Diaspora Rohingya

Para
sejarawan juga sepakat jika komunitas muslim keturunan Arab Rohingya telah
terbentuk sejak abad ke-8, berdiam serta membuat koloni di Arakan. Namun saat
ini diperkirakan sebagian besar koloni Arab tersebut telah berpindah tempat
tinggal ke Chittagong, Bangladesh. Rohingya, selain menunjuk jenis etnis juga
dimaksud salah satu tempat berkembang-biak para kaum muslim di Arakan.
Namun
diperkirakan bahwa penduduk muslim Rohingya menjadi ramai dan mendominasi
Arakan pada abad ke-15. Saat itu Raja Narameikhla (1404-1434 M) terusir oleh
invasi kerajaan Burma sehingga melarikan diri ke Gaur, di bawah pemerintahan
Islam, atau ibu kota Kesultanan Bengal. Raja Buddha itu diterima dengan baik
oleh penguasa muslim Bengal, bahkan ia diberi jabatan sebagai perwira tinggi
tentara selama 24 tahun oleh Sultan Ahmed Syah. Akhirnya pada tahun 1430 sang
raja Buddha itu kembali bertahta di Arakan setelah memenangkan pertarungan
sengit melawan kerajaan Burma dengan bantuan bala tentara Bengal yang dikirim
khusus oleh Sultan Muhammad Shah Jalaluddin.
Sebagai
bentuk konpensasi, sejak kembali menduduki tahta kerajaannya, Narameikhla
memberikan upeti kepada Kesultanan Bengal. Lebih jauh lagi, sang raja tidak
sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol Islam dalam pemerintahaannya,
termasuk koin mata uang kerajaan yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Praktik
mencontoh kerajaan Mughan dan Bengal ini terus berlangsung hingga paruh pertama
abad ke-17. Hal ini mereka lakukan karena tak hanya ingin dianggap sebagai Raja
Buddha namun juga milik para kaum muslimin yang telah berjasa mengembalikan
sang raja bertahta, pada saat yang sama kaum muslimin kian bertambah dan
direkrut masuk ke arena pemerintahan sebagai tenaga ahli administrasi kerajaan,
selain sebagai prajurit tentunya. Priode ini adalah masa pertumbuhan muslim
Rohingya secara subur.
Puncaknya
ketika Raja Narameikhla memindahkan pusat pemerintatahnnya dari Longyyet ke
Mrohaung dakat perbatasan Bengal, ibu kota ini terbentang di sepanjang Sungai
Lemro dan menjadi pusat utama kegiatan perdagangan. Pertumbuhan penduduk muslim
juga kian pesat dan menjadi penggerak utama roda perekonomian terutama yang
berdiam di sepanjang Sungai Lemro, Mingen, Kaladan, Mayu dan Naf. Chittagon
yang menjadi pelabuhan laut terbesar di Teluk Bengala berada di bawa dominasi
Kerajaan Arakan yang toleran. Pada abad ke-18, kekuasaan politik Arakan di
bawah dominasi kaum muslim etnis Rohingya seiring jumlah mereka yang terus
meningkat. Kelompok muslim bahu membahu dengan penganut Buddha dalam
mempertahankan daerah kekuasaan mereka yang terus-menerus diintai oleh Kerajaan
Burma. Mereka telah bersahabat dan hidup bersama dengan damai berabad-abad
lamanya.
Bencana
Teori
Bapak Sosiologi, Ibnu Khaldun (1332-1395 M) benar-benar berlaku di sini. Saat
satu komunitas hidup damai dan sentosa, mereka selalu merasa tenang dan
menikmati hidup dengan penuh kenyamanan hingga pada titik tertentu mereka
terlena. Komunitas yang bernama negara itu, terlena dengan hasil pertanian yang
melimpah, tangkapan laut yang memadai, dan perdagangan yang menguntungkan.
Mereka tidak sadar jika ada bangsa lain di sana yang sedang menyusun kekuatan
untuk menaklukkan mereka, lalu memiliki apa yang mereka peroleh selama ini.
Begitulah
nasib muslim etnis Rohingya, saat berada pada puncak kegemilangannya, kerajaan
Burma menyusun kekuatan lalu menyerang mereka, invasi besar-besaran ini terjadi
pada tahun 1785. Sekitar 35 ribu warga Arakan dan etnis Rohingya mengungsi ke
Chittagong yang telah dikuasai Inggris, ribuan lainnya dieksekusi oleh penguasa
Burma, dan sebagian lainnya dideportasi ke Miyanmar sehingga Arakan menjadi
kota mati ketika Inggris masuk ke wilayah itu pada abad ke-19.
Untuk
menghidupkan pertanian, Inggris membawa orang-orang muslim Bengal (Bangladesh)
secara massal ke Arakan demi menghidupkan
kembali pertanian yang sangat subur di wilayah itu. Migrasi warga
India-Bangladesh ini ke Miyanmar terus berlanjut hingga akhirnya mereka menjadi
mayoritas di Arakan. Pada saat yang sama, Inggris sebagai kolonial
menganak-tirikan etnis Burma hingga pecah Perang Dunia II yang memaksa Inggris
keluar dari Miyanmar.
Setelah
Inggris angkat kaki dari Miyanmar yang didominasi etnis Burma yang pernah
disisihkan oleh Inggris, akhirnya mereka bangkit dan melakukan penghapusan
etnis (genosida) di wilayah Arakan.
Tidak
stabilnya roda kekuasaan di Miyanmar juga turut berpengaruh terhadap nasib
muslim Rohingya, lain pemimpin lain pula kebijakan. U Soe Shwe Thaike yang
menjadi presiden pertama, mengakui jika etnis muslim Rohingya adalah penduduk
asli Miyanmar. U Soe turun dan diganti oleh Jenderal Ne Win, sang jenderal
memerintahkan bawahannya untuk mengusir, menyerang dan mengeksekusi etnis
Rohingya. Adapun yang tetap ngotot bertahan, mereka terus-menerus
diteror, tak diberi hak bersekolah, berobat, dan beribadah. Dari sinilah bermula
diaspora Rohingya, sebuah bangsa yang hidup bercerai-berai tanpa negara. Tragedi
operasi Raja Naga adalah paling bengis dalam sejarah. Ini berlangsung pada
1978-1979.
Aksi
kekerasan teranyar adalah yang mencuat pada bulan Juni-Juli 2012. Puluhan
kampung dibumi-hanguskan, para penduduknya dipaksa mengungsi. Bahkan banyak
masjid yang sedang dipakai beribadah dibakar bersama dengan jamaahnya. Human
Right Wach (HRW) menyimpulkan jika Junta Militer Miyanmar berlaku bengis terhadap
muslim Rohingya, laporan senada juga dilontarkan oleh Lembaga Pengungsi PBB
(UNHCR).
Banyak
faktor disinyalir menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap muslim Rohingya,
mulai dari alasan suku dan agama hingga banyaknya kekayaan sumber daya alam
yang ditempati kaum muslim Rohingya, seperti gas bumi, minyak, dan kayu.
Kini,
muslim Rohingya selalu mendambakan masa-masa pemerintahan Raja Narameikhla yang
toleran. Mengembalikan mereka ke suasana itu jelas mustahil, namun setidaknya
harus ada upaya-upaya kongkrit dari para pemimpin-pemimpin dunia, khususnya negara-negara
Islam untuk tampil membela siapa pun yang tertindas, muslim atau bukan. Tidak
dipungkiri jika kejahatan di atas memiliki aroma SARA yang kental, namun yang pasti kita semua dituntut untuk melawan
segala bentuk penindasan yang belaku di muka bumi ini.
Beberapa
di antaranya telah melakukan action yang nyata, Ketua Umum Palang Merah
Indonesia, Jusuf Kalla dengan tegas menyatakan. “Saya berada di belakang muslim
Rohingya!” hal senada juga ditegaskan oleh Perdama Menteri Turki, Recep Tayyip
Erdogan, “Jika Miyanmar tidak mau berhenti menyiksa muslim Rohingya, maka kami
akan membalas dengan lebih kejam.” Bagaimana dengan Presiden kita? Apakah benar
di sana tidak terjadi kejahatan kemanusiaan sebagaiamana SBY dan DPR-RI yakini?
Wallahu a’lam!
Ilham Kadir,
Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar & Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments