Puasa Para Nabi
Puasa secara umum diartikan sebagai sebuah
aktifitas tidak makan, minum, berbicara, dan melakukan hubungan badan, sedang menurut bahasa adalah menahan diri untuk
melakukan sesuatu, adapun menurut syariat puasa adalah sebuah ibadah yang
menahan makan, minum, bersenggama, dan segala aktifitas yang mengurangi pahala mulai
dari terbit hingga terbenangnya matahari dengan syarat dan rukun tertentu.
Puasa sendiri sudah ada sejak manusia pertama
terlahir, tepatnya setelah Nabi Adam dilempar turun ke bumi pasca terjadinya
peristiwa ‘pohon khuldi’, manusia pertama ini berpuasa selama tiga hari pada
tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan sebagai bentuk pertaubatan. Puasa yang
dinamai juga puasa putih ini terdapat anjuran dari Rasulullah saw yang
bersumber dari Abu Hurairah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim, “Kekasihku Rasulullah saw, mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa
tiga kali sebulan, dua rakaat salat duha, dan berwitir sebelum tidur.”
Nabi Nuh as, sebagai rasul dan nabi kedua
juga melakukan puasa semisal di atas, namun hanya tiga kali dalam setahun.
Ketika berada dalam kapal besar sewaktu peristiwa bah melanda, mereka pun
terkatung-katung berbulan-bulan di atas kapal, dalam keadaan itu Nuh as memerintahkan
seluruh pengikutnya untuk melaksanakan puasa.
Nabi Ibrahim juga demikian, beliau gemar
berpuasa terutama pada saat-saat hendak menerima wahyu dari Allah, kebiasaan
ini berlanjut kepada kedua putranya dari Istrinya Sarah, Ismail dan Ishak,
keduanya juga memiliki kedudukan sebagai nabi dan rasul. Lalu berlanjut ke garis
keturunannya yaitu Ya’qub as yang kerap berpuasa demi keselamatan
putra-putranya.
Putra Ya’qub as, Nabi Yusuf merupakan rasul
yang kerap melakukan puasa semenjak dalam penjara, dan kebiasaan ini beliau
teruskan saat mengembang jabatan sebagai menteri perekonomian di Mesir. “Karena
aku khawatir apabila aku kenyang nanti aku melupakan perut fakir miskin.” Kata
Yusuf as.
Dalam melakukan persiapan untuk menerima
wahyu di Bukit Sinai, Musa as berpuasa selama 40 hari 40 malam. Hal yang sama
juga di lakukan Nabi Ilyas ketika akan berangkat ke Gunung Horeb untuk menerima
wahyu dari Allah. Begitu pula Nabi Isa as, nabi yang diutus sebelum Muhammad
saw ini, kerap berpuasa bermula ketika mendeklarasikan diri sebagai rasul dan mulai
saring tampil di hadapan umum untuk menyeru kaumnya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah yang bersumber
dari Abdullah bin ‘Amru dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
diceritakan jenis puasa Nabi Daud, “Puasa yang paling disukai Allah adalah
puasa Nabi Daud dan salat yang paling disukai Allah adalah salat Nabi Daud.
Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun sepertiganya, dan tidur
seperenamnya. Beliau berbuka berbuka sehari dan berpuasa sehari.”
Sebagai rasul terakhir, Muhammad saw sudah
terbiasa melakukan puasa pada hari Asyura. Menurut Ibnu Umar, Rasulullah pernah
memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari itu. Namun ketika datang
perintah untuk berpuasa pada bulan Ramadhan maka Asyura pun ditinggalkan.
Puasa menurut kepercayaan
Umat Kristen yang ajarannya bersumber dari
perjanjian lama dan baru juga terdapat anjuran untuk berpuasa. Dalam perjanjia
lama dikisahkan adanya puasa atas kematian Saul dan anak-anaknya, mereka
menjadi korban dalam peperangan antara Palestina dan Israil, kematian itu
membuat orang Israil bersedih dan berpuasa selama tujuh hari. Selain puasa Saul, umat Kristen juga mengenal
puasa Ezra sebagai bentuk rasa syukur Ezra dan rombongannya atas keselamatan
yang diberikan Tuhan ketika pulang dari Babel ke Jerussalem.
Sementara dalam Kitab Perjanjian Baru
disebutkan beberapa puasa yang kerap dilakukan oleh umat Kristen, di antaranya
puasa yang pernah dijalani Yesus selama 40 hari 40 malam, serta puasa yang
dilakukan Paulus tiga hari tiga malam dengan tidak makan, tidak minum, dan
tidak melihat. Ada pula puasa jemaat yang bertujuan menguatkan Paulus Barnabas
dalam pelayanan.
Kaum Yahudi sebagai keturunan Nabi Ya’qub
(Israil) yang taat beribadah, kaya akan ritual keagamaan termasuk puasa, namun
tidak terdapat secara rinci tata cara puasa bagi mereka kecuali apa yang pernah
dilakukan oleh Nabi Musa saat hendak menerima wahyu di Bukit Sinai.
Dalam tradisi Hindu, puasa dikenal dengan
Upasawa, beragam corak puasa yang dilakukan oleh umat Hindu. Seperti puasa
Siwaratri yaitu tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga
terbenam keesokan harinya. Umat Hindu juga mengenal puasa ‘sunah’ biasanya
dilakukan pada hari-hari suci, upacara tertentu, atau ketika melakukan meditasi
dan bersemedi. Puasa semakin afdal jika diiringi pembagian sedekah bagi kaum
fakir.
Shinto juga merupakan agama yang dikenal suka
berpantang. Seperti makan daging dan mendekati wanita, kedudukan badan hukum
agama yang disebut Imbe befungsi menyiapkan selamatan-selamatan bagi para dewa
karena telah melakukan pantang (puasa) dari segala pengotoran terhadap jiwa.
Ajaran Taoisme dan Konfusianisme bagi
masyarakat Cina kuno juga melakukan puasa. Biasanya puasa dilakukan jika
tertinpa musibah, puasa bertujuan menghalangi bencanan serupa terulang kembali.
Orang-orang Tibet dalam berpuasa selama 24 jam tanpa mengkonsumsi apa punm
termasuk tidak boleh menelan air liur.
Agama Budha menyebut puasa dengan ‘uposathe’
yang dilakukan pada hari bulan purnama atau bulan gelap menurut penanggalan
Buddhis. Saat melakukan uposata mereka dilarang untuk membunuh makhluk hidup,
mencuri, bersenggama, dan berbicara yang tidak bermanfaat. Termasuk menari,
menyanyi, bermain musik, melihat hiburan, memakai wangi-wangian, serta
alat-alat untuk mempercantik diri.
Umat Islam sebagai agama terakhir mengenal
puasa dengan sebutan ‘shaum’ puasa dimaksud sebagaimana pengertian menurut
syariat di atas. Terbagi menjadi sunah dan wajib, puasa hanya diwajibkan pada
bulan Ramadan dalam penanggalan Hijriah
sebagaimana dimaksud dalam Alquran surah Albaqarah [2]: 183, 184, dan 185.
Tujuan Puasa
Setiap umat yang melakukan ibadah pasti
memiliki tujuan, secara umum adalah mengkui bahwa pada dasarnya manusia itu
makhluk lemah dan selalu tergantung kepada Yang Maha Kuasa. Ada pun secara
khusus motifnya beragam sesuai kepercayaan masing-masing.
Umat Islam menjadikan puasa sebagai momen
untuk meraih ketakwaan, sebuah tingkatan yang memiliki nilai tertinggi dan mulia
di sisi Allah swt. Baik dalam Alquran maupun hadis, banyak memaparkan tentang
ciri-ciri manusia bertakwa, namun secara umum adalah mereka yang selalu taat
melaksanakan kebaikan dan meninggalkan segala hal yang mendatangkan dosa, kapan
dan di mana pun berada.
Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, puasa
setidaknya memiliki beberapa fungsi, seperti melatih diri dalam mengendalikan
hawa nafsu syahwat perut dan di bawah perut, menahan diri untuk tidak
bermaksiat yang bersumber dari syahwat yang tak terkontrol, dapat merasakan
penderitaan orang-orang miskin yang menghasilkan kepekaan, melatih kejujuran,
kesabaran, atau kedisiplinan, serta menyehatkan diri karena mengurangi kerjaan
bagi perut. Namun inti puasa menurut pakar psokologi Islam ini “adalah
pengendalian diri self control, orang yang sehat jiwanya adalah
orang-orang yang mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap
dorongan-dorongan yang datang dari dalam maupun luar dirinya.”
Menurut Fakhruddin ar-Razi (1210 M), jika
manusia hanya sibuk dengan kenikmatan jasmani, maka daya spiritualitasnya akan
rendah dan intelektualitasnya tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan
nafsu kebinatangan, bukan dengan kemanusiaan. Padahal esensi kemanusiaan yang
sebenarnya adalah menyibukkan diri kepada Allah, Yang Maha Agung, supaya ia
menyembah-Nya, mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan
dengan kenikmatan duniawi akan menghalanginya dari beribadah dan mengingat-Nya.
Cinta kepada kenikmatan jasmani akan menghalanginya untuk meraih Cinta kepada
Sang Khalik.
Di tengah-tengah merebaknya pemujaan terhadap budaya
kuliner, hedonis, materialis, pornoaksi dan pornografi, ar-Razi mengingatkan
kita bahwa kenikmatan ruhani, kebahagiaan jiwa, kecintaan untuk meraih ilmu
pengetahuan, melakukan ibadah, menjauhi kemaksiatan, melakukan kebajikan dan
mencintai Allah dengan segenap jiwa dan raga, adalah esensi kemanusiaan dan
masuk dalam tujuan-tujuan puasa di atas. Sebaliknya, cengkeraman hawa
nafsu yang menjebak manusia hanya memperbanyak kenikmatan jasmani akan
menjauhkannya dari Sang Maha Pencipta (Allah swt.).
Jika demikian sepertinya puasa bagi
masyarakat Indonesia secara khusus belum dapat dikatakan menggapai tujuan yang
ditargetkan. Buktinya, hingga saat ini puasa belum juga mampu menahan laju
pertumbuhan koruptor di negara kita. Tak disangsikan lagi jika para koruptor
adalah mereka yang tak mampu mengendalikan dirinya, dan yang paling membuat
hati menjadi miris, susahnya menemukan koruptor yang tidak bergelar haji. Haji
adalah rukun kelima dalam Islam sebelum syahadat, salat, zakat, dan puasa.
Semoga puasa tahun ini dapat mejadikan kita bertakwa. Selamat berpuasa!
ILHAM KADIR, MASISWA PPS UMI MAKASSAR,
PENELITI LPPI INDONESIA TIMUR
Comments