Bijak Berdakwah
Secara
terminologi dakwah berasal dari bahasa arab “da’a-yad’u-da’wah” yang kata asalnya terangkai dari tiga huruf asal,
yaitu dal, ‘ayn, dan waw. Dari huruf asal ini, terbentuk beberapa
kata dengan ragam makna seperti: memanggil, mengundang, minta tolong, meminta,
memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan,
mendoakan, menangisi, dan meratapi.
Menariknya,
walaupun ‘da’wah’ dari segi kosa katanya berbentuk ism mshdar (kata
benda) namun dalam pengertiannya, mengandung nilai dinamika, yakni ajakan,
seruan, dst. Makna tersebut mengandung unsur usaha atau dinamis. Terlebih jika merujuk
kepada Alquran sebagai masdar al-da‘wah (sumber dakwah) hampir semua
yang ada kaitannya dengan dakwah diekspresikan dengan kata kerja. Artinya,
dakwah juga bermakna proses penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan,
seruan, dan undangan, untuk mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan
untuk mendorong seseorang supaya melakukan cita-cita tertentu.
Para ahli berbeda pendapat tentang makna dan definisi dakwah, diantaranya adalah: (1) Shaykh ‘Ali Mahfuz, menyatakan bahwa dakwah adalah, ”Sebagai upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat makruf, dan mencegah perbuatan munkar supaya mereka mendapat kebahagian di dunia dan akhirat”; (2) Ahmad Ghalwush, menyatakan bahwa dakwah adalah, “Menyampaikan pesan Islam kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan metode-metode dan media-media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan dakwah (khalayak dakwah)”; (3) Sayyid Mutawakkil, menyatakan bahwa dakwah adalah, ”Mengorganisasikan kehidupan manusia dalam menjalankan kebaikan, menunjukkannya ke jalan yang benar dengan menegakkan norma sosial budaya dan menghindarkannya dari penyakit sosial”; (4) Al-Murshid, menyatakan bahwa dakwah adalah, ”Sistem dalam menegakkan penjelasan kebenaran, kebaikan, petunjuk ajaran,memerintahkan perbuatan makruf, mengungkap media-media kebatilan, dan metodenya dengan berbagai macam pendekatan, metode dan media dakwah. (5) Dakwah yang menekankan kepada pengamalan aspek pesan dakwah dikemukakan oleh Ibn Taymiyyah rahimahullah, dan pesan dakwah yang terkandung dalam perspektif ini adalah, mengimani Allah; mengimani segala ajaran yang dibawa oleh semua utusan Allah; menegakkan dan mengikrarkan dua kalimat syahadat; menegakkan salat; mengeluarkan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan; menunaikan ibadah haji; mengimani malaikat, dan menyerukan agar hamba Allah hanya beribadah kepada-Nya seakan-akan melihat-Nya, dan (6) Zakaria menyatakan bahwa dakwah adalah , ”Aktivitas para ulama dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama Islam dalam memberi pengajaran kepada orang banyak (khalayak umum) hal-hal yang berkenaan dengan urusan-urusan agama dan keduniaannya seseuai dengan realitas dan kemampuannya”.
Adapun
syarat akan terlaksasananya proses dakwah, maka setidaknya ada tiga unsur
utama, yaitu da’i (yang mengajak), mad’u (yang diajak, audience),
dan materi dakwah (Alquran dan hadis). Tulisan ini hanya akan fokus menyoroti
keutamaan dan kiat-kiat seorang dai dalam berdakwah agar dapat meraih
kesuksesan.
Rasulullah
memberikan analogi yang begitu indah berhubungan dengan posisi seorang juru
dakwah terhadap masyarakat luas. Dengan sederhana namun menggugah, beliau
memberi gambaran dari dampak yang ditimbulkan oleh para juru dakwah yang
menunaikan tugasnya dengan baik, atau sebaliknya (gagal). Sebagaimana yang
diriwayatkan dari Asy-Sya’bi bersumber dari Nu’man bin Basyir ra, bahwa ia
telah mendengar Rasulullah SAW mengibaratkan sekelompok orang naik kapal, ada
yang tinggal di bagian atas, tengah, dan tingkat bawah. Salah seorang dari
mereka ingin mendapatkan air dengan membocorkan kapal, ada yang membiarkan saja
melakukan hal ‘tolol’ tersebut karena tak mau tau urusan orang lain, namun ada
pula yang melarang sambil berkata, “kita harus mencegahnya, jika tidak, kita
semua termasuk ia sendiri akan tenggelam”. Orang yang terakhir itulah umpama
juru dakwah. Jika penumpang tersebut berhasil digagalkan aksinya dengan memberi
pengertian yang logis baik pada dirinya maupun penumpang lain, maka sang dai
telah berhasil melakukan tugasnya, namun jika ia gagal, maka musibah akan
menimpa kapal dan seluruh penumpangnya.
Sebagai
tamsil dalam berdakwah, dari sebuah hadis bersumber dari Abu Umamah ra, bahwa
seorang pemuda datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Wahai Nabi Allah,
izinkanlah saya berzina.” Para sahabat yang mendengarnya berteriak. Tetapi
Rasulullah berbuat sebaliknya, malah menyuru para sahabat untuk membawa pemuda
itu kepadanya. ‘Kemarilah!” tutur Nabi pada pemuda itu. Setelah pemuda itu
duduk di samping Nabi, beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana menurut kamu jika
perbuatan [zina] itu dilakukan kepada ibumu?” si pemuda menjawab, “Demi Allah,
aku tidak mau!” Nabi lalu bertanya kembali, “Bagaimana jika perbuatan itu dilakukan
terhadap putrimu, saudara perempuanmu, atau bibimu?” “Demi Allah aku tidak
rela,” jawab pemuda itu dengan tegas. Mendengar jawaban itu, Rasulullah
bertutur, “Orang-orang juga sama, tidak ingin putri, saudara perempuan, dan
bibinya dizinahi!”, lalu Nabi memegang dada pemuda itu dan mendoakan, “Ya
Allah, sucikan hatinya, ampuni dosanya, dan peliharalah kemaluannya!”
Di
lain waktu Rasulullah mengutus Hathib bin Balta’ah sebagai juru dakwah
sekaligus diplomat untuk memberikan surat kepada raja Mesir yang beragama Nasrani,
namanya Muqauqis. Surat itu berisi seruan kepada Islam. Setelah tiba di Mesir,
Hathib menyerahkan surat itu kepada Muqauqis. Sang raja lalu membuka dan
membacanya. Tak lama kemudian dia bertanya kepada sang utusan, “Kalau betul dia
seorang Nabi, mengapa ia tidak mendoakan saja orang-orang yang mengingkarinya
dan mengusir dari negerinya (Makkah) itu, supaya dibinasakan saja?”
Mendengar
pertanyaan itu, Hathib menjawab. “Kalau demikian, mengapa Nabi Isa juga tidak
mendoakan saja kepada Allah, supaya membinasakan kaummnya, padahal mereka sudah
menangkapnya untuk membunuhnya?” Mendengar jawaban Hathib, Muqauqis terpana dan
berkata. “Betul. Tuan adalah seorang hakim [memiliki hikmah] yang datang dari
lingkungan seorang hakim. Sesungguhnya kami menganut suatu agama dan kami tidak melepaskannya, kecuali
ada sesuatu yang lebih baik dari itu.” Jelas Muqauqis.
“Ini
bukan soal menukar agama, akan tetapi kami menyeru tuan kepada agama Islam yang
Allah mencukupkan dengannya, yang lebur di dalamnya agama selainnya. Sesungguhnya
Nabi ini menyeru manusia, maka yang paling keras penentangannya adalah Quraisy,
yang paling memusuhinya adalah Yahudi, dan yang paling dakat adalah kaum
Nasrani [Kristen]. Demi dzat yang umurku di tangan-Nya, apa yang dikabarkan
oleh Musa tentang Isa, tidak berbeda dengan apa yang dikabarkan oleh Isa
tentang Nabi Muhammad. Dan seruan kami kepada tuan supaya percaya kepada
Alquran. Tidak berbeda dari seruan tuan kepada ahli Taurat supaya percaya
kepada kitab injil.” Jelas sang diplomat.
Setiap
nabi –lanjut Hathib—telah sampai kepada satu kaum dan kaum itu adalah umatnya
maka wajib atas mereka menaatinya, dan tuan termasuk orang-orang yang didapati oleh
Nabi itu. Dan bukanlah kami melarang tuan dari agama al-Masih [meminta
mengingkari nabi Isa], akan tetapi kami menyeru tuan berbuat demikian [tetap
mengakui Isa al-Masih sebagai Nabi Allah].
Mendengar
penuturan Hathib, Muqauqis pun menjawab. “Ya, kudapati padanya tanda-tanda
kenabian, yakni dengan mengeluarkan apa yang tersembunyi dan mengabarkan apa
yang rahasia. Aku akan mempertimbangkannya dahulu.” Kemudian surat itu disimpan
dalam sebuah kotak, lalu ia membalasnya dengan kata-kata yang baik dan penuh
hikmat. Surat balasan itu dititipkan kepada Hathib bin Balta’ah beserta
beberapa hadiah untuk Rasulullah SAW, sebagaimana lazimnya yang dilakukan
menurut adat kebiasaan raja-raja zaman itu.
Kisah
di atas menjadi contoh kepada kita untuk mendakwahkan Islam dengan hikmah
(penuh kebijaksanaan). Islam bukanlah racun yang merusak dan mematikan manusia.
Akan tetapi obat penawar yang menyembuhkan penyakit kemaksiatan dan kedurhakaan
menjadi ketaatan dan kepatuhan. Cara bijak dalam berdakwah sebagaimana yang
dipelopori oleh Rasulullah dan sahabatnya di atas masih tetap relevan dan up
to date untuk dijadikan rujukan dan acuan saat ini dan akan datang. Wallahu
a’lam!
Ilham
Kadir, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments