Sang Penjegal Liberalisme

Kali ini, penulis mencoba mengungkap sisi lain dari Guru
Besar yang telah menghembuskan nafas terkhirnya pada 17 Juni ini. Sisi yang
tidak kalah pentingnya namun tidak banyak diketahui orang, yaitu berhubungan
dengan ketegasan beliau dalam membela agama yang ia anut. Di saat para pemikir yang
notabene-nya berasal dan menjadi guru besar dalam kampus berbasis dan
atas nama Islam berusaha memasarkan ide-ide liberalismenya, di saat itulah
Prof. Ali muncul menjegal pemikiran yang beliau anggap merusak dan sangat
menyimpang dari koridor kebenaran al-haq.
Sebagai kolumnis, Prof. Dr. Ahmad Ali (1952-2012) bebas men-counter
segala bentuk prilaku, pemahaman, dan pemikiran yang beliau anggap menyimpang
terutama dari sudut pandang agama, ini bisa kita lacak dalam salah satu
tulisannya padah akhir-akhir tahun 2010, beliau menulis dalam kolom “Hukum
& 1001 Masalah Kemasyarakatan” dengan tema “Pencerahan atau Pelecehan Agama?”
sebagai berikut, “Kalau mengatakan semua agama benar menurut penganutnya masing-masing,
itu benar pencerahan! Tetapi kalau mengatakan semua agama benar (titik!), maka
itu pelecehan terhadap agamanya masing-masing. Dan sangat tidak logis. Tidak
mungkin sama antara ajaran Islam yang
wajib setiap Jumat ke masjid dengan umat Kristen yang beribadat setiap Minggu
ke gereja. Demikian pula umat agama lainnya dengan rumah ibadatnya
masing-masing. Tidak mungkin sama antara ajaran Islam yang mewajibkan
puasa di bulan Ramadan, zakat, naik
haji, ke tanah suci bagi yang mampu sekali seumur hidup; di satu pihak dengan
umat lain yang tidak mengenal kewajiban semacam itu,” tulis Guru Besar pemilik 16 ribu buku
di rumahnya.
Cukuplah tulisan di atas menegaskan pada kita semua bahwa
paham pluralisme dan liberalisme merupakan paham yang diserang oleh Prof. Ali,
paham yang kini terus berkembang di kampus-kampus yang berbasis Islam. Sangat
jelas dan haqqul yaqin kalau tulisan di atas ditujukan kepada para
saudara-sadara kita yang menganut juga mengusung pemikiran liberal atau
pluralisme, dimana salah satu pokok pemahamannya menyatakan bahwa semua agama
pada dasarnya benar, atau agamaku memang benar tapi tidak menutupi kemungkinan
agama lain juga benar, dan pada tahap tertentu paham ini mengarah kepada agama
tanpa agama. Ibarat orang yang mengatakan semua pakaian bagus, lalu ‘telanjang’.
Guru Besar Ilmu Hukum
di Unhas ini memiliki pemahaman keagamaan yang mendalam terkait dengan sekularisme,
pluraslime, dan liberalisme (sepilis) yang telah difatkawan sesat oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2005 lantaran kegemarannya membaca buku-buku
yang mencerahkan terutama karya-karya para cendekiawan muda yang menjadi counter
attack kaum liberal. Sebagaimana beliau akui sendiri dalam tulisannya
dengan tajuk “Muslimlah Daripada Liberal”
dengan terang, dan lugas ia katakan, “ ... saya juga penggemar buku-buku
karya Dr. Adian Husaini, seorang intelektual muda muslim yang sangat produktif
dan brillian, mantan wartawan, telah menulis banyak buku dan hampir semuanya
saya miliki,” paparnya. Bahkan ia menegaskan kalau buku-buku karya Dr. Adian
Husaini tersebut tidak saja dibeli untuk dirinya sendiri tapi juga disedekahkan
kepada orang lain, “Saya beli 20 buku itu di Jakarta, dan saya bagikan gratis
kepada sahabat dan keluarga saya agar mereka tidak sesat dan disesatkan oleh kelompok
liberal yang mengatasnamakan ajaran mereka ajaran Islam.” (Harian Fajar, Rabu
10 Nopember 2010).
Adian Husaini adalah salah satu pendiri dan peneliti
INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) sebuah
lembaga yang menjadi counter attack atau penyeimbang atas kencangnya
gempuran kaum liberal yang telah lebih dulu melembaga dengan nama JIL (Jaringan
Islam Liberal) yang digagas oleh Ulil Absar Abdalla dan kawan-kawan.
Liberalisme dalam pandangan agama
berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai
kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan
lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat.
Artinya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai
tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal
tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi
jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur
peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial,
maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.
Sejak seabad lebih lalu virus liberalisme telah berhasil menerobos ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaru” (mujaddid).
Mereka yang menjadi liberal antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M),
Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, dan
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India. Di abad keduapuluh muncul
pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, M. Arkoun,
Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia.
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu
sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman, Alqur’an dan hadis
mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis,
hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam
kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional
berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain.
Pada praktiknya paham liberalisme mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir
tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak
kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semenamena dalam
beragama (no commitment and free exercise of religion). Yang pertama
berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir kok dilarang,”
ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyyah’,
yang terdiri dari skeptisisme, agnostisisme dan relativistisme. Sementara yang
disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq,
dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak peduli
lagi kepada ajaran agama.
Bagi para penganut dan pengusung mazhab liberalisme ada
baiknya jika kembali menyimak petuah dan nasihat sang Profesor yang tutup usia
di umur 60 tahun ini, agar kembali ke jalan yang benar, “Bagi penganut liberal
kalau masih mau tobat nasuha kembali menjadi muslim, terima dan yakini serta
pahami Alquran secara kafah (utuh), jangan parsial (sepotong-sepotong),
menggunakan ayat yang bisa dimanfaatkan meliberalkan dan mensekularkan orang,
dan membutakan mata dari ayat-ayat lain yang sulit mereka putar-balikkan.” Wallahu
A’lam!
(Ilham Kadir, BA., Mahasiswa PPS UMI Makassar &
Peneliti LPPI Indonesia Timur)
Comments