Etika dan Ilmu
Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Sulsel telah
mengadakan diskusi ilmiah yang rutin dilakukan setiap dua bulan sekali, pada hari Sabtu, 1
Desember 2012 lalu. Ini merupakan diskusi ke-VI
sekaligus pamungkas untuk tahun 2012. Judul di atas terinspirasi dari intisari diskusi yang bertema,
“Apa Kata Alquran tentang Ilmu Pengetahuan” yang berlangsung di Grand Clarion
Hotel, ada pun yang bertindak sebagai narasumber pada diskusi ilmiah tersebut adalah
Prof. Dr. Ahmad M. Sewang dan Prof. Dr. HM. Arief Tiro, namun hadir pula
pembicara undangan Prof. Dr. Jimly Assiddiqi yang dipandu oleh Dr. Ir. H. Fuad
Rumi.
Karena pada acara yang mulia itu
penulis ditunjuk sebagai ‘juru tulis’ yang bertugas menulis seluruh percakapan,
baik pemateri maupun para peserta diskusi yang bertanya atau menanggapi para
pembicara, maka penulis tidak punya kesempatan untuk bertanya atau sekadar
menyampaikan catatan-catatan khusus sebagaimana pada beberapa sesi diskusi
sebelumnya. Untuk itulah penulis mecoba menyampaikan sedikit pandangan lewat
tulisan ini.
Sebagai
pembicara undangan, Prof. Jimly Assiddiqi mendapat kesempatan mengeksplorasi
pandangannya, beliau mengatakan, “Apa yang akan kita bahas pada pertemuan ini
adalah merupakan masalah penting untuk sama-sama membangun umat. Jadi tema di atas tidak bisa dibahas dengan
satu pertemuan, masalah pendidikan
adalah agenda sepanjang hayat. ICMI hadir sebagai organisasi cendekiawan
untuk mendorong kemajuan bangsa dan umat.
Karena bulan Desember ini ICMI akan mengadakan Silaturrahmi Nasional (Silatnas),
berarti apa yang kita bahas saat ini bisa menjadi bahan Silatnas nanti.”
Lalu beliau
mengakui jika dirinya bukanlah pakar
pendidikan, tapi tetap bergelut dalam dunia pendidikan. Untuk itulah, “Saya
ingin menjabarkan dalam bidang norma, yaitu norma hukum, norma kehidupan
berbangsa dan bernegara. Saat ini terjadi krisis yang sangat berat dalam
kehidupan bernorma. Lihatlah di seluruh Negara saat ini penjaranya semua penuh,
karena kejahatan terus berkembang, cyber
crime, ganja, dll. sudah menjadikan pelakunya sebagai pelaku tindak
kejahatan, cyber crime tiga puluh
tahun yang lalu adalah suatu hal yang tak pernah terlintas dalam pikiran kita,
begitu pula ganja yang dulunya dijadikan penyedap rasa dan sayur-mayur, saat
ini jangankan mengkonsumsi, menanamnya saja sebuah kejahatan besar.”
Suatu
hari, lanjut mantan Ketua MK ini, merokok
bisa bisa saja menjadi sebuah kejahatan. Kalau Negara lain penjaranya
menghadapi over capacity, maka penjara
di Indonesia sudah sesak, sehingga di Jabar, para napi harus bergantian
istirahat. Hukum tidak bisa lagi dijadikan andalan untuk
mengatasi kejahatan. Hukum harus dibantu oleh norma, agama, dan etika.
Dengan
itu, sang Guru Besar mewacanakan untuk mendirikan ‘Pengadilan Etika’ yang dapat
mengadili masyarakat yang dianggap melanggar norma dan etika. Pengadilan
tersebut bisa dilakukan oleh institusi mana pun termasuk kampus. Mahasiswa,
dosen, dan para staf dapat diadili jika memang terbukti telah melakukan
pelanggaran etika, sangsinya bisa berupa teguran, skorsing, hingga pemecatan,
sesuai kadarnya, yang jelas mereka tidak akan masuk penjara. Andai saja ‘Pengadilan Etika’ telah ada, maka
Bupati Garut, Aceng Fikri yang telah melakukan tindakan tidak terpuji dengan
nikah lalu cerai hanya dalam durasi empat hari, dapat diajukan ke Pengadilan
Etika.
Al-Gazali
dan Al-Attas
Karena
berbicara masalah ilmu dan etika, maka tidak sah rasanya jika tidak
mengutarakan pendapat kedua tokoh pendidikan yang beda zaman, Imam Al-Gazali (1059-1111) dan
Naquib Al-Attas
(1931), kedua tokoh tersebut telah menggagas perpaduan ilmu dan etika.
Menurut
Al-Gazali pendidikanlah yang banyak membentuk corak satu bangsa. Ada pun
pokok-pokok pemikiran pendidikan Al-Gazali dapat dilihat dalam bukunya “Ihya
Ulumuddin” dan “Ayyuhal Walad”. Kedua karyanya itu tercipta setelah melewati
pengembaraan intelektual yang cukup panjang dan berliku.
Kunci
pokok pemikiran Al-Gazali dapat ditemukan pada pernyataannya tentang hakikat
pendidikan, yakni mengedepankan kesucian jiwa ‘tazkiah an-nufus’ dari akhlak
yang hina dan sifat-sifat tercela, karena ilmu merupakan ibadahnya hati, salat
yang bersifat rahasia, dan sarana pendekatan batin kepada Allah. (Munif, 2007:
16-17).
Ada
pun konsep pendidikan yang dikembangkan Al-Gazali mencakup empat aspek:
pendidikan jasmaniah, pendidikan akhlak, pendidikan akal, dan aspek pendidikan
social yang kesemuanya harus diwujudkan secara utuh dan terpadu agar dapat
menghasilkan manusia seutuhnya. Namun secara singkat, pokok-pokok pemikiran
pendidikan Al-Gazali terdapat tiga hal, pertama, tentang keutamaan ilmu dan
upaya memperolehnya. Kedua, kategorisasi
ilmu yang terbagi dua, ilmu fadhu ‘ain
atau yang wajib dipelajari, seperti ilmu tentang keesaan Allah (Tauhid), dan
tata cara beribadah sesuai tuntunan agama (syariat), dan ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, pertanian, peternakan, perikanan,
industry, dst. Dan ketiga, kewajiban-kewajiban pokok bagi seorang guru dan anak
didik. (Syamsul dan Erwin, 2001: 89).
Selain
itu, Al-Gazali juga menekankan keutamaan dan kemuliaan profesi seorang guru,
beliau menulis. “Seorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya, maka
dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit ini. Ia adalah ibarat
matahari yang menyinari orang lain dan mencahai pula dirinya sendiri, dan
ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun
harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, maka sesungguhnya ia telah
memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting. Maka hendaknya ia
memelihara adab dan sopan santun.” (Ihya Ulumuddin, t.th.:52).
Ada
pun Al-Attas, memandang bahwa pendidikan sebagai jalan utama dalam mendapatkan
ilmu adalah tidak bisa dipisahkan dengan etika atau adab. Untuk itulah dalam
memaknai pendidikan dia menggunakan kata ta’dib,
karena baginya pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab kepada manusia
alias ta’dib. (Al-Attas, 1981:222).
Selanjutnya,
Guru Besar kelahiran Bogor dan berdomisili di Malaysia ini menguraikan bahwa
adab yang diturunkan dari akar kata yang sama dengan ta’dib, secara singkat dapat dikatakan sebagai lukisan keadilan
yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan atas berbagai hierarki
dalam tata tingkat wujud, eksistensi pengetahuan, perbuatan, seiring dengan
pengakuan itu. Adab dapat berarti melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan
pikiran jiwa yakni pencapaian dan sifat-sifat yang baik oleh pikiran jiwa untuk
menunjukkan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, dan yang suci melawan
yang ternoda. Menurut Al-Attas, betapapun ilmiahnya dan canggihnya sebuah
pendidikan tapi jika tidak ditanamkan unsur etika di dalamnya, maka tak layak
diesbut pendidikan.
Allah
menegskan dalam Alquran (Almujadalah: 11), bahwa orang yang ditinggikan
derajatnya adalah orang berilmu dan beriman. Kolaborasi yang padu antara ilmu
dan iman yang merupakan manifestasi dari etika dipastikan akan mengangkat harkat
martabat bangsa dan umat. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar,
Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments