadi terhadap kolonialisme Eropa pada umumnya.
Sang
Petualang
Setelah
menyaksikan pembalasan Inggris terhadap rakyat India yang menentang
kolonialisme, maka Jamaluddin Al-Afghani pun merasa kalau India tidak ramah
lagi padanya, dan dia pun pergi ke ...
Afganistan.
Di negara kelahirannya ini ia mendapat kepercayaan dari raja yang
telah berusaha digulingkan Inggris tapi gagal. Raja membayar Jamaluddin Al-Afghani
untuk mengajar putra sulungnya, Azam. Jamaluddin telah merumuskan gagasan
tentang perlunya reformasi dan modernisasi Islam sebagai cara untuk memulihkan
kekuasaan dan kebanggaan muslim. Dia melihat pekerjaan mengajar dan mendidik
pewaris negara itu sebagai kesempatan untuk membentuk seorang penguasa yang
akan menerapkan visinya. Ia mengajari Pangeran Azam Khan ide-ide reformis dan
melatihnya untuk memimpin Afghanistan menuju zaman modern. Sayangnya, Azam
menggantikan ayahnya hanya sebentar. Salahsatu sepupunya dengan cepat
menggulingkan dia dengan dukungan Inggris. Inggris tergerak untuk menghabisi
Azam karena mereka tidak mau anak didik Jamaluddin Al-Afghani duduk di tahta
Afghanistan. Mereka merasakan apa yang hendak ia lakukan.[11]
Singkat kata, Azam pindah ke Iran, dan meninggal di pengasingannya. Jamaluddin
lantas melarikan diri ke ...
Asia
Kecil. Di negara dua benua inilah Jamaluddin Al-Afghani kembali memulai
menyampaikan pidatonya di Universitas Konstantinopel. Dia menyatakan bahwa umat
Islam perlu belajar tentang semua ilmu pengetahuan modern, namun pada saat yang
sama mendidik anak-anak mereka secara lebih tegas dalam nilai-nilai, tradisi,
dan sejarah Islam. Modernisasi katanya, tidak harus berarti westernisasi:
muslim bisa mencari[12]
dia pun pindah ke ...
Mesir.
Di Negeri Piramid ini, ia mulai mengajar kelas-kelas dan memberikan
kuliah di universitas Al Azhar yang terkenal itu.[13]
Dia terus menjelaskan visinya tentang modernisasi Islam.[14]
Pada priode ini dia juga menulis sejarah Afghanistan –bisa jadi ini menegaskan
bahwa dirinya berasal dari Afghanistan dan bukan Iran yang bermazhab Syi’ah.
Akan tetapi saat itu Mesir sedang dikuasai oleh dinasti Mehmet Ali yang telah
‘membusuk’ menjadi kelas penguasa zalim yang ber-kongkalikong dengan
kepentingan Inggris dan Prancis, ia mulai mengkritik para koruptor dari pejabat
dan para orang kaya penindas. Dia mengatakan bahwa penguasa negara ini harus
mengadopsi gaya hidup sederhana di tengah-tengah rakyat. Sebagaimana yang telah
dilakukan oleh para pemimpin umat Islam pada generasi awal. Tdak sampai di
situ, ia juga mulai menyerukan demokrasi perlementer, namun sekali lagi dia
tetap bersih keras bahwa demokratisasi bukanlah westernisasi. Dia menemukan sebuah
dasar bagi demokrasi gaya Islam dalam dua konsep Islam; syura’ dan ijma’.
Syura
berarti seperti “dewan penasihat”. Adalah mekanisme yang melaluinya pemimpin
muslim awal meminta saran dan persetujuan dari masyarakat. Syura yang pertama adalah kelompok kecil yang
ditunjuk Khalifah Umar untuk memilih penggantinya. Syura itu harus menampilkan calonnya di hadapan kaum
muslim Madinah dan mendapatkan persetujuan mereka. Masyarakat yang jumlahnya
ribuan itu beserta angggota terkemuka berkumpul di halaman utama mesjid dan
sekitarnya. Bagaimana model itu bisa direalisasikan di negara seperti Mesir
adalah merupakan pertanyaan lain. Dan inilah ide Afghani itu. Ada pun ijma’
berarti “konsensus”. Konsep ini berasal dari ungkapan yang dinisbahkan kepada
Nabi, “Ummatku tidak akan pernah bersepakat pada suatu kesalahan.” Para
ulama menggunakan hadis ini sebagai dalil untuk menyatakan bahwa ketika mereka
semua sepakat tentang suatu hal yang bersifat doktriner hal itu tidak penting
untuk dipertanyakan apalagi diperdebatkan. Singkatnya mereka mengkooptasi ijma’
sehingga konsensus di antara mereka sendiri. Tetapi Jamaluddin Al-Afghani
menafsirkan ulang dua konsep ini dan memperluas aplikasinya. Dari syura
dan ijma’ dia mengemukakan bahwa
dalam Islam, penguasa tidak memiliki legitimasi tanpa dukungan rakyat. Ide-idenya
mengenai demokrasi membuat penguasa (raja) Mesir gugup, dan cercaannya tentang
dekadensi moral kaum kelas atas membuat tersinggung semua orang dengan tingkat
pendapatan tertentu. Pada tahun 1879,[15]
Jamaluddin Al-Afghani diusir dari mesir, yang membuatnya berbalik ke ...
India.
Di negeri Hindustan, India. Gerakan Aligarh yang “liberal”,
didirikan dan dipimpin oleh Sir Sayyid Ahmad, telah berkembang menjadi sebuah
kekuatan yang harus diperhitungkan. Tapi Jamaluddin melihat Sir Sayyid Ahmad
hanyalah sebagai seekor anjing penjilat kecil piaraan Inggris.[16]
Ia menuangkan kata-katanya tersebut dalam satu-satunya buku yang pernah beliau
tulis secara utuh, Bantahan terhadap Kaum Materialis. Akan tetapi,
Inggris menyukai ide-ide Sayyid Ahmad.
Ketika sebuah
pemberontakan pecah di Mesir, pemerintah Inggris menyatakan bahwa Jamaluddin
telah menghasut letusan itu melalui para pengikutnya, mereka ‘orang Inggris’
itu menjebloskannya ke dalam penjara selama beberapa bulan. Tatkala
pemberontakan itu mereda, mereka berbaik hati membebaskan Sang Pembaru, tapi
mengusirnya dari India, dan karenanya, pada 1882 dia pun pergi ke ...
Paris. Ia memulai aktifitasnya dengan menulis berbagai publikasi dalam
bahasa Inggris, Prancis, Arab, dan Urdu. Dalam semua bahasa di atas tidak hanya
sekadar ia kuasainya melainkan dapat ia gunakan secara artikulatif dan fasih
melebihi penuturnya. Dalam artikel-artikelnya dia mengembangkan ide bahwa Islam
adalah inti agama yang rasional dan bahwa Islam telah memelopori revolusi
ilmiah. Di Paris ini, Jamaluddin dan salahseorang anak didik Mesirnya, Muhammad
Abduh memulai sebuah jurnal penting bernama, al Urwah al Wuutsqa (Ikatan
Terkuat).[17]
Sayang, kedua pembaru ini, hanya mampu menerbitkan 18 edisi, sebelum akhirnya
tutup karena terkendala dengan masalah keuangan. Tapi dalam 18 edisi itu,
Jamaluddin telah menancapkan inti dari kredo yang sekarang kita kenal dengan
pan-Islamisme.[18]
Dia menyatakan
bahwa semua yang tampak pelbagai ragam dalam perjuangan antara muslim dan
bangsa Eropa dengan ragam masalah kusus –antara Iran dan Rusia mengenai
Azarbaijan; antara Ustmani dan Rusia mengenai Krimenia; antara Inggris dan
Mesir mengenai pinjaman bank; antara Prancis dan Aljazair mengenai biji-bijian;
antara Inggris, dan orang-orang India, dan Afganistan mengenai perbatas dan
seterusnya. Sebenarnya itu semua bukanlah peperangan yang berbeda-beda dalam
masalah yang berbeda-beda, melainkan satu masalas besar, yaitu benturan dua
komunitas dan entitas besar; Islam dan
Barat. Dialah manusia pertama yang muncul ke publik untuk mengangkat masalah
ini, secara rasional dan ilmiah. Sebagai kategori historis yang berdampingan
dan tentu saja bertentangan. Suatu waktu dalam priode ini Jamaluddin juga
mengunjungi ...
Amerika Srikat. Namun sedikit informasi yang
diketahui tentang sepakterjangnya di sana, namun yang jelas tentu saja dalam
menyebarkan paham pan-Islamisme-nya. Ia keluar masuk di negara itu beberapa
kali dan juga mengunjungi ...
London. Tempat dia berdebat dengan Randolph Churchil. Ayah Winston
Churchill, dan dengan para pemimpin Inggris lainnya tentang kebijakan Inggris
di Mesir. Selanjutnya melakukan perjalanan ke Jerman, serta menghabiskan
beberapa waktu di Saint Petertbug, ibukota Rusia.[19]
Setelah itu ia mengelilingi Eropa dan pindah ke ...
Uzbekistan. Langkah pertama ia lakukan adalah
melakukan penerbitan, pnerjemahan, dan menyebar luaskan al Quran, dan juga
menyediakan literatur Islam lainnya. Dalam jangka masa yang relatif singkat, Islam
mengalami kebangkitan di wilayah itu. Selain itu ia juga kembali menggaungkan
pan-Islamisme. Nega-negara muslim perlu menggunakan persaingan di antara
negara-negara Eropa untuk mendirikan zona independen bagi diri mereka sendiri;
dengan bergabung dengan Rusia melawan kekuatan Inggris, bersama Jerman melawan
kekuatan Rusia; bersama Inggris dan Prancis melawan kekuatan Rusia; dan
seterusnya. Ide-ide ini muncul sebagai inti gerakan “nonblok” global pada abad
ke-20.[20]
Selanjutnya Al-Afghani, pada tahun 1884 ia pindah ke ...
Iran. Tempat ia bekerja mereformasi peradilan. Ini membuatnya berhadapan
langsung oleh para ulama lokal. Menjadikan keadaan menjadi panas, dan dengan
terpaksa membawanya keluar dan kembali ke Asia Tengah dengan buru-buru. Namun
pada tahun 1888, Raja Iran Nasiruddin, mengundangnya kembali ke Iran sebagai
Perdana Menteri. Ia pun kembali ke Iran, tapi bukan sebagai Perdana mentri,
melainkan menjadi Penasihat Khusus special adviser. Raja Nasiruddin
terjebak dalam perebutan kekuasaan dengan para ulama di negerinya, dan ia fikir
“modernisme” Al-Afghani akan menolongnya untuk merebut kekuasaan. Namun
‘alih-alih’ menyerang para ulama, justru ia berbalik menyerang Sang Raja,
Nasiruddin yang memanggilnya. Ia menyerang raja dalam kebijakannya dalam praktik
menjual “konsesi” ekonomi kepada kekuatan kolonialis.
Pidato
Jamaluddin mendorong para demonstran Iran turun ke jalan untuk memprotes Sang
Raja yang tentu saja menyesal pernah menaruh minat pada Sang Reformis itu.
Jamaluddin bahkan berbicara kepada salah satu Ayatullah, ia menyatakan bahwa
konsesi itu tidak Islami. Sang raja hilang kesabarannya, dia mengiring
pasukannya untuk menangkap Sang Pembaru, dan mengantarnya ke perbatasan pada
tahun 1881, dan Jamaluddin pun harus kembali ke ...
Istambul. Di negara ini, ia diberi fasilitas
berupa tanah, rumah, dan gaji oleh pemimpin tertinggi Utsmani, Sultan Hamid.
Sultan berfikir bahwa ide pan-Islamis yang diusung oleh Al-Afghani akan
memberinya semacam deviden politik. Sang Pembaru itu pun memulai aktifitasnya
dengan mengajar, menulis, berpidato, dan ragam kegiatan lainnya.[21]
Intelektual dan aktivis mengalir laksana air untuk datang berguru padanya, dari
segala penjuru, tak kenal territorial. Pembaru besar itu menyatakan kepada
setiap anak didiknya yang lintas sektoral bahwa ijtihad “berfikiran bebas”
adalah prinsip utama dalam Islam; namun menurutnya, ijtihad haruslah selalu
berlandaskan dan berakar pada al Qur’an dan Hadis.[22]
Setiap umat Islam bebas menginterpretasi
menurut kadar pemahamannya dalam dua sumber dengan catatan jika ia
memiliki kapasitas. Kesalahan besar umat Islam, menurutnya lagi adalah, karena
umat ini berpaling dari ilmu pengetahuan barat sembari merangkul pendidikan dan
adat-istiadat barat. Yang seharusnya adalah mereka harus merangkul sains barat tetapi
menutup gerbang mereka bagi adat istiadat dan sistem pendidikan barat.
Ide-ide
Pembaruan Al-Afghani
Pemikiran Al-Afghani bertolak dari keyakinan bahwa Islam adalah
agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan kondisi. Kalau ternyata memang
ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dengan kondisi dan tempat,
maka itu dapat kita peroleh jawabannya dengan cara reinterpretasi ajaran-ajaran
Islam yang terkandung dalam al Quran dan hadis. Untuk sebuah reinterpretasi
tentunya dibutuhkan sebuah ijtihad, dan pintu ijtihad tetap terbuka lebar.[23]
Analisis
Afghani lebih rinci mengenai penyebab kemunduran pada dunia Islam, dapat
dilihat dalam jurnalnya “al Urwah al Wustsqa” yang juga dikutif oleh
Harun Nasution. Sebab-sebab kemunduran umat Islam, menurutnya bukanlah
disebabkan karena Islam sebagai agama. Akan tetapi menurut Afghani ada beberapa
faktor melatarbelakangi kemunduran tersebut, di antaranya: Umat Islam
telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan telah dipengaruhi
oleh sifat statis, kuat pada taklid, bersikap pasrah fataslitis, telah
meninggalkan akhlak yang mulia dan acuh terhadap ilmu pengetahuan; Kelemahan dalam
segala sektor, dan kurang usaha dalam mencerdaskan umat, baik untuk menekuni
dasar-dasar agama maupun dalam upaya transformasi ilmu pengetahuan di antara
mereka;
Pengaruh paham
Jabariyah dan salah interpretasi tentang makna qadha dan qadhar,
sehingga memalingkan mereka dari usaha dan kerja keras;[24]
Salah
pengertian dalam maksud hadis yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami
kemunduran akhir zaman, kesalahan ini membuat umat Islam tidak berusaha
memperbaiki nasib mereka;
Lemahnya
ukhuwwah, atau persaudaraan Islam, yang tidak hanya melanda masyarakat awwam,
tapi juga menimpa para ulama. Ulama Turki tidak mengenal lagi ulama Hijaz, dan
ulama India tidak ada hubungan dengan ulama Afganistan, begitulah seterusnya;
dan Sebab-sebab
kemunduran yang bersifat politis ialah perpecahan yang terdapat di kalangan
umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada
orang-orang yang tidak bisa dipercaya, mengabaikan masalah pertahanan militer
dan menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang yang tidak kompeten dan intervensi asing.
Kondisi umat
yang digambarkan oleh Sang Pembaru merupakan penyakit yang membawa umat Islam
pada keadaan lemah dan statis. Gampang diadu domba, tidak ada kekuatan dan
harga diri. Oleh itulah Afghani ingin agar umat ini keluar dari krangkeng
keterbelakangan. Ia menawarkan hal lain dan berbeda agar umat ini mencapai izzah-nya.
Jika pembaru-pembaru lain berpendapat bahwa kemajuan hanya bisa dicapai jika
berkolaborasi dengan Barat, maka ia telah menganggap bahwa barat bukanlah
patner yang tepat untuk itu. Barat adalah musuh yang harus dilawan terutama
Inggris. Menurut Afghani, Islam dalam bentuk aslinya telah mengandung semua
yang diperlukan untuk pembaruan. Oleh itu hal yang harus diadaptasi dari barat
oleh dunia Islam hanyalah metode-metode dan kemajuan-kemajuan materinya saja.
Untuk membawa
umat ke arah perubahan yang berimplikasi pada kemajuan umat, maka Al-Afghani
menawarkan beberapa alternatif, di antaranya:
Kembali kepada
inti ajaran Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Hadis. Islam adalah agama
yang syumul “komprehensif”, tidak hanya membahas mengenai ibadah, dan
hukum semata, tetapi juga meliputi pemerintahan dan sosial. Kesucian jiwa, dan
budi pekerti haruslah dihidupkan, agar rela dan setia berkorban untuk
kemaslahatan umat;[25]
Membuka lebar
pintu ijtihad. Dalam hal ini umat Islam sedang mengalami perkembangan zaman
yang sangat signifikan. Untuk itu pintu ijtihad harus terus terbuka untuk
menjawab tantangan zaman yang terus menerpa umat. Karena tidak sedikit
masalah-masalah yang muncul belakangan justru tidak kita ketemukan dalam dua
sumber utama umat Islam. Solusinya adalah ijtihad;[26]
Corak
pemerintahan dengan sistem teokrasi harus direduksi dengan demokrasi.[27]
Seoarang kepala negara harus mengadakan syura dengan para pemimpin dan tokoh-tokoh
masyarakat yang telah berpengalaman. Menurut Al-Afghani, Islam sangat
menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada
undang-undang dasar. Hal itu karena beliau sangat menghendaki agar umat ini
terlepas dari kolonialisme;
Persatuan umat
kembali digalakkan. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang eratlah umat
akan kembali menemukan jatidiri dan kemajuannya. Dalam pandangannya, kekuatan
dan kelanjutan hidup umat Islam sangat tergantung kepada kekuatan dan solidaritas
umat Islam. Persatuan dan solidaritas adalah sendi dan nadi umat ini; Tidak ada kata
diskriminatif dalam kemampuan intelektual; tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita karena keduanya sama-sama memiliki kemampuan akal untuk berfikir. Yang
membedakan hanyalah karena pria memiliki kebebasan untuk mengikutip pendidikan
sedang wanita di rumah mendidik anak sebagai generasi pelanjut. Dan tidak ada
halangan bagi wanita bekerja jika kondisi memang menuntut untuk itu. Al-Afghani
menghendaki agar wanita turut andil dalam menentukan terwujudnya kemajuan umat.
Dalam setiap
pidato dan tulisannya, Al-Afghani sering menyatakan bahwa tidak ada satu pun
dalam prinsip-prinsip dasar Islam yang tidak cocok dan bertentangan dengan akal
dan ilmu pengetahuan. Ia menggugah kaum muslimin untuk mengembangkan disiplin
filosofis dan ilmiah dengan memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan
pembaruan pendidikan secara umum. Kecuali itu, Afghani menyadari sepenuhnya
bahwa keberhasilan Eropa adalah berkat ilmu pengetahuan. Dan di situlah letak
keterbelakangan umat, mereka mengabaikan ilmu pengetahuan. Dia menggugah kaum
muslimin agar belajar dari pengalaman Eropa. Afghani menyatakan bahwa jika ilmu
terlepas dari jangkauan manusia, tak seorang pun mampu berada di dunia ini. Ia
juga mengkritik para ulama yang mendikotomi ilmu pengetahuan menjadi ilmu Islam
dan Eropa. Hingga ada sebagian ulama yang tidak memedulikan ilmu Eropa, dan
melarang mengajarkannya. Menurut Afghani ilmu itu tidak ada hubungannya dengan
bangsa apa pun.[28]
Ada pun
pembahasan pokoknya yang berhubungan dengan pembaruan di bidang politik adalah:
Tentang
pergantian sistem politik yang otokratis absolut kepada pemerintahan yang demokratis; Tentang Pan-Islamisme
atau persatuan Islam. Afghani menyatakan, tidak hanya kerjasama
pemimpin-pemimpin keagamaan atau politik. Menurutnya, persatuan Islam adalah
adanya solidaritas umat, yakni rasa tanggungjawab kolektif kaum muslimin dalam
menghadapi dominasi Barat dan adanya keinginan kaum muslimin untuk hidup dalam
satu naungan agama dan bekerja secara bersama untuk kemakmuran.
Penutup
Ibarat Hang Tuah dalam kisah patriotik di bumi Nusantara, seumpama
itulah Jamaluddin Al-Afgahni, lompat dari satu negara ke lain negara. Sungguh
menarik memang untuk diingat bahwa tokoh yang kita bicarakan ini tidak memiliki
gelar akademis apalagi jabatan politis, dan kepemimpinan secara de jure.
Ya, dia tidak punya tentara dan posisi resmi dalam pemerintahan, tidak pernah
pula mendirikan partai politik atau pemimpin gerakan tertentu. Lebih jauh lagi,
ia tidak meninggalakn banyak tulisan, bahkan satu buku saja yang memuat intisari
filsafat politiknya secara koheran pun tidak ada. Tidak punya Das Capital
Islami. Pria keras kepala dan tidak mau diatur ini murni seorang pengusik
fikiran, pengacau, dan bahkan pemberontak –dalam skala positif. Itulah dia.
Namun, dia
mempunyai dampak yang sangat besar di dunia muslim. Melalui para anak didiknya,
Jamaluddin dalam taraf tertentu ibarat sang nabi. Intensitas karismatiknya
senantiasa memercikkan nyala api kemana pun ia pergi. Anak didiknya, Muhammad
Abduh menjadi Rektor Al Azhar sekaligus ulama top Mesir. Ia menulis buku,
mengelaborasi dan mensistematisasi ide-ide modernis Sang Guru. Pembaru yang
akhir hidupnya dalam tahanan rumah ini seakan telah menurunka credo kepada pengikutnya.
Dan pengikutnya yang berasal dari lintas territorial ini juga memiliki murid
yang tidak terhitung jumlahnya. Selanjutnya melahirkan gerakan-gerakan
pembaruan ala Sang Guru. Wallahu A’lam!
Oleh, Ilham bin Kadir, S.Sos.I**
Bibliografi
Altalib, Hisam. Panduan Latihan
Bgai Gerakan Islam, terj. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1994.
Ansary,
Tamim. Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, terj. Jakarta:
Penerbit Zaman, 2009.
Baqir,
Haidar, & Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan, Jakarta: Mizan, 1998.
Esposito, John L. (ed.) The
Oxford History of Islam, New York: Ixford University Press, 1999.
----------.
Islam The Straight Path, terj. New York: Osford University Press 1988.
Filali , Abdou & Ansary. Pembaruan
Islam; Dari Mana dan Hendak ke Mana, terj.
Cet. I; Bandung: Mizan, 2009.
Hourani,
Albert. Arabic Thought in The Libral
Age, 1798-1939, London: Oxfort University Press 1962.
John
J. Donohue & John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, terj.,
Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Karim,
M. Abdul. Karim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007.
Mortimer,
Edward. Faith and Power, terj. London: Faber and Faber Ltd., 1982.
Munawwir,
Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985.
Muthahhari,
Murthada. Gerakan Islam Abad XX, terj. Jakarta: Mizan, 1964.
Nasution
,Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta:
Pressa, 1986.
----------.
Pembaruan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.
Rahman,
Fazlur. Islam, terj. Bandung: Mizan, 984.
Roy,
Oliver. Gagalnya Islam Politik, terj. Jakarta: Serambi, 1996.
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1991.
Syalabi,
Ahmad. Imperium Turki Usmani, terj. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Endnotes
*Makalah ini
adalah tugas individu mata kuliah “Perkembangan Modern Dunia Islam I” Program
Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ang. XXVIII/Kelas MPI-3, dengan
Dosen Pembimbing: Dr. H. M. Arfah Shidiq, MA., & Dr. H. M. Arief Halim, MA.
**Berasal dari
Bone; Alumni Perdana Pontren Darul Huffadz Tuju-tuju; Alumni Terbaik Ang. 2005.
Araic and Islamic College Al-Ihsaniyah Penang Malaysia; Jurnalis freelance;
Penulis Buku “Jejak Dakwah KH. Lanre Said” (2009); Novel “Mimpi Indah Sang
Kiai” (2010), dll.
[1] Imam Munawwir,
Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), h. 491.
[2] Murthada
Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, terj. (Jakarta, 1964), h. 41.
[3] M. Abdul
Karim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), h. 357
[4] Abdou Filali & Ansary, Pembaruan Islam; Dari Mana dan Hendak
ke Mana, terj. ( Cet. I; Bandung: Mizan, 2009), h. 264.
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 184
[6] Lihat juga, Munawi
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1991), h. 115.
[7] Oliver Roy,
Gagalnya Islam Politik, terj. (Jakarta: Serambi, 1996), h. 39.
[8] Ahmad Syalabi,
Imperium Turki Usmani, terj. (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 107.
[9] Harun
nasution, Pembaruan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 51.
[10] Edward
Mortimer, Faith and Power, terj. (London: Faber and Faber Ltd., 1982),
h. 109.
[11] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad; Sejarah
Dunia Versi Islam, terj. (Jakarta: Penerbit Zaman, 2009), h. 421.
[12] Ibid.,
h. 422.
[13] Albert
Hourani, Arabic Thought in The Libral Age, 1798-1939, (London: Oxfort
University Press 1962), h. 112.
[14] Harun
Nasution, op cit. h. 52.
[15] Tamim Ansary, op
cit. 243.
[16] Loc cit.
[17] Imam Munawwir,
op cit. h. 481.
[18] John L.
Esposito (ed.) The Oxford History of Islam, (New York: Ixford University
Press, 1999), h. 547.
[19] Ibid.
h. 482.
[20] Tamim Ansary, op
cit. h. 426.
[21] Imam Munawwir,
op cit. 487.
[22] Ibid.
h. 427.
[23] Fazlur Rahman.
Islam, terj. (Bandung, 1984), h. 315.
[24] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta:
Pressa, 1986), h. 109.
[25] John L.
Esposito. Islam The Straight Path, terj. (New York: Osford University
Press 1988), h. 130.
[26] Haidar Baqir
dan Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan, (Jakarta: Mizan, 1998), h. 113.
[27] Hisam Altalib,
Panduan Latihan Bgai Gerakan Islam, terj. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, 1994), h. 56.
[28] John J.
Donohue & John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, terj., (Jakarta:
Rajawali Press, 1993), h. 20.
Comments