Tawuran, Potret Buram Pendidikan
Buruk rupa
pendidikan bangsa kita kembali menampakkan dirinya, hal itu bisa disaksikan
dari maraknya aksi tawuran antarpelajar yang terjadi akhir-akhir ini. Bermula
dari saling serangnya antara SMA Negeri 6 dan tetangganya, SMA Negeri 70
Jakarta yang berujung pada tewasnya seorang siswa dari SMA Negri 6, Alawy
Yusianto Putra anak periang berusia 15 tahun itu mergang nyawa setelah ditusuk
sebilah pisau tepat di dadanya, peritiwa ini terjadi pada 24 September lalu.
Hanya
berselang dua hari, tepatnya Rabu, 26 September, tawuran kembali pecah, kali
ini SMA Yayasan Karya 66 versus SMK Kartika Zeni di Jalan Minangkabau
Jakarta, satu siswa kembali tercabut nyawanya dengan paksa, Deni Januar berumur
17 tahun bersimbah darah karena disabet celurit pada perut dan pinggannya.
Mengerikan!
Dalam
sebuah jumpa pers di Gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Mendikbud,
Mohammad Nuh meminta maaf soal tawuran itu. “Saya mohon maaf kepada masyarakat,
kenapa masih terjadi tawuran, dan kali ini sampai fatal”.
Sesungguhnya
tawuran kali ini hanyalah salah-satu rentetan peristiwa serupa yang telah
terjadi berulang-ulang, namun tidak adanya antisipasi yang memadai dari pihak
keamanan, plus bobroknya sistem pendidikan moral di negara kita disinyalir
menjadi pemicu utama prilaku tawuran.
"Tercatat
sepanjang 2012, telah terjadi perkelahian pelajar sebanyak sebelas kali. Dari
sebelas kejadian, ada 5 korban jiwa," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya
Komisaris Besar Rikwanto, Kamis (27/9/12) di Mapolda Metro Jaya. Tahun lalu
jumlah korban jiwa sebanyak lima orang. Dari sebelas tawuran pelajar tahun ini,
tiga di antaranya terjadi antarmahasiswa. Ketiganya melibatkan mahasiswa dari
Kampus UPI YAI dan kampus UKI. Kedua kampus itu sama-sama berlokasi di Jalan
Diponegoro, Kelurahan Kenari, Jakarta Pusat.
Harus
diakui jika ada yang salah dalam sistem pendidikan kita, karena kata dan
kegiatan “tawuran” hanya dikenal di Indonesia, yang dipelopori oleh
sekolah-sekolah pemerintah (negeri), dan beberapa sekolah swasta. Ini bertolak
belakang jika dibandingkan dengan sekolah berasrama, terutama pondok-pesantren
yang hingga kini masih menjadi lembaga pendidikan nomor sekian di Indonesia.
Tidak sedikit pondok-pesantren yang telah berjasa melahirkan orang-orang beguna
bagi bangsa dan negara yang hingga kini belum juga mendapat bantuan yang
setimpal.
Para
pengamat mencari penyebab tawuran dari berbagai aspek, namun hemat penulis,
salah-satu apek yang dominan adalah, nihilnya penekanan terhadap siswa akan budaya
belajar yang baik dan benar. Budaya belajar dimaksud adalah kebiasaan mendapat
ilmu dengan bimbingan dari para guru dan orang tua dengan beradab. Saat ini
begitu banyak pelajar dan mahasiswa mengahabiskan waktunya dengan hal-hal yang
tidak berguna, bahkan berbahaya, seperti tawuran dan seks bebas.
Dengan
adanya budaya ilmu yang tinggi, diharapkan para pelajar dan mahasiswa
mengoptimalkan waktunya untuk kepentingan masa depannya yang masih panjang
hingga waktunya tersita pada hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Saat ini
begitu banyak media bisa digunakan untuk belajar, baik melalui kegiatan
diskusi, membaca di perpustakaan, hingga berselancar di dunia maya. Sekali
lagi, para pelajar butuh bimbingan dan pendekatan khusus dari guru dan orang
tua agar mereka terbiasa dengan budaya ilmu. Tentu saja, orang tua dan guru
harus berada di depan menjadi contoh bagi putra-putrinya.
Sejarah
telah menbuktikan bahwa ilmu merupakan faktor utama dalam menentukan maju dan
mundurnya satu bangsa atau bahagia dan sengsaranya seseorang. Makin tinggi
budaya ilmu satu bangsa atau seseorang maka dia akan lebih maju dan begitu pula
sebaliknya. Bahkan bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki tradisi
keilmuan yang tinggi bukan dilihat dari luas daerah dan besar jumlah
penduduknya, sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa pengaruh bangsa Yunani
kono terhadap bangsa-bangsa lain sangat besar dari zaman dahulu hingga saat
ini, bahkan salah seorang pakar sejarah dari Barat bernama Will Durant pernah
berkata, “Setiap peristiwa penting yang terjadi pada hari ini sudah pernah
terjadi di Atena pada zaman dahulu...” (Every issue that agitates the world
today was bruited about in ancient Athens...). Salah satunya adalah
pesta olahraga paling akbar di dunia yang masih ada hingga saat ini,
olimpiade. Bahkan para tokoh-tokoh ilmuan yang berasal dari Yunani tidak
pernah terlupakan seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates dll.
Bangsa
Yahudi juga merupakan bangsa yang jumlahnya sedikit tapi pegaruhnya di dunia
ini sangat besar. Bahkan pada masa lalu (kecuali setelah berdirinya Negara
Israil) mereka sering ditindas dan hidup berpencar-pencar di beberapa negara,
pada tahun 1982 jumlah bangsa Yahudi yang tinggal di Israil hanya 5,4 juta
jiwa, dan 13,6 juta tinggal di Amerika dan Kanada. Bila dibandingkan dengan
jumlah rakyat Indonesia berarti kurang dari 10% bahkan lebih banyak jumlah
penduduk Jakarta.
Jumlah yang
tidak banyak itulah yang sangat berpengaruh di muka bumi ini termasuk di
Amerika Serikat yang hampir seluruh lini, baik itu sektor pemerintahan maupun
swasta, kebijakannya ditentukan oleh orang Yahudi. Bahkan dunia Islam yang
penganutnya diperkirakan mencapai dua miliar tidak mampu menghadapi bangsa
Yahudi yang jumlahnya jauh lebih kecil, jangankan umat Islam, dunia sekalipun
bisa bertekuk lutut dihadapan dengan bangsa Yahudi. Tidak sedikit ilmuan Yahudi
yang hingga saat ini masih memiliki pengaruh dalam pengembangan beragam ilmu
pengetahuan yang tetap dibutuhkan oleh umat manusia sampai kapan pun,
diantaranya, Baruch Spinoza sebagai ahli filsafat, Albert Einstein dalam ilmu
sains, Karl Marx dalam ilmu politik dan ekonomi.
Sadar akan
besarnya pengaruh bangsa Yahudi dalam dunia modern ini, seorang anggota dewan
Israil yang juga bekas menteri pendidikan dan mantan duta Israil di PBB,
Abba Eban dengan bangganya mengatakan, “Apa yang difikirkan dan dikerjakan oleh
manusia selama ini telah dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, baik itu agama,
filsafat, sains, hukum, sastra, politik, budaya, dan cara hidup, semuanya
digerakan oleh arus gelombang pemikiran Yahudi,” pernyataan Eban di atas
tidaklah terlalu berlebihan karena bangsa Yahudi memang memiliki budaya ilmu yang
sangat tinggi, sebuah survey tahun 1991 mengatakan bahwa satu-satunya bangsa
yang memiliki minat baca paling tinggi dengan melebihi 100% (sebagian
individu membaca lebih dari satu koran atau buku dalam sehari) adalah bangsa
Yahudi.
Barat,
berusaha keras untuk mempelajari peradaban para negara Islam yang memiliki SDA
yang tinggi, Amerika Serikat misalnya, melalui departemen pendidikannya (U.S.
Office of Educatian) telah merombak akta pendidikan untuk pertahanan
nasioanal (Natioanal Defense Educatiaon Act) pada dekade 60-an,
akta ini antara lain menyediakan dana untuk riset bahasa dan kebudayaan Arab
sebagai prioritas utama dalam menguasai bahasa asing. Dana digelontorkan untuk
menyediakan sumber bacaan berupa buku-buku berbahasa arab, majalah, dan masnuskrip
secara sistematis. Barat hingga saat ini telah jauh melangkah meninggalkan kita
dalam budaya ilmu, sebagai sumber peradaban.
Jepan juga
bisa menjadi contoh, bagaiman tidak, negara matahari terbit ini berada dalam
geografis yang kurang menguntungkan, namun bisa berhasil menguasai dunia dalam
bidang ekonomi, bahkan pada perang dunia II, dua kota besarnya telah
porak-poranda akibat dihujani bom atom oleh rival utamanya saat itu, tentara
sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat, namun dalam waktu yang sangat
singkat Jepan bisa bangkit kembali. Hingga saat ini dalam setiap rumah yang ada
dibelahan dunia ini sulit untuk tidak menemukan kata made in jepan, hingga
sandal jepit sekalipun identik dengan Jepan.
Bila
ditelusuri lebih jauh lagi, budaya ilmu berkembang di Jepan diperkirakan
sekitar tahun 1860-1880-an, bahkan pada tahun 1888 sekitar 30.000 mahasiswa
belajar di sekolah swasta yang berada di kota Tokyo dan 80% dari total di atas
berasal dari kampung. Para mahasiswa yang miskin dan berasal dari luar kota
itu, sebagian dibiayai oleh para tuan tanah di kampungnya masing-masing dan
yang lainnya bekerja sambil kuliah, ada yang jadi pembantu rumah tangga,
menjual surat kabar, penerjemah buku, bahkan ada juga menjadi buruh kasar.
Namun tetap dengan bangganya menpopulerkan sebuah slogan, “Jangan menghina
kami, kelak kami mungkin menjadi menteri”. Mayoritas dari mereka berasal dari
suku samurai yang tetap ingin hidup dengan terhormat pada zamannya.
Di Jepan,
sejak usia dini sudah ditanamkan bahwa pendidikan adalah jalan pintas menuju
kesuksesan, cerita-cerita tentang kesuksesan dari Timur ke Barat telah
disajikan sejak dini, buku tulisan Yukichi Fukuzawa, dengan judul “Dorongan
Belajar” pada tahun 1882 terjual 600.000 eksemplar. Salah satu kutipan
dalam buku tersebut adalah, “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya
atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan orang lain. Siapapun yang rajin
belajar dan menguasai ilmu dengan baik pasti akan menjadi mulia dan kaya,
tetapi mereka yang bodoh akan menjadi miskin dan hina”. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Peneliti LPPI dan MIUMI Indonesia Timur
Comments