MUHAMMMAD PEMIMPIN AGAMA & NEGARA DI MADINAH*
“In the experience of the first Muslims,
as preserved and recorded for later generations,
religious truth and political power were indissolubly associated:
the first sanctified the second, the second sustained the first.”[1]
(Bernard
Lewis)

Muhammad SAW datang di kala dunia dipengaruhi oleh dua kuasa besar,
Persia dan Romawi, kedua kuasa besar ini menghimpit dataran Semenanjung Arabia,
yang dihuni oleh bangsa Arab yang silsilahnya diyakini bersambung langsung
kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS).
Ribuan tahun lamanya, para keturunan Nabi Ibrahim ini tetap
berpegang teguh pada ajaran yang yang berlandaskan tauhid atau mengesakan Allah
alias monoteis hinggalah salah seorang pembesar Quraisy Mekkah membawa
‘oleh-oleh’ dari Syam berupa sesembahan, dialah Amru bin Luhai, yang telah
mendatangkan berhala bernama “Hubal” untuk disembah oleh penduduk Makkah agar
kiranya bisa mendapatkan hujan di musim kemarau, membantu memenangkan dalam
pertempuran. dan beragam manfaat lainnya, termasuk menyembuhkan siapa saja yang
sakit. Penduduk Mekkah merespon dengan baik, mereka berduyun-duyun menyembah
berhala itu, bahkan berhala-berhala itu kian bertambah, dari ragam jenis dan
bentuk, termasuk yang terbuat dari bahan makanan.
Hal ini berkesinambungan, hinggalah datang seorang yang mengaku
sebagai Nabi dan Rasul terakhir, dan mengajak para penduduk Mekkah umumnya dan kaum Quraisy khusunya
untuk kembali kepada agama yang dianut oleh Nabi Ibrahim AS. Orang yang
mengklain dirinya sebagai nabi dan rasul itu bernama Muhammad, yang selama ini
tidak pernah ada cacat dalam diri dan tingkah lakunya, ia adalah manusia yang
sempurna, di tengah dekadensi moral penduduk Mekkah, lebih dari itu, dia telah
mendapatkan gelar “al Amin” atau yang terpercaya di tengah maraknya budaya
khianat.
Makalah ini akan menguraikan tentang, bagaimana keadaan dunia saat
Nabi Muhammad diutus?; Siapa dan bagaimana latar belakang sang Nabi?; Apakah
esensi hijrah itu?; Serta bagaimanakah pola kepemimpinan Nabi di Madinah?
Dunia Pra
Muhammad
Berbicara
mengenai diri dan peran Muhammad sebagai pembawa risalah di muka bumi ini, maka
kita tidak bisa melepaskan diskursus tentang kebiasaan atau adat istiadat para
penghuni Semenanjung Arabia dan sekitarnya, juga letak bumi Arab dalam peta
dunia, karena tentu saja Allah punya alasan mengapa Dia mengutus nabi-Nya di
negeri yang tandus ini. Tentu saja, letak geografis akan sangat mendukung pengembangan
suatu misi dan memperluas pengaruhnya.
Selain itu, hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui adalah
keadaan penghuni bumi yang mengepung Semenanjung Arabia seperti Bangsa Persia,
Romawi, Yunani, dan India. Bangsa-bangsa tersebut merupakan bangsa tertua di
dunia yang mengelilingi bumi Arabia. Kelakuan bangsa-bangsa tersebut harus juga
diketahui agar dapat membandingkan dengan keadaan pada masa-masa mendatang
setelah Muhammad mengembangkan ajarannya.
Sebelum kedatangan Muhammad, dunia saat itu dikuasai, dijajah, atau
dipengaruhi oleh dua kuasa besar “super powor”
yaitu Romawi dan Persia. Selain dari dua kuasa besar tersebut ada juga
bangsa lain yang merupakan bangsa tertua juga memiliki kekuasaan tersendiri
yaitu Yunani dan India. Tentu saja kedua negara yang terakhir kita sebut adalah
jauh lebih lemah di banding Romawi dan Persia.
Saat itu, Persia menjadi medan tumbuhnya pelbagai aliran keagamaan,
yang senantiasa bersengketa antara satu dengan yang lainnya tanpa kesudahan.
Kepercayaan Zoroastrianisme memegang posisi tertinggi, dan menjadi agama resmi
penguasa Persia. Zarathustra hidup sekitar seribu tahun sebelum kristus, ia
berasal dari Iran Utara, atau Utara Afganistan, tidak ada yang tahu pasti asal
muasalnya, namun yang pasti dia tak pernah mengklain dirinya sebagai seorang
nabi atau penyalur energi ilahi; apalagi tuhan atau dewa. Dia hanya menganggap
dirinya seorang filsuf dan pencari kebenararan, namun pengikutnya menganggapnya
seorang suci.
Penyelewengan pengikutnya tidak hanya sampai di situ, namun
‘berkembang’; di antara ajarannya adalah bahwa seorang seseorang lelaki itu
digalakkan menikahi ibu kandungnya jika si bapak telah meninggal, atau anak
perempuannya sendiri atau pun saudara perempuannya sendiri, agar harta
kekayaannya itu tidak akan lepas ke tangan orang lain.
Seoarang pemimpin Persia bernama Yazdadil Atsani yang memerintah
pertengahan abad ke-5 M. telah memperistrikan anak perempuannya sendiri. Selain
itu adalagi agama “Mazdak” yang di antara ajarannya adalah semua wanita halal
bagi laki-laki sekali pun mereka adalah istri orang lain, saudara kandung, dan
ibu yang melahirkannya, begitu pula semua harta di dunia ini adalah milik
bersama dan halal untuk digunakan oleh siapa pun.[2]
Di belahan dunia lain, terdapat Bangsa Romawi. Bangsa yang suka
menindas dan menjajah bangsa lain. Dan dengan itulah mereka mendewa-dewakan
kekuasaan. Di lain pihak, juga terjadi sengketa agama, antara penganut Kristen
Romawi dan penganut Kristen Mesir.
Bangsa ini sangat tergantung oleh kekuatan tentaranya untuk
mencaplok bangsa-bangsa lain. Dan dengan itu pula mereka bebas menyebarkan
agama Kristen dengan paksa. Diperparah lagi dengan kecendrungan para petinggi
dan kaisarnya hidup bermewah-mewah di bawa penderitaan rakyatnya. Pajak menjadi
pendapatan negara dengan harga yang melangit.[3]
Ada pun Bangsa Yunani, mereka dikenal sebagai bangsa pemikir,
penyair,dan penulis, mereka adalah kaum intelak. Maka lahirlah ilmuan-ilmuan
handal yang hingga saat ini namanya masih abadi, tersebutlah, Socrates, Plato,
Aristotels, dll. Namun ironis, di antara mereka larut dalam perdebatan tentang
alam metafisika, mereka bingung, dan melahirkan kebingungan tentang ketuhanan.
Belahan bumi lainnya, beranjak ke Asia Tengah, tepatnya di India.
Mereka sangat terperosok dalam kenistaan karena terpengaruh oleh Bangsa Persia.
Diperkirakan puncak kehancuran moral bangsa India adalah pada abad ke-6 M.
Menjelang Muhammad diutus di muka bumi ini.
Setali tiga uang dengan bumi Arabia, terjadi penyelewengan dari
ajaran Nabi Ibrahim yang mentauhidkan Allah menjadi penyembah berhala-berhala
–dari penganut monotheis menjadi
paganisme. Sejarah telah mencatat bahwa orang yang bertanggungjawab membawa
ajaran paganisme dan merusak ajaran Nabi Ibrahim adalah Amru bin Luhai bin
Kuma’ah, kakek dari dari klan Khuza’ah yang merupakan klan paling terknal di
Arab saat itu.
Pada mulanya Amru bin Luhai berangkat ke Syam dan masuk ke Maak
sebuah perkampungan yang di duduki kaum Amlik yang silsilahnya bersambung
kepada Nabi Nuh AS. Amru bin Luhai bertanya kepada kaum tersebut, “apa yang
menyebabkan kalian menyembah berhala-berhala itu?”. Mereka menjawab, “dengan
menyembah berhala, ketika musim kemarau tiba hujan pun turun; jika terjadi
perang kami menyembah berhala dan dengan itu kami pun menang!”. Dengan itu Amru
pun tertarik untuk mendatangkan salah satu berhala itu ke Makkah yang sedang
terjadi musim kemarau dan kerap dilanda perang saudara. Dan ia pun mengangkut
“Hubal” sebagai berhala perdana ke Mekkah. Bermulahlah era baru kegelapan dalam
beragama; Jahiliyah.
Sebagai kota bisnis ‘jasa’ agama, Mekkah memang memiliki pesona
dari dulu hingga kini. Dari dulu para turis “peziarah” datang ke Ka’bah untuk
melakukan tawaf berkeliling menurut pemahaman jahiliyah, mereka melakukannya
dengan keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benang pun menutup tubuhnya.
Bergiliran, lelaki di siang hari dan wanita di malam hari. Hal itu mereka
lakukan karena ketika melakukan dosa mereka berpakaian, dan menganggap pakaian
mereka terlibat dalam dosa. Dan jika sedang mencuci dosa, ia tidak butuh
pakaian itu; logika terbalik?
Ibadah haji, seperti tawaf, umrah, wukuf di Arafah, dan berkurban
di Mina semua itu mereka lakukan sejak sebelum diutusnya Nabi, tetapi dengan
rukun dan syarat yang jungkir balik. Dulu bangsa Quraisy dan Kinanah
ketika musim haji, mereka juga mengucapkan talbiyah dengan mengatakan, “tiada
sekutu bagi Tuhan” kemudian menambahkan lagi kalimat seperti ini, “kecuali
sekutu yang Engkau sendiri pilih yang Engaku milikinya, tetapi dia tidak
mempunyai milik”. Itulah di antara sekelumit khurafat yang terjadi seblum
diutusnya Muhammad di tengah mereka.
Sekilas Tentang
Muhammad

Ketika Muhammad berusia dua puluh lima tahun, seorang janda kaya
yang pengusaha bernama Khadijah mempekerjakannya untuk mengelolah kafilahnya
dan menjalankan bisnis untuknya. Masyarakat Arab umumnya saat itu, tidak pernah
ramah terhadap perempuan, namun Khadijah telah mewarisi kekayaan suaminya, dan
fakta bahwa dia memegang kekayaan itu menunjukkan tentunya dia memiliki pribadi
yang kuat dan kharismatik.
Rasa saling menghormati dan kasih sayang antara Muhammad dan
Khadijah membuat keduanya melangsungkan perkawinan, sebuah kemitraan yang
berlangsung hangat, langgeng, dan harmonis sampai kematian Khadijah 25 tahun
kemudian. Meskipun Arabia adalah masyarakat penganut poligami di mana memiliki istri
lebih dari satu adalah hal biasa, Muhammad tidak menikah dengan wanita lain
selama bermitra dengan Khadijah.[5]
Sebagai orang dewasa, anak yatim itu membangun kehidupan pribadi
dan bisnis yang cukup sukses. Ia mendapatkan reputasi karena keahlian
diplomatik, dan pihak-pihak berselisih kerap memintanya untuk bertindak sebagai
penengah. Namun, ketika Muhammad mendekati usia empat puluh, dia mulai
menderita apa yang sering kita sebut krisis setengah baya. Dia mungkin bertanya-tanya
tentang makna kehidupan. Memandang ke sekeliling, dia melihat sebuah masyarakat
bergelimang kekayaan, namun di tengah semua kemakmuran itu, dia menyaksikan
banyak janda yang hidup miskin dengan hanya mengandalkan derma, dan anak-anak
yatim harus berjuang untuk sekadar mendapat makan.
Beliau mengembangkan kebiasaan menyendiri pada waktu-waktu tertentu
dalam sebuah gua di gunung untuk bermeditasi “takhannuts”. Dia di sana, suatu
hari beliau mendapatkan pengalaman penting, yang hakikatnya hingga kini
misterius, karena berbagai kisah yang tersebar mungkin mencerminkan berbagai
deskripsi oleh Muhammad sendiri. Tradisi yang telah melekat menyebut pengalaman
itu sebagai kunjungan dari malaikat jibril. Dalam suatu kisah, Muhammad
berbicara tentang “kain sutera yang di atasnya terdapat beberapa tulisan”
dibawakan kepadanya saat ia sedang tidur. Akan tetapi, utamanya itu adalah
interaksi lisan dan pribadi, yang dimulai ketika Muhammad sedang bermeditasi
dalam kegelapan gua, merasakan sebuah kehadiran yang sangat besar dan
mengerikan: ada orang lain dalam gua itu bersamanya. Tiba-tiba ia merasa
dirinya didekap dari belakang dengan sangat keras sehingga ia tak bisa
bernafas. Lalu terdengar suara, yang tidak terasa sebagai terdengar dari luar
melainkan lebih seperti dari dalam dirinya sendiri, memerintahkan untuknya
untuk “membaca!”, Muhammad berhasil berbicara sambil terengah-engah bahwa
dirinya tidak bisa membaca. Perintah itu datang lagi, “bacalah!”, sekali lagi
Muhammad memprotes bahwa ia tidak bisa membaca, tidak tahu apa yang harus
dibaca, tapi malaikat –suara itu, dorongan itu- menyalak sekali lagi,
“bacalah!” setelah itu Muhammad merasa kata-kata agung yang membangkitkan ketakutan
terbentuk di dalam hatinya dan pembacaan itu pun dimulai,
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”[6]
Muhammad turun dari gunung dengan rasa takut, berpikir mungkin ia
telah dirasuki jin, roh jahat. Di luar, ia merasa sebuah kehadiran telah
memenuhi dunia hingga ke ujung cakrawala. Dalam beberapa riwayat, beliau
melihat sebuah cahaya dengan bentuk seperti manusia di dalamnya, namun lebih
menggelegar dan menakutkan. Di rumah, ia menceritakan kepada Khadijah apa yang
telah terjadi, dan sang istri meyakinkan bahwa beliau benar-benar waras dan apa
yang datang kapadanya itu adalah sesungguhnya malaikat, dan dirinya sedang dipanggil
untuk melayani Allah. Mitra yang cerdas tentunya! “aku percaya padamu” sahut
Khadijah pada suaminya, dan dengan demikian ia adalah pengikut pertama
Muhammad, Muslim pertama.
Pada mulanya, Muhammad berdakwah hanya kepada teman-teman akrab dan
kerabat dekat. Untuk beberapa lama, ia tidak mengalami pewahyuan lagi, dan itu
membuatnya depresi: merasa seperti gagal. Namun kemudian wahyu mulai datang
lagi. Lambat laun, ia mulai menyampaikan risalahnya kepada publik, hingga
memberitahu orang-orang di sekitar Makkah, “Hanya ada satu Allah. Tunduk
kepada kehendak-Nya, atau engkau akan dihukum ke neraka” ia pun menyebutkan
bentuk-bentuk ketundukan kepada Allah itu: meninggalkan pesta pora,
mabuk-mabukan, kekejaman, dan tirani; menyayangi yang lemah dan tak berdaya;
membantu orang miskin; menegakkan keadilan; dan berbuat baik. Di antara banyak
kuil –tempat menyembah berhala- di Mekkah, ada bangunan berbentuk kubus dengan
sebuah batu yang dimuliakan di pojoknya, sebuah batu hitam hajar aswad
mengilap yang jatuh dari langit pada zaman dahulu kala –semacam meteor, mungkin
saja. Kuil ini disebut ka’bah, dongen suku-suku –sebelum turunnya al Qur’an,
mengatakan bahwa Ibrahim sendirilah yang membangunnya, dengan bantuan putranya
Ismail yang juga seorang nabi. Muhammad menganggap dirinya sebagai keturunan
Ibrahim dan tahu semua tentang monoteisme Ibrahim yang tanpa kompromi.[7]
Memang, Muhammad tidak pernah befikir bahwa ia menyampaikan sesuatu yang baru;
ia yakin bahwa dirinya diutus untuk memperbarui apa yang disebut ajaran (agama)
Ibrahim millah ibrahim dan nabi-nabi yang datang sebelumnya, sehingga ia
memusatkan perhatiannya pada Ka’bah. Inilah, katanya, yang harus menjadi satu-satunya
tempat suci di Mekkah; Baitullah.[8]
Al dalam bahasa
Arab berarti “yang itu”, sedangkan lah adalah bentuk penghilangan
bunyi dalam percakapan dari kata ilah, yang berarti “tuhan”. Allah,
dengan demikian berarti “Tuhan”. Inilah point inti dalam Islam: Muhammad
bukan berbicara tentang “tuhan yang ini” versus “tuhan yang itu”. Dia tidak
mengatakan, “Percayalah kepada Tuhan yang disebut Lah karena Dia adalah
tuhan terbesar dan terkuat,” atau bahwa Lah
adalah “satu-satunya tuhan sejati” dan semua yang lain adalah palsu. Orang
mungkin bisa bermain nalar dengan gagasan seperti itu dan masih berfikir
tentang Tuhan sebagai sebuah wujud tertentu dengan kekuatan adialami, mungkin
makhluk yang tampak seperti Zeus, memiliki keabadian bisa mengangkat seratus
unta dengan satu tangan, dan tak ada duanya. Itu akan tetap merupakan sebuah
keyakinan pada satu tuhan. Muhammad mengusulkan suatu yang berbeda dan lebih
besar. Dia mengajarkan bahwa ada satu Tuhan yang mencakup semua dan universal
sehingga tidak bisa dihubungkan dengan gambaran tertentu, atribut tertentu,
hingga batasan tertentu. Hanya ada Allah dan semua yang lain adalah
ciptaan-Nya: inilah pesan yang beliau sampaikan kepada siapa saja yang mau
mendengarkan.[9]
Mekkah adalah kota perdagangan dan niaga yang luas, tetapi bisnis
terbesar mereka yang paling bergengsi adalah agama, Mekkah memiliki setidaknya
seratus kuil untuk dewa-dewa kafir dengan nama seperti Hubal, Manat, Allat, al
Uzza, dan Fals. Para peziarah mengalir masuk tak putus-putusnya untuk
mengunjungi situs-situs peribadatan itu, melaksanakan ritual, dan melakukan
bisnis kecil di samping itu, sehingga Mekkah memiliki industri wisata yang
sibuk dengan penginapan, bar-bar, toko-toko, dan jasa katering untuk para
turis. Kota ini berkembang pesat dengan beragam keuntungan dari tempat
mabuk-mabukan, perjudian, prostitusi, serta atraksi lain yang sejenis, dan
pialang kekuasaan suku tidak bisa
menoleransi orang yang menyeru untuk menentang jenis hiburan yang membawa
kekayaan dan kemakmuran bagi mereka, bahkan jika hanya mendapat segelintir
pengikut, banyak di antara mereka adalah orang-orang miskin tak berdaya dan
para budak. Namun tidak semua pengikutnya orang miskin dan para budak. Di
antara mereka termasuk orang-orang kaya dan pedagang terhormat seperti Abu
Bakar dan Utsman, dan tak lama kemudian bahkan mencakup Umar yang bertubuh
besar dan gagah, yang awalnya merupakan salahsatu musuh Muhammad paling sengit.
Kecendrungan ini kian mengusik para pemuka Makkah karena merasa bisnisnya akan
terancam.
Hampir dua belas tahun, paman Muhammad, Abu Thalib membela dirinya
terhadap semua kritik, Abu Thalib sendiri tidak pernah memeluk agama yang
didakwakan oleh Muhammad, namun ia berdiri membela kemenakannya lantaran kesetiaan
pribadi dan cinta, dan perkataannya sangat didengar dan dihormati. Khadjiah
juga mendukung suaminya tanpa ragu dan memberinya kenyamanan yang amat
berharga. Kemudian, setelah melewatkan waktu satu tahun yang berat, kedua tokoh utama dalam kehidupan Muhammad
ini wafat, membuat Rasul Allah tersebut terbuka terhadap serangan
musuh-musuhnya. Tahun itu, tujuh tetua suku Quraisy memutuskan untuk membunuh
Muhammad ketika ia tidur, dan dengan demikian menyingkirkan sang pengacau
sebelum ia bisa melakukan kerusakan riil terhadap perekonomian. Salah satu
paman Muhammad memelopori beberapa persekongkolan semacam itu. Sesungguhnya,
ketujuh anggota komplotan itu memiliki kerabat dekat dengan Muhammad.[10]
Untungnya, Muhammad menangkap kabar tentang persekongkolan itu dan
juga menyusun rencana untuk menggagalkannya dengan bantuan dua sahabat
dekatnya. Salahsatunya adalah sepupunya Ali, yang kini adalah seorang pemuda
tegap, yang akan segera menikah dengan Fatimah putri Rasul. Yang lain adalah
sahabatnya, Abu bakar, pengikut setia
Muhammad di luar lingkaran keluarga dan penasihat terdekatnya yang kelak
menjadi ayah mertuanya.
Hijrah dan
Kepemimpinan Muhammad di Madinah

Muhammad memiliki reputasi sebagai seorang yang berfikiran adil dan
cakap, peran yang telah dimainkannya dalam beberapa perselisihan penting, dan
karenanya orang Yastrib berfikir beliau mungkin orang yang cocok untuk
pekerjaan itu. Beberapa di antara mereka mengunjungi Mekkah untuk bertemu
Muhammad dan menemukan karismanya yang luar biasa. Mereka masuk Islam dan
mengundang Muhammad untuk pindah ke Yastrib sebagai penengah dan membantu
mengakhiri semua pertentangan; Sang Nabi menerima.
Pembunuhan Muhammad direncanakan pada malam bulan September tahun
622 M. Malam itu, Nabi dan Abu Bakar menyelinap pergi ke gurun. Ali berbaring
di tempat tidur menggantikan Nabi yang seolah-olah beliau masih ada di situ.
Ketika kawanan pembunuh menerobos masuk, mereka geram karena menemukan Ali,
tetapi mereka membebaskannya dan mengirim regu keluar untuk memburu Nabi.[11]
Muhammad dan Abu bakar baru sampai di sebuah gua di dekat Mekkah, namun legenda
mengisahkan bahwa laba-laba membangun jaringan di mulut gua setelah mereka
masuk. Ketika regu pencari datang dan melihat laba-laba itu, mereka menyangka
tak seorang pun masuk kedalamnya, dan melewatkannya.[12]
Muhammad dan Abu Bakar berhasil selamat sampai ke Yastrib, menyusul
kemudian beberapa pengikutnya yang telah memeluk Islam. Sebagian besar imigran
dari Makkah ini harus meninggalkan rumah dan harta benda mereka di belakang;
sebagian besar memutus hubungan dengan anggota keluarga dan sesama suku yang
belum masuk Islam.[13]
Tapi setidaknya mereka pindah ke tempat di mana mereka akan aman, dan di mana
pemimpin mereka Muhammad telah diundang untuk memimpin sebagai otoritas
tertinggi kota (negara?) penengah di antara suku para kepala suku yang saling
bentrok.
Sesuai dengan janjinya, Muhammad duduk bersama dengan suku-suku
yang bertikai di kota untuk menuntaskan perjanjian (yang kemudian disebut
Piagam Madinah). Perjanjian ini menjadikan kota itu sebuah konfederasi, menjamin
bagi masing-masing suku hak untuk menjalankan agama dan adat istiadat sendiri,
menerapkan bagi semua warga negara peraturan yang diranacang untuk menjaga kestabilan
dan perdamaian secara keseluruhan, menegakkan suatu proses hukum murni untuk
menyelesaikan masalah internal suku mereka sendiri dan menyerahkan kepada
Muhammad kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antarsuku. Yang paling
penting, semua penandatangan, muslim dan non muslim, berjanji untuk bergabung
dengan semua yang lain untuk membela Madinah terhadap serangan dari luar.
Meskipun dokumen ini disebut konstitusi tertulis pertama, itu sebenarnya
merupakan sebuah perjanjian multi partai untuk menunjuk seorang pemimpin. Dan
Muhammad-lah pemimpinnya.
Penduduk asli Yastrib yang menjadi pengikut Muhammad menjadi tuan
rumah bagi pendatang baru –dari Mekkah dan keluarganya, membantu mereka menetap,
dan memulai kehidupan baru. Sejak saat itu, muslim Yastrib disebut Anshar “para
penolong”.
Nama kotanya juga berubah. Yastrib menjadi Madinah, yang secara
sederahana berarti “kota” (kependekan dari ungkapan yang barmakna ‘kota sang nabi’).[14]
Peristiwa kepindahan kaum muslim dari Mekkah ke Madinah, dikenal sebagai Hijrah
(kadang dieja Hijriyah atau Hegira dalam bahasa Inggris), dan para
pelakunya disebut Muhajirin “mereka yang berhijrah”. Dua belas tahun kemudian,
ketika umat Islam menciptakan kalender mereka sendiri, mereka menghitungnya
dari peristiwa hijrah itu, mereka rasa, menandai poros sejarah, titik balik
nasib mereka, momen yang membagi semua waktu menjadi sebelum Hijrah dan setelah
Hijrah.
Sebagian agama menandai hari kelahiran pendiri mereka sebagai titik
awal mereka; sebagian hari wafatnya; dan yang lain saat pencerahan nabi mereka
atau interaksi kunci dengan Allah. Dalam ajaran Budha, misalnya agamanya
dimulai saat Sidharta Gautama mencapai pencerahan di bawah pohon bodhi.
Kekristenan memberi arti penting keagamaan pada pristiwa kematian dan
kebangkitan kristus (dan juga kelahirannya). Akan tetapi Islam tidak memberi
banyak perhatian pada hari kelahiran Muhammad. Kendati sebagian negara
memperingati hari kelahirannya dan menyebutnya maulid, seperti Mesir, Malaysia,
dan Indonesia, namun tetap saja kita tidak mengenal “Mohammedmas”.[15]
Apa yang membuat perpindahan dari satu kota ke kota lain begitu
penting? Hijrah menempati kedudukan terpenting di antara peristiwa-peristiwa
dalam sejarah Islam karena menandai lahirnya komunitas muslim. “Ummah”
sebagaimana sebutannya dalam Islam.
Sebelum hijrah, Muhammad adalah seorang juru dakwah dengan pengikut
individual. Setelah hijrah beliau adalah pemimpin masyarakat yang berpaling
kepadanya untuk mendapatkan perundang-undangan, arah politik, dan bimbingan
sosial. Kata “hijrah” bisa juga
diartikan sebagai pemutusan hubungan. Orang-orang yang bergabung dengan
komunitas di Madinah meninggalkan ikatan kesukuan dan menerima kelompok baru ini
sebagai ikatan transenden, dan karena komunitas ini secara keseluruhan
berkenaan dengan membangun alternatif bagi Mekkah masa kecil Muhammad, ia
merupakan sebuah proyek sosial yang
bersifat ibadah dan berdimensi epik.[16]
Proyek sosial ini yang menjadi jelas sepenuhnya di Madinah setelah
Hijrah, adalah unsur inti Islam. Cukup jelas, Islam adalah sebuah agama, tetapi
sejak awalnya –jika Hijrah diambil sebagai awal ‘pergerakan’, juga bisa
merupakan entitas politik; Islam menentukan cara untuk menjadi baik menurut
standar ajarannya, dan setiap muslim yang taat berharap bisa mengikuti ajaran
itu dengan harapan kelak ia akan masuk surga, tetapi bukan berfokus kepada
keselamatan individu atau sendiri-sendiri, Islam menyajikan sebuah rencana
‘politik’ untuk membangun masyarakat yang taat. Individu memperoleh tempat di
surga dengan berpartisipasi sebagai anggota dari komunitas dan terlibat dalam
proyek sosial Islam, yang bertujuan membangun sebuah dunia di mana anak-anak
yatim tidak merasa diterlantarkan, para janda tidak akan pernah menjadi
tunawisma, lapar, atau takut. Islam mengajarkan kesalehan individu sekaligus
sosial.
Setelah Muhammad menjadi pemimpin Madinah–negara dan agama-,
orang-orang datang kepadanya meminta bimbingan –mereka yang datang tak kenal
latar belakang, ras maupun kepercayaan- dan penilaian tentang segala macam
pertanyaan kehidupan, besar atau kecil; bagaimana mendidik anak-anak ...
bagaimana cara membuang hajat dan bersuci ... apa yang dianggap adil dalam
sebuah perjanjian ... apa yang harus dilakukan terhadap seorang pencuri ...
bagaimana ini... bagaimana menyikapi sperti itu... daftarnya berlanjut terus.[17]
Pertanyaan dalam banyak masyarakat lainnya akan diputuskan oleh
beberapa spesialis terpisah, seperti hakim, legislator, pemimpin politik,
dokter ‘tabib’, pendidik, jenderal, dan lain-lain, semuanya berada dalam
lingkup pengetahuan sang Nabi; Presiden, persis![18]
Bagian al Qur’an yang diturunkan di Mekkah memiliki mayoritas
redaksi seperti ini:
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan dahsyat, dan bumi
mengeluarkan beban berat yang dikandungnya, dan manusia bertanya, “mengapa bumi
begini?”. Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya
tuhanmu menceritakan itu kepadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya
dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun
niscaya akan melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah
pun niscaya akan melihatnya pula.”[19]
Kontras dengan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah yang kita akan
temukan banyak ungkapan bersemangat, liris, dan mengecam, tetapi kita juga akan
menemukan bagian-bagian seperti berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[20]
Siapa pun yang membaca ayat diatas akan menilai bahwa ia adalah
undang-undang, mengatur hal-hal yang sangat spesifik yang belum pernah ada
duanya di alam jagad raya ini, dan ke arah inilah upaya masyarakat muslim
tumbuh dan berkembang, yang telah berakar di Madinah.[21]
Kesimpulan dan
Penutup
Banyak
faktor mengapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad SAW di
tempat dan saat yang tepat. Di mana masyarakat dunia saat itu telah berada pada
puncak jahiliyah yang sangat akut. Dekadensi moral yang merata, kebenaran
menjadi langka dan mahal. Pendek kata dunia benar-benar di ambang kehancuran
karena prilaku penghuninya yang sangat bejat.
Hal ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk kita
semua bahwa bangsa yang rusak moralnya adalah bangsa yang hanya menunggu waktu
untuk menuju kehancuran. Moral adalah salahsatu pilar utama tegak dan kokohnya
sebuah bangsa, negara, bahkan peradaban. Lihatlah bangsa Romawi yang doyan
menindas dan menjajah, bangsa Persia yang mendewakan nafsu dan menyuburkan
maksiat, semuanya pasti berakhir. Kini, negara mana pun yang seperti itu juga
tinggal menunggu ajal.[22]
Keberhasilan Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam tidak lepas dari
ajaran-ajaran yang beliau sampaikan bersifat universal; dibutuhkan oleh semua
orang kapan dan di manapun alias tak kenal setting ruang dan waktu.[23] Ajaran
Islam bersifat kekal sepanjang zaman. Tidak ada yang mengingkari perbuatan baik
seperti; membantu yang lemah, menyantuni anak yatim, membudayakan kejujuran,
mereduksi sifat tamak, sombong, angkuh, khianat dan sejenisnya. Islam
mengajarkan kesalehan individu tapi juga mengutamakan kesalehan sosial,
sehingga muslim yang ego dalam menjalankan ibadah “individual” tanpa ingin tahu
orang lain –jahat atau saleh- adalah masih tergolong orang-orang yang merugi.
Selain itu, terdapat banyak kerancuan dalam memandang Islam sebagai
agama yang universal. Mereka adalah para pengusung sekularisme yang memisahkan
agama dengan pemerintahan, mereka mengingkari kepemimpinan Nabi di Madinah
sebagai Kepala Negara. Penganut sekularisme mewajibkan para pengikutnya untuk melepaskan
agama jika ingin maju dan berkembang. Padahal sekularisasi bukanlah prasyarat
untuk mencapai kemodernan dan kemajuan. Masyarakat tidak mesti sekuler untuk
menjadi maju.[24]
Sebagaimana disinyalir oleh Bernard Lewis, sejak zaman Nabi
Muhammad SAW, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan
Rasulullah SAW sebagai Kepala Negara.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad tidak memolitisir agama, melainkan mengagamakan
politik, dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk kepentingan
politik. “Dalam pengalaman umat Islam generasi awal, sebagaimana dilestarikan
dan direkam untuk generasi sesudahnya, kebenaran agama dan kekuasaan politik
terkait erat tak terpisahkan. Yang disebut pertama menyucikan yang kedua,
sedang yang kedua mendukung yang pertama,” jelas Lewis.[25]
Keberhasilan Nabi Muhammad mengatur negara, menjaga dan menyebarkan
perdamaian adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Oleh karena
itu Islam berkembang pesat dalam kurung waktu yang singkat, dan perlu dicatat
kalau semua itu bermula dari kepemimpinan Nabi di Madinah yang dianggap ideal
dan idaman setiap manusia. Wallahu A’lam!
Oleh, Ilham Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar.
* Makalah ini
merupakan tugas individu pada mata kuliah Sejarah dan Pradaban Islam (I), pada
Program Pascasarjana Pengkajian Islam Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Angkatan XXVIII / Kelas MPI – 3, di bawah bimbingan Prof. Dr. H. A. Rahim Yunus,
MA., dan Dr. Hj. Nurul Fuadi, MA.,
dipaparkan dalam kelas pada hari Sabtu 24 Oktober 2011.
[1]“Dalam
pengalaman umat Islam generasi awal, sebagaimana dilestarikan dan direkam untuk
generasi sesudahnya, kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat tak
terpisahkan. Yang disebut pertama menyucikan yang kedua, sedang yang kedua
mendukung yang pertama”. Lihat, Bernard Lewis. The
Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (London: Weidenfeld &
Nicolson, 2003), h. 6.
[2] Nik Abdul Aziz
Nik Mat, Sirah Nabawiyah; Insan Teladan Sepanjang Zaman (Cet. I; Kuala
Lumpur: Nufair Street, 2004), h. 183.
[3] Ibid,
h. 185.
[4] Lihat, Tamim
Anshari dalam, Destiny Disrupted: A History of the Word thought Islamic Eyes,
diterjemahkan oleh Yuliani Liputo dengn judul, Dari Puncak Bagdad; Sejarah
Dunia Versi Islam (Cet. I; Jakarta: Zaman, 2010), 52, namun mayoritas
sejarawan muslim menulis dengan yakin waktu kelahiran Muhammad yang jatuh pada,
Senin pagi Tanggal 09 Rabiul Awal, atau bertepatan dengan 20 atau 22 April 571,
lihat misalnya karya Shafyurrahman Al Mubarakfury, Arrahiq Al Makhtum
(Lubnan: Darul Wafa’, 2008), h. 61.
[5] Ibid,
h. 67.
[6] Al Qura’anul
Karim, Surah Al ‘Alaq ayat 1 - 5,Terjemahan Departemen Agam RI.
(Jakarta: PT. Syamil Cipta Media).
[7] Tamim Anshari.
Op cit, h. 54.
[8] Ibid., h.
56.
[9] Ibid.,
h. 57.
[10] Lihat, Marting
Lings, Muhammad: His Life based on the Earliest Source diterjemahkan
oleh Qamaruddin dengan judul, Muhammad:
Kisah Hidup Nabi Berasarkan Sumber Klasik (Cet. IV; Jakarta: Serambi,
2008), h. 214. Belaiu menulis bahwa setelah melalui perdebatan panjang , dan
berbagai saran diajukan para pembesar-pembesar kafir Quraisy Mekkah mereka
menyetujui saran Abu Jahal untuk menghabisi Nabi, caranya, setiap kabilah
mengajukan seorang pemuda yang kuat dan
handal, serta mampu berkomunikasi dengan baik. Pada waktu yang ditentukan
diharapkan para pemuda utusan ini secara bersama-sama menyerang Muhammad dengan
melancarkan pukulan yang mematikan hingga darahnya akan terkena kepada tujuh
perwakilan kabilah tersebut.
[11]
Shafyurrahman
Al Mubarakfury. Op cit., h.155.
[12] Ibid.,
h. 217.
[13] Raghib
Assarjani, Bayna Yadae Attarikh, (Cet. I; Kairo Mesir: Mu’assasah Iqra’,
2008), h. 12.
[14] John L.
Esposito, The Oxford History of Islam, (Cet. I; New York: Oxford University Press, inc.,
1999), h. 9.; lihat juga Jurnal Islamia edisi Juli-September, 2005. h. 83,
mengutip pendapat seorang cendikiawan Islam, M. Naquib Al Attas, katanya
“menganalisa lebih lanjut berbagai derivasi kata-kata din seperti daana
(berhutang), da’in (pemberi hutang), dayn (kewajiban), daynunah
(hukuman /pengadilan), idanah (keyakinan), Al Attas menghubungkan makna ini
semua dalam organisasi masyarakat kosmopolitan dan bertamaddun yang ditunjukkan
oleh istilah madinah (kota), maddana (berbudaya), tamaddun
(peradaban dan kebudayaan sosial).
[15] Tamim Ansari.
Op cit., h. 61.
[16] John L.
Esposito. Op cit., h.10.
[17] Ibid.,
h. 62.
[18] Bernard
Lewis., Op cit., 5.; “During Muhammad’s lifetime, the Muslims became
at once a political and religious community, with the prophet as head of
state.”
[19] Al Qura’anul
Karim, Surah Az Zalzalah ayat 1 - 8,Terjemahan
Departemen Agam RI. (Jakarta: PT. Syamil Cipta Media).
[20] Al Qura’anul
Karim, Surah Annisa’ ayat 11,Terjemahan Departemen Agam RI. (Jakarta:
PT. Syamil Cipta Media).
[21] Olivier Roy, The
Failure of Political Islam, diterjemahkan oleh Harimurti & Qamaruddin
dengan judul Gagalnya Islam Politik (Cet. I; Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 1996), h. 13.
[22] Uraian lebih
lanjut tentang kronologis ambruknya dua kuasa besar saat itu, dan jatuh kedalam
pemerintahan Islam dapat dilihat dalam karya Abdul Mun’im al hasyim, Shuaru
Min Hayatil al Fatihin diterjemahkan oleh Abdurrahim dan Hasan Barakuan
dengan judul, Para Penakluk (Cet. I; Jakarta: Akbar, 2007), h. 592;
lihat pula Majalah Hidayatullah, Indonesia Berperadaban Madinah (Edisi
Khusus Milad, 2008), h. 8-9.
[23] Lihat juga,
Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, (Cet. XXII; Bandung: Mizan, 2002),
h. 213.
[24] Lihat,
Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Cet. I; Jakarta:
Gema Insani, 2008), h. 101.
[25] Bernard
Lewis., Op cit., 6.
Comments