Syiah dalam Pandangan MUI

Beberapa bulan kemudian Universitas
Muslim Indonesia didatangi oleh Kepala Devisi Kebudayaan Kedutaan besar Iran M.
Ali Rabbani untuk menjalin kerjasama dalam ilmu pengetahuan, salah satunya
adalah membuka Iranian Corner di UMI, sebagaimana yang telah ada di
Universitas Hasanuddin (Unhas) dan UIN Alauddin Makassar. KH. Said Abd. Shamad,
mantan dosen UMI dan pernah bekerja di Bagian Mental Rumah Sakit
Ibnu Sina yang berada di bawah Yayasan Badan Wakaf UMI, juga sebagai Ketua LPPI
Indonesia Timur, menentang keras kerja sama di atas, karena kelak akan
berdampak buruk pada perguruan tinggi swasta terbesar di luar Jawa itu. Apalagi
jika diadakan pertukaran pelajar, jelas kedepan dikhawatirkan Syiah makin subur
pertumbuhannya.
Dr. Ir. Fuad Rumi kembali memberikan
pernyataan dengan menulis ‘pesan siaran’
lewat BelackBerry-nya lalu dijadikan status dalam Akun Facebook
Majelis Ukhuwah Sunni Syiah (Muhsin), “Masalah Imamah, tidak ada
penyelesaiannya, kembalikan saja kepada Allah, nanti diakhirat kita tahu mana
yang benar. Kita tidak bisa menentukan hanya Sunni atau Syiah yang benar. Sunni
dan Syiah ibarat makanan di atas meja prasmanan, yang cocok dengan selera
silahkan dinikmati, yang tidak cocok, tidak usah dicela, dan dibuang”.
Prof. Dr. Ghalib, yang menjabat sebagai
Sekretaris MUI Sulsel juga pernah menyatakan, “Kalau sesat, kenapa
saudara-saudara Syiah bisa beribadah
Haji di Makkah? Saya kira perbedaan kita [Sunni] dengan Syiah hanya soal imamah
[kepemimpinan]. Dan tidak menjadikan mereka sesat.” (Fajar, 1 Mei 2011).
Ada pun Prof. Umar Shihab mengatakan, “Mau pegang mazhab Syiah atau Sunni,
silahkan! Yang tidak dibenarkan adalah jika satu sama lain saling menyalahkan
sehingga mengancam persatuan.” (Fajar, 1 Mei 2011). Dan Adiknya, Prof.
Quraih Shihab menulis, “Ya, Akhi, kita semua Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kita semua baik yang Muhammadiyah, NU, maupun Syiah.” (Satu Islam Sebuah
Dilema. Mizan, 1994, hal. 122).
Pernyataan para cendekiawan, ulama, dan
tokoh-tokoh agama di atas terkait aliran Syiah sungguh
membingunkan umat, dan dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Bagaimana tidak, yang memberi pernyataan adalah tokoh yang memiliki pendengar
dan pengikut yang tidak sedikit. Di antara mereka ada
pula menjabat sebagai anggota bahkan petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI),
sihingga tidak sedikit yang berprasangka kalau pernyataan tokoh-tokoh di atas
merupakan sikap resmi MUI sendiri. Namun benarkah demikian? Sepertinya kita
harus kembali mengkaji fatwa-fatwa MUI yang terkait dengan paham Syiah, agar
kita bisa bersikap arif dan tegas terhadap sebuah ajaran yang dinilai
menyimpang dari kebenaran menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang
merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim serta
menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling kompeten
dalam menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa
timbul dan dihadapi masyarakat. MUI juga telah mendapat kepercayaan penuh, baik
dari masyarakat maupun dari pemerintah.
MUI
sangat peka terhadap penyimpangan agama dan akan segera menghadapinya dengan
serius dan sungguh-sungguh: “Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan
antisipatif.” (Himpunan Fatwa MUI, hal. 5); “Setiap usaha pendangkalan
agama dan penyalah-gunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan
hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya secara serius dan
terus menerus.” (Ibid., hal. 42).
Fatwa
MUI berdasarkan dalil-dalil yang jelas untuk mendapatkan kebenaran dan
kemurnian agama. “Fatwa MUI berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah (Hadis), Ijma’
dan Qiyas, serta dalil lain yang dianggap muktabar.” (Ibid., hal. 5),
dan “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara
umum, terutama masalah hukum (fikih) dan masalah akidah yang menyangkut
kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.” (Ibid., hal. 7).
Penggunaan
dalil-dalil yang membawa kepada kebenaran dan kemurnian (agama, pen)
ialah apabila didasarkan atas pemahaman dan pengamalan Ahlussunnah wal Jama’ah
dalam pengertian yang luas; “Penggunaan dan pemahaman dalil yang tidak sesuai
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah penyimpangan; dimungkinkannya perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila
hudud wa bila dhawabith); Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan
yang berada di dalam majal al ikhtilaf (wilayah perbedaan), sedangkan
perbedaan yang berada di luar majal al ikhtilaf, tidak dikategorikan
sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan, seperti munculnya perbedaan
terhadap masalah-masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al din bil al
dharurah); Majal al ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang
masih berada dalam koridor ma ana
‘alaihi wa ashabiy, yaitu paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
pengertian luas.” (Ketetapan Ijtima’ Ulama se-Indonesia ke II, Gontor, 26 Mei
2006. Ibid., hal. 841). Dengan demikian faham Syiah yang “menolak hadis
yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait, memandang Imam itu maksum (terbebas
dari segala dosa), tidak mengakui ijma’ tanpa Imam, memandang bahwa menegakkan
kepemimpinan (pemerintahan) adalah termasuk rukun agama, tidak mengakui
kekhalifaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, radhiallahu ‘anhum ajma’in.” (Ibid.,hal. 46) adalah
menyimpang dan sesat serta harus diwaspadai. Mengingat perbedaan-perbedaan
pokok antara Syiah dan Ahlussunnah wal Jma’ah seperti tersebut di atas,
terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah [pemerintahan”. Majelis Ulama
Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlussunnah wal
Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang
didasarkan atas ajaran Syiah. (Ibid., hal, 47).
Keterangan
tentang kesesatan ajaran Syiah diperkuat oleh, “Sepuluh Kriteria Aliran
Sesat” yang telah ditetapkan dalam
Rakernas MUI pada Selasa, 6 November 2007 di Sari Pan Pasifik, Jakarta sebagai
berikut: 1. Mengingkari salahsatu rukun iman dan rukun Islam; 2. Meyakini atau
mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur’an dan Sunnah);
3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Al-Qur’an; 4. Mengingkari autentisitas dan
kebenaran Al-Qur’an; 5. Menafsirkan Al-Qur’anyang tidak berdasar kaidah-kaidah
tafsir; 6. Mengingkari kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam; 7.
Melecehkan/ mendustakan nabi dan rasul; 8. Mengingkari nabi Muhammad sebagai
nabi dan rasul terakhir; 9. Mengurangi/menambah pokok-pokok ibadah yang tidak
ditetapkan syariah, dan 10. Mengafirkan sesama muslim hanya karena bukan
kelompoknya. Kesepuluh kriteria aliran sesat di atas telah dianut dan diamalkan
oleh Syiah Imamiah, Itsna Asyariah, Ja’fariah, Mazhab Ahlul Bait, menurut hasil
Musyawarah BASSRA (Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura) pada tanggal 3
Januari 2012 di Gedung Islamic Centre Pamekasan Madura. Dan oleh MUI Aceh yang
menambah kriteria kesesatan di atas, yaitu. 1. Menghina atau melecehkan para
sahabat Nabi Muhammad SAW, dan 2. Melakukan pensyarahan terhadap hadis tidak
berdasarkan kaidah-kaidah ilmu mushthalah hadis. (Majelis Permusyawaratan
Ulama Nanggroe Aceh Darussalam. No. 04 tahun 2007, tentang Pedoman Identifikasi
Aliran Sesat).
Penegasan
tentang kesesatan Syiah difatwakan oleh MUI Jatim, no:
Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, tgl 21 Januari 2012, dengan jelas dan terang
sebagaimana berikut: Membaca... Menimbang... Memperhatikan... Mengingat...
Memutuskan: 1. Mengukuhkan dan menetapkan keputusan-keputusan MUI-MUI daerah
yang menyertakan bahwa ajaran Syiah (khususnya Syiah Imamiah, Itsna Asyariah,
Ja’fariah, Mazhab Ahlul Bait, dan semisalnya) serta ajaran-ajaran yang
mempunyai kesamaan dengan faham Syiah Imamiyah, Itsna Asyariah, Ja’fariah,
Mazhab Ahlul Bait adalah Sesat dan Menyesatkan. 2. Menyatakan bahwa
penggunaan istilah Ahlul Bait untuk
pengikut Syiah adalah bentuk pembajakan kepada Ahlul Bait Rasulullah SAW.; 3.
Merekomendasikan: a. Kepada Umat Islam diminta untuk waspada agar tidak muda
terpengaruh dengan faham dan ajaran Syiah (khususnya Imamiyah Itsna Asyariah
atau yang menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait dan semisalnya); b.
Kepada Umat Islam diminta tidak mudah terprovokasi melakukan tindakan kekerasan
(anarkisme), karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam serta bertolak
belakang dengan upaya membina suasana kondusif untuk kelancaran dakwah Islam;
c. Kepada pemerintah baik Pusat maupun Daerah dimohon agar tidak memberikan
peluang penyebaran faham Syiah di Indonesia, karena penyebaran faham Syiah di
Indonesia yang penduduknya berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah sangat berpeluang
menimbulkan ketidak stabilan yang dapat menimbulkan ketidak-staibilan yang
dapat mengancam keutuhan NKRI; d. Kepada pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dimohon agar melakukan tindakan-tindakan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku antara lain
membekukan/melarang aktivitas Syiah beserta lembaga-lembaga yang terkait; e.
Kepada pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dimohon agar bertindak tegas dalam
menangani konflik yang terjadi, tidak hanya pada kejadian saja, tetapi juga
faktor yang menjadi penyulut terjadinya konflik, karena penyulut konflik adalah
provokator yang telah melakukan teror dan kekerasan mental sehingga harus ada
penanganan secara komprehensif; f. Kepada pemerintah, baik Pusat maupun Daerah
dimohon agar bertindak tegas dalam menangani aliran menyimpang karena hal ini
bukan termasuk kebebasan beragama tapi penodaan agama, dan g. Kepada
Dewan Pimpinan MUI Pusat, dimohon agar mengukuhkan fatwa tentang kesesatan
Faham Syiah khususnya Imamiyah Itsna Asyariah atau yang menggunakan nama
samaran Madzhab Ahlul Bait dan semisalnya, serta ajaran yang mempunyai kesamaan
dengan Faham Syiah sebagai fatwa yang berlaku secara Nasional. (Ditetapkan
oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia [MUI] Propinsi Jawa Timur di Surabaya 27 Shafar 1433 H /21 Januari
2012 M, dan ditanda tangani oleh Ketua Umum KH. ABDUSSHOMAD BUCHORI dan
Sekretaris Umum DRS. H. IMAM TABRONI, MM.
Fatwa
MUI Jatim di atas adalah sederajat dengan Fatwa MUI Pusat, sehingga MUI Daerah
hanya berhak melaksanakannya. Fatwa MUI Pusat maupun MUI Daerah yang
berdasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan dalam surat keputusan ini
mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan. (HF MUI, hal. 8);
Terhadap masalah yang telah ada fatwa MUI Pusat, maka MUI Daerah hanya berhak
melaksanakannya, (Ibid., hal, 8).
Tulisan
ini penulis tutup dengan ungkapan seorang Ulama Besar Sudan, Prof. Al-Amin
Al-Haj Muhammad Ahmad, Sekjen Ikatan Ulama Islam Sedunia, Guru Besar bidang
Fikih dan Akidah di Univ. Internasional Afrika di Khartum, yang dijadikan judul
dalam buku kecilnya: “Ajakan untuk Pendekatan dengan Syiah adalah Merupakan
Penghianatan yang Sangat Keji, Dosa yang Sangat Besar, dan Kelalaian yang Sangat
Fatal.”
Jadi, jelas dan teranglah kesalahan
fatal pandangan beberapa tokoh dan
anggota MUI di atas bahwa Syiah adalah bagian dari Ahlussunnah, dan tidak
sesat. Pernyataan mereka sangat bertentangan dengan kejelasan sikap resmi MUI
sebagai lembaga yang berwenang menetapkan sesat tidaknya sebuah aliran,
berdasrakn faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni). Syiah bertentangan dengan
Ahlussunah, sesat, dan harus diwaspadai. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Mahasiswa Pascasarna UMI Makassar, & Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments