Perempuan dalam Nikah Mut’ah
Salah
satu propaganda gerakan Syiah yang makin marak di Indonesia adalah nikah
mut’ah. Sebagaimana yang pernah diwacanakan oleh salah satu organisasi
mahasiswa di Jawa Timur yang telah disusupi paham Syiah, mungkin bermaksud baik
sehingga begitu antusias mereduksi
perzinahan di Doli dengan mewacanakan pembukaan posko nikah mut’ah.
Dari
sinilah mulai terkuak jika para penganut Syiah yang menganggap bahwa mut’ah
adalah bagian dari agama sudah berada dalam tahap meresahkan dan perlu segera
solusi kongkrit. Di antara solusi itu, keluarnya fatwa haram dari Komisi
Masa’il (pembahasan pelbagai masalah) dalam Konferensi Besar Nahdatul Ulama di
Mataram. (Baharun, 2004: 147).
Mut’ah
secara etimologis berarti “bersenang-senang” ada pun dalam terminologi fikih,
nikah mut’ah tak lain adalah kawin sementara alias kontrak nikahun muaqqat,
yaitu tujuan pokoknya untuk mendapatkan kenikmatan pada masa yang ditentukan
dalam hubungan pasangan secara berjangka. Tidak sebagaimana lazimnya perkawinan
resmi melalui wali dan saksi melainkan secara berduaan saja, tak perlu keluarga
dan tetangga tahu, oleh itulah dalam pandangan Sunni, pernikahan ini dianggap
‘batil’ alias nihil dan tidak beda dengan zina.
Secara
historis, mut’ah adalah peninggalan masyarakat Jahiliah klasik, akarnya dapat
kita telusuri dengan mudah. Tercatat sekitar abad ke-4 Masehi, orang Quraisy
sudah mengenal model perkawinan bersyarat, salah satunya adalah ‘kawin
kontrak’. Menurut “Shorter Encyclopedia of Islam [Philip K. Hitti & J.
Kraemer, Leiden, 1953]” dengan mengutip sumber-sumber sejarah Islam secara
akurat, bahwa setiap menjelang keberangkatan para kafilah (saudagar-saudagar) ke
negeri-negeri yang jauh, mengarungi gunung sahara selama berbulan-bulan, mereka
juga membawa wanita-wanita sebagai ‘teman serbaguna’ dalam perjalanan.
Perempuan
yang khusus melayani para kafilah di malam hari bergentayangan mencari pasangan
sembari mengucap lirik syair yang merayu-rayu. “Matthi’uni biha lailah,
bersenang-senanglah denganku walau hanya satu malam!” sebagaimana para WTS
zaman sekarang yang berkeliaran di Jalan Nusantara untuk menjaring hidung
belang, atau ‘mungkin’ mirip-mirip syair lagu Melinda, “Cinta satu malam, oh
indahnya. Cinta satu malam buatku melayang. Walau satu malam...”
Tidak
dipungkiri jika mut’ah adalah jalan lebar untuk menjadikan wanita makin tak
berharga pada zaman Jahiliah, para ayah merasa gunda dan malu jika melahirkan anak perempuan sehingga banyak yang
membunuhnya daripada kelak mencoreng nama keluarga. Alqur’an menggambarkan: “Apabila seseorang
dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah-padamlah
mukanya, dan dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah hidup-hidup? (QS. 16: 58-59).
Mut’ah
di Makassar
Makassar
sejak dahulu hingga kini tetap menjadi salah satu kota terpenting dan memiliki
daya pikat yang tinggi. Satu di antara sekian daya pikat itu adalah tempat
menuai ilmu dari lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi yang berdiri di
setiap sudut Ibu Kota.
Kota
berpenduduk heterogen ini adalah tempat berkumpulnya segala etnis dari penjuru
Nusantara. Geliat kajian-kajian keislaman yang dipelopori segenap mahasiswa
juga demikan, tumbuh berkembang bak jamur di musim hujan. Dunia kampus adalah
dunia akademis yang penuh kebebasan dalam berekpresi. Dan undang-undang
menjamin hal itu.
Nikah
mut’ah yang dianjurkan –untuk tidak mengatakan diperintahkan—dari sebuah
gerakan pemahaman yang bernama Syiah juga sangat tumbuh subur. Hal ini
terungkap dengan jelas dan tidak dapat disangkal lagi, sebagaimana pandangan
beberapa intelektual diabolik (berwatak iblis, tahu kebenaran tapi tetap
ingkar) yang berpandangan bahwa nikah mut’ah itu hanya isapan jempol belaka.
Adalah
sebuah skripsi dari hasil penelitian mahasiswa Universitas Negeri Makassar tahun
2011 dengan judul “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah” telah mematahkan semua argumen
akan ketiadaan praktik nikah mut’ah di tengah-tengah kita. Golongan jin dan
Iblis pun tak kuasa membantah kenyataan pahit ini.
Dalam
skripsi itu tertulislah pengakuan beberapa wanita yang telah melakukan nikah
mut’ah. Tidak sedikit di antara mereka yang melakukan lebih dari sekali bahkan
berkali-kali. Motivasi utamanya adalah untuk menjalankan sunah rasul, karena
hadis-hadis tentang anjuran untuk nikah mut’ah sering disuguhkan para mentor.
Dituliskan
bahwa seorang mahasiswi yang masih berusia 24 tahun telah melakukan nikah
mut’ah sebanyak tiga kali. Mahasiswi pada salah satu perguruan tinggi ini
menikah untuk ketiga kalinya bersama seorang mahasiswa yuniornya, pernikahan
pertama kandas karena cerai sebelum kontranya habis, kedua dan ketiga berakhir
karena tempo yang telah disepakati telah
selesai.
Dikisahkan
pula bagaimana proses perkawinan itu berlangsung. Berawal dari ketertarikan antara lawan jenis
sebagaimana manusia normal pada umumnya, maka sang junior mengutarakan hatinya
–menembak, meminjam istilah anak muda zaman sekarang- kepada seniornya itu.
Sang mahasiswi menolak untuk pacaran, dan mengusulkan untuk nikah mut’ah saja.
Dengan penjelasan yang meyainkan dari sang senior dan atas
dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, mahar berupa hand phone dan
cincin disertai ucapan serah terima (ijab qabul) dan tempo kontrak,
tanpa wali nikah dan saksi apalagi walimah (pesta), maka pernikahan
mereka berdua sudah dianggap sah. Sepasang kekasih pun sudah halal melakukan
hubungan suami-istri. (Perempuan dalam Nikah Mut’ah, UNM 2011, ‘Skripsi’
hal. 61).
Bahkan
ada yang berpandangan, makin sering bermut’ah maka derajat seseoang makin
tinggi, sekali bermut’ah akan berada satu derajat dengan Imam Hasan, dua kali
bermut’ah akan sama dengan Imam Husein, tiga kali bermut’ah menyerupai Imam
Ali, dan empat kali bermut’ah derajatnya setingkat Rasulullah SAW. Bahkan jika
tidak melakukan nikah mut’ah maka akan termasuk dalam golongan orang-orang
kafir.
Ahlussunnah
(Sunni) telah sebulat suara terhadap nikah mut’ah yang telah dan sedang
dipraktikkan oleh golongan Syiah di tengah-tengah kita adalah mutlak
keharamannya. Dari segi mana pun nikah mut’ah tidak bisa ditolerir. Salah satu
tujuan pernikahan adalah untuk menggapai mawaddah warahmah (cinta dan
kasih sayang) dan asas yang mendasari tujuan tersebut tak akan tercapai dalam
mut’ah. Perkawinan semacam itu tidak bertanggung-jawab, suami-suami yang
seharusnya qawwamuna ‘alannisa’ (memimpin wanita secara
bertanggung-jawab pada istri-isrti) disini berbalik menjadi, “habis manis sepah
dibuang”. Karena itu jika memiliki anak dari nikah mut’ah maka si anak sama
sekali tidak memiliki hak untuk mewarisi pusaka ‘mantan’ ayahnya. Begitu pula
seorang mantan istri jika kontrak pernikahannya sudah selesai, maka ia tak
memiliki hak untuk menuntut apa-apa dari mantan suaminya, yang ‘mungkin’ sudah
mut’ah dengan wanita lain yang lebih segar.
Maka
sangat jelas manfaat fatwa MUI Pusat pada tahun 1997 atas kesesatan nikah
mut’ah sebagaimana yang tertulis dalam, “Himpunan Fatwa MUI, hal. 350-355”.
“Mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni [Ahlussunnah wal
Jama’ah] yang tidak mengakui dan menolak paham syiah secara umum dan ajarannya
tentang nikah mut’ah secara khusus”.
Demi
menghindari merebaknya ‘penyakit’ kawin kontrak di atas, maka segenap komponen
masyarakat harus turut berpartisipasi mensosialisasikan fatwa MUI tersebut.
Demi terjaganya generasi ini dari aliran sesat dan amalan perusak syariat serta
khazanah budaya yang sangat menghargai proses dan nilai-nilai sebuah
pernikahan. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar & Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments