Sejarah Polemik Antaragama
Apabila diteliti dengan saksama, hubungan Islam dan Kristen pada
tataran intelektual maupun sosio-kultural serta ekonomi-politik terjadi dalam
tiga pola. Pertama, pola polemis-apologetik; kedua, pola konflik-konfrontatif;
dan ketiga, pola irenik-dialogis. (Tibun Timur, Kamis 21 Juni 2012).
Pola polemik-apologetik kita temukan akar-akarnya di dalam kitab
suci Alquran. Terdapat cukup banyak ayat-ayat Alquran mengkritik dan mengecam
akidah orang Kristen yang hakikatnya adalah koreksi langsung dari Allah. Namun
bagi mereka semua teguran dan koreksi tersebut dianggap sekadar opini pribadi
Nabi Muhammad. Hal ini tidak
mengejutkan, mengingat sejak awal pun mereka sudah mengingkari kenabian dan
kerasulan beliau, sehingga kitab suci Alquran mereka pikir cuma karangan Muhammad
–sebagaimana disitir dalam surah al-Muddatstsir ayat 25: “Ini kan cuma
perkataan manusia”. Rasulullah juga dilarang berkompromi dalam perkara akidah
maupun ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Kafirun: “... aku tidak
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah apa yang kusembah...”
Ayat-ayat suci ini tidak menyuruh perang dan tidak pula menganjurkan
permusuhan. Apa yang diperintahkan di sini adalah orang Islam mesti bersikap
tegas dan kukuh dengan keyakinan dan kebenaran agamanya.
Sudah barang tentu polemik
tersebut berlangsung cukup seru. Dari pihak Kristen terkenal Yahya ad-Dimasyqi
alias Johannes Damascenus (hidup sekitar 655-750 Masehi) yang pertama kali
menulis karya berjudul Peri HaireseƓn. Dituduhnya agama Islam itu sesat
dan menyeleweng karena mengajarkan fatalisme dan bermacam-macam tuduhan lain.
Upayanya itu diteruskan oleh generasi berikutnya. Kaisar Byzantium Leo III
konon pernah mengirim surat polemik kepada Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz di
Damaskus. Sementara itu Theodore Abu Qurrah (w. 820), ‘Abd al-Masih al-Kindi (fl.
830), dan ‘Ammar al-Basri (fl. 850) pun aktif membuat
tulisan-tulisan polemik-apologetik sebagai pembelaan terhadap doktrin-doktrin
Kristen.
Karya-karya polemik terus bermunculan, seperti ditunjukkan Imam
Fakhruddin ar-Razi (w. 606/1209) dalam Munazharah fi r-Radd ‘ala l-Yahud wa
n-Nashara. Abad berikutnya menyaksikan Ibn Taymiyyah (w. 728/1328) dengan
kitabnya yang berjudul al-Jawab as-Shahih li-man baddala Din al-Masih, disambung
murid setia beliau, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (d. 751/1350) dengan risalahnya, Hidayat
al-Hayara fi Ajwibat al-Yahud wa n-Nashara. Generasi sesudahnya pun tak
kalah hebat. Abdullah at-Tarjuman (ca. 823/1420) menulis Tuhfat
al-Arib fi r-Radd ‘ala Ahli s-Shalib, manakala Abu ’l-Fadhl al-Maliki
as-Su‘udi (ca. 942/1535) menerbitkan al-Muntakhab al-Jalil min
Takhjili man harrafa ’l-Injil. Penting dicatat bahwa abad ini adalah
permulaan apa yang kemudian disebut sebagai Zaman Modern, dimana orang-orang
Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda mulai keluar berkeliaran di Asia,
Afrika, dan Amerika mencari mangsa.
Pola kedua adalah hubungan konfrontasi fisik dan konflik
bersenjata. Sejarah mencatat hal ini adakalanya sukar dielakkan. Serangkaian
Perang Salib yang berlangsung sejak abad ke-11 hingga abad ke-13 Masehi,
pembantaian massal dan pengusiran orang Islam secara besar-besaran dari
Andalusia (jazirah Iberia yang sekarang menjadi Portugis dan Spanyol) serta
kolonisasi negeri-negeri Islam di seluruh dunia (Timur Tengah, Asia dan
Afrika), semuanya adalah fakta keras yang menunjukkan bahwa konfrontasi fisik
dengan para kolonialis-imperialis dan misionaris memang tak dapat dihindari.
Pada bulan Maret tahun 1095 Kaisar Alexius I minta bantuan Sidang Gereja untuk
menghadang pergerakan tentara Turki Usmani yang berhasil menguasai Anatolia dan
berencana merebut Konstantinopel.
Paus Urbanus II menulis surat kepada raja-raja Eropa supaya
mengirim tentara dan sukarelawan perang dengan iming-iming sorga dan
penghapusan dosa. Sekitar 40,000 orang berkumpul di Konstantinopel untuk
memulai perjalanan panjang melawan pasukan Turki dan merebut Jerusalem dari
tangan orang Islam. Setelah berhasil mengusai Antioch, Syria, tentara salib
bergerak menuju Jerusalem. Tanpa perlawanan yang berarti, Baitulmuqaddis jatuh
ke tangan mereka pada hari Jum’at, 5 Juli 1099. Ribuan orang Islam dan Yahudi
dibantai. Kaum Muslim tidak serta merta menyerang Jerusalem, akan tetapi
mengadakan perjanjian damai yang ditandatangani oleh Shalahudin al-Ayyubi dan
Raja Baldwin IV, penguasa Jerusalem waktu itu.
Peperangan baru meletus akibat ulah Reynald Chatillon, seorang
pembesar Perancis yang sangat membenci Islam dan sengaja menyerang
kafilah-kafilah Islam semasa perjanjian damai. Terjadilah Perang Hittin dan
Acre yang dimenangkan oleh pasukan Islam. Wilayah Palestina dari Gaza hingga
Jubayl berhasil dikuasai pada awal September 1187. Sebulan kemudian, tepatnya
pada hari Jumat, 2 Oktober 1187, Sultan Shalahudin membebaskan Jerusalem dari
tentara salib.
Jika hubungan antara Umat Islam dan penganut Kristen terlihat
banyak diwarnai ketegangan dan konflik maka hal itu dikarenakan beberapa
perkara. Pertama, agama Islam dan Kristen sama-sama berwatak
misionaris-ekspansionis, dalam arti menghendaki pemeluknya supaya berdakwah kepada
orang lain sehingga benturan kepentingan acapkali terjadi. Kedua, perang salib
(crusades) selama beberapa abad meninggalkan seribu satu kesan yang
sulit dilupakan. Ketiga, penjajahan dan penjarahan terhadap negeri-negeri orang
Islam oleh bangsa-bangsa Kristen Eropa juga masih segar dalam ingatan. Lantas
pada tataran intelektual-akademik, perang pemikiran semakin gencar dimainkan
oleh para orientalis. Nah, semua faktor ini punya andil besar merusak
keharmonisan hubungan Islam-Kristen. Bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa bukan
sekadar untuk berdagang, akan tetapi bertujuan menjajah, menjarah dan
menyiarkan agama Kristen (proselytizing) adalah fakta yang mustahil
dibantah. Orang Inggris memasukkan Kristen ke negeri-negeri jajahan mereka
(India, Afrika, dan kepulauan Melanesia, sebagaimana orang Spanyol
mengkristenkan orang-orang Moro di kepulauan Philippines dan orang Belanda
membaptis orang-orang di Jawa, Sumatra dan lain-lain.
Pola yang ketiga adalah dialog. Pola ini sebenarnya terbilang baru,
sebab tak satu ayat pun kita temukan dalam kitab suci Alquran yang menganjurkan
dialog. Istilah dan gagasan dialog antar agama dicetuskan oleh Gereja Kristen
karena dan untuk tujuan tertentu. Inilah sebabnya mengapa tokoh-tokoh Muslim
kontemporer berselisih pendapat dalam soal ini. Mereka yang setuju dan
melibatkan diri dalam dialog antaragama antara lain alm. Profesor Isma‘il Raji
al-Faruqi dan Profesor Mahmoud Ayoub, sementara Profesor Fazlur Rahman dan
Profesor Naquib al-Attas termasuk yang tidak merestui dialog semacam itu.
Mereka yang pro dialog kerap mengutarakan alasan sebagai berikut: dialog
bertujuan mengenyahkan salah paham, prejudices, dan kebencian antara
satu sama lain; dialog adalah upaya menjalin tali persahabatan dengan pemeluk
agama lain, mengendorkan ketegangan, mendorong kerjasama, saling hormat dan
saling mengerti. Semua ini penting dilakukan terutama oleh kaum Muslim yang
hidup di negara-negara Barat sebagai kelompok minoritas agar tidak dibenci,
dimusuhi, dan ditindas. Adapun mereka yang kontra dialog melihat aktivis dialog
antaragama umumnya tidak menyadari bahwa dialog semacam itu secara halus
menggiring mereka kepada confusion, kompromisme, sinkretisme,
relativisme dan pluralisme agama, sehingga terbentanglah jalan bagi pemurtadan
(proselytization). Padahal, tokoh-tokoh Kristen sendiri ada yang
menentang dialog antaragama karena alasan sederhana: andaikata semua agama itu
benar, maka Gereja Vatikan sudah lama bubar!
Fakta
sejarah maupun bukti tekstual menunjukkan bahwa yang dilakukan Umat Islam sejak
abad pertama Hijriah adalah satu dari atau kombinasi strategi-strategi seperti
berdakwah secara bijak, rasional dan persuasif. Berbeda dengan ‘dialog’ yang
menganggap semua agama sama benarnya, ‘dakwah’ berangkat dari kesadaran penuh
dan keyakinan keukeuh sang juru dakwah. Dakwah tidak bertolak dari
relativisme atau pluralisme agama. Selanjutnya adalah debat
secara santun dan tegas, yakni menjawab argumentasi dalam berbagai forum dan
media, menyanggah mereka dengan hujah-hujah yang logis rasional lagi ilmiah,
sopan, santun dan elegan secara lisan maupun tulisan. Wallahu A’lam!
Makalah ini disari dari tulisan Dr. Syamsuddin Arif dengan tema "Kuda Troy dari Vatikan, Menyingkap Misi Dialog Antaragama"
Comments