Mesin Genosida Rohingya

Rohingya adalah grup etnis
yang kebanyakan beragama Islam di Negara Bagian Rakhine Utara Myanmar Barat. Populasi Rohingya terkonsentrasi di dua
kota utara Negara Bagian Rakhine (sebelumnya disebut Arakan). Diperkirakan
Islam masuk di Negara ini melalui Bangladesh sejak delapan abad yang lalu, saat
ini populasi Muslim mencapai 4% dari total penduduk Miyanmar yang berjumlah sektar 60 juta jiwa.
Sebutan lain dari Miyanmar
adalah Burma, sebuah etnis yang menjadi mayoritas penduduk Miyanmar, etnis ini
dahulu pernah berkolaborasi dengan Jepan dalam peperangan melawan Inggris dalam
merebut kemerdekaan. Ada pun etnis minoritas, termasuk Rohingya dianggap sekutu
Inggris selama Perang Dunia Kedua berlangsung dan tetap loyal kepada Inggris
pasca kemerdekaan Miyanmar.
Pada tahun 1947, perwakilan
beragam etnis di Miyanmar melakukan penandatanganan perjanjian penyatuan
Miyanmar. Dalam perjanjian ini ditandatangani pula oleh Jenderal Aung San Suu
Kyi. Saat itu etnis mulim Rohingya tidak dilibatkan.
Setelah Miyanmar merdeka pada
tahun 1948, segenap etnis di Miyanmar mendapat keleluasaan untuk membentuk
negara bagian sendiri (federal). Seperti etnis Chin membentuk negara bagian
Chin dan etnis Mon membentuk negara bagian Mon. Ada pun etnis muslim Rohingya,
mereka tak dapat hak membentuk negara bagian . di Arakan, tempat populasi
muslim Rohingya berdiri negara bagian Rakhine, padahal etnis Rakhin merupakan
minoritas di Arakan.
Atas perlakuan diskriminatif
itulah, muslim Arakan pernah melakukan pemberontakan untuk membentuk negara
bagian yang otonom, namun sia-sia. Yang terjadi selanjutnya adalah pemusnahan
tempat tinggal, rumah ibadah (masjid) dan fasilitas umum lainnya oleh militer
Miyanmar. Namun ini hanyalah satu permulaan dari sebuah bencana kemanusiaan
(holocaust).
Bermula dari tahun 1962, di
bawah Jenderal Ne Win, segenap warga muslim yang berada di Arakan dicap sebagai
Imigran gelap dan dianggap ilegal selama pendudukan Inggris. Pada tahun 1974 Undang-undang
Imigrasi Darurat menghapuskan kewarganegaraan Burma untuk muslim Rohingya,
selanjutnya pada tahun 1982, Peraturan Kewarganegaraan Imigrasi Darurat
menghapuskan kewarganegaraan muslim Rohingya dari daftar etnis di Miyanmar.
Sejak saat itulah muslim Rohingya terkatung-katung dan tak punya negara.
Selanjutnya rentetan operasi
pembasmian terus berlangsung. Genosida, seumpama mesin yang terus memanas dan
menggilas dari waktu ke waktu para muslim etnis Rohingya dan anehnya, tak satu
pun yang dapat menahan laju genosida itu, apatah lagi menghentikan dan
mematikan.
Sejak tahun 1959 genosida
telah berlangsung hingga tahun 1991, dan genosida terbesar dan terkejam adalah
operasi ‘Naga Min’. Berlangsung pada 6 Februari 1978 dari desa berpenduduk
Muslim terbesar, Sakkipara di Akyab. Militer membunuh, menangkap, dan memerkosa
para wanita muslim Rohingya. Wanita dan anak-anak juga jadi korban, pada bulan
Maret di tahun yang sama operasi Naga Min mencapai daerah Buuthidaung dan
Maungdaw, ketika itu ratusan muslim dimasukkan ke dalam penjara untuk disiksa
lalu digorok. Muslim Rohingya yang dapat selamat, melarikan diri ke perbatasan
Bangladesh dengan jumlah mencapai 300 ribu jiwa.
Pada tahun 1991, tanggal 18
Juli dengan tujuan membasmi muslim Rohingya, sebuah operasi digelar kembali
dengan tema “Phy Thaya” para umat Islam menjadi korban pembunuhan dan
pemerkosaan, rumah dan masjid dibumi hanguskan. Dan muslim Rohingya kembali
menjadi pengunsi di Bangladesh. Setelah terjadi kesepakatan bilateral
Bangladesh Miyanmar, sebagian muslim Rohingya kembali ke Arakan, namun sebagain
lainnya bertahan di pengungsian karena sewaktu-waktu mesin genosida akan
kembali ‘mengaung’ dan pastinya mereka akan dibantai habis-habisan.
Firasat para pengungsi itu ternyata
benar adanya, ibarat bisul, hanya bertahan sekejap lalu meletus. Tepatnya pada
tanggal 3 Juni 2012, dimana satu bus yang ditumpangi oleh 10 orang dari kaum
muslimin beretnis Rohingya dihabisi. Selanjutnya mesin genosida kembali hidup
dan terus menggilas para muslim Rohingya tanpa jeda hingga saat ini.
Sampai menit ini, belum ada
kejelasan jumlah korban yang jatuh dari perinstiwa biadab yang hingga kini
masih terus berlangsung itu. Liputan6.com, tanggal 27/7/2012 melangsir berita
bahwa hampir 650 ribu dari hampir satu juta muslim Rohingya tewas selama
bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, Myanmar. Sementara 1.200
lainnya hilang dan 90.000 lebih telantar. Setali tiga uang dangan keterangan dari sebuah
LSM yang berbasis di Inggris, dari tanggal 10 hingga 28 Juni, 650 Muslim
Rohingya tewas, 1.200 hilang, dan lebih dari 80.000 orang lainnya mengungsi
akibat kerusuhan, pembakaran, dan siklus serangan balasan.
Atas tragedi genosida itu, beragam reaksi pun
bermunculan. Seorang pakar politik, Ramzy Baroud menyatakan,
"Rohingya saat ini sedang melalui episode paling garang dalam sejarah
mereka, dan penderitaan mereka merupakan yang paling pedih dibandingkan
berbagai masalah lain di dunia."
"Namun kisah penderitaan mereka secara
mencurigakan absen dari prioritas regional dan internasional, atau diremehkan
mengingat melimpahnya sumber daya alam hidrokarbon, mineral, permata, dan
kayu," tambah Baroud.
Sekjen
Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Ekmeleddin Ihsanoglu meminta Suu Kyi untuk
melakukan sesuatu. Dikatakannya, "Sebagai Penerima Nobel Perdamaian, kami
yakin bahwa langkah pertama dari perjalanan Anda untuk memastikan perdamaian di
dunia akan dimulai dari depan pintu rumah Anda sendiri dan bahwa Anda akan
memainkan peran positif dalam mengakhiri kekerasan yang telah menderita Negara
Arakan."
Tapi
hadiah nobel perdamaian hanyalah pepesang kosong semata, karena secara terang
dan jujur Suu Kyi mengingkari keberadaan kaum muslim dari etnis Rohingya di
Rakhine, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah wawancara dengan TV Press
sesaat setelah menerima hadian nobel perdamaian di Oslo Norwegia 16 Juni 2012 lalu.
Sangat disayangkan karena sampai saat ini,
belum ada pernyataan resmi dari presiden SBY terkait genosida di Rakhine,
padahal Indonesia dapat berbuat banyak jika pemerintah kita punya posisi tawar,
di samping sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kini Indonesia sedang
menjabat sebagai pemimpin negara-negara ASEAN. Bisa saja menggertak Miyanmar
untuk memutuskan hubungan diplomatik serta mengusir keduataannya dari Jakarta.
Tapi sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia ibarat macan ompong di kawasan Asia
Tenggara.
Jika negara tak bisa berbuat, maka janganlah
dijadikan alasan untuk ikut pula acuh tak acuh kepada saudara kita yang sangat
butuh bantuan. Dalam pemahaman syariat sebagaimana yang disitir Alquran Surah
Almaidah ayat ke-45, bahwa darah seorang mukmin itu jika telah tertumpah maka
haruslah dibayar dengan darah pula (wal juruha qishash). Namun jika tak
mampu membela mereka dengan kekuatan fisik, maka sebaiknya kita ulurkan bantuan
dengan menyisihkan sebagian harta yang kita miliki. Yang kedua tampaknya lebih
rasional.
Saat ini sudah ada beberapa lembaga yang
berpengalaman dan kredibel yang dapat menyalurkan bantuan untuk kaum muslim
Rohingya, seperti “Dompet Kemanusiaan Republika untuk Rohingya” lewat Rekening
BCA. 375-305-1771, atas nama “PT. Republika Media Mandiri”.
Mudah-mudahan Ramadhan tahun ini dapat
melahirkan empati yang mendalam terhadap kaum muslimin yang bernasib malang
seperti yang menimpa Rohingya. Cukuplah sabda nabi yang menyatakan bahwa
seorang mukmin itu ibarat satu bangunan saling melengkapi, (kal bunyan
yasyuddu ba’dhuhum ba’dan) menjadi motor penggerak batin kita untuk bersama-sama
meringankan beban umat Islam Rohingya. Wallahua’lam!
Ilham kadir. Mahasiswa
pascasarjana umi makassar & peneliti lppi indonesia timur.
Comments