Meneladani Kepemimpinan Nabi Ibrahim

Pada saat itulah, Allah
memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim, “Lihatlah ke langit dan hitunglah
bintang-bintang, sebanyak itulah keturunanmu kelak.” Demikian firman Allah
dalam Kitab Kejadian. Demi mendapatkan
keturunan, Sarah mengizinkan suaminya menikah dengan budak wanitanya yang
berasal dari Mesir namun jelita, Siti
Hajar, darinya Ibrahim memperoleh seorang anak bernama Ismail. Tak lama
kemudian, Sarah juga melahirkan seorang bayi lelaki bernama Ishaq.
Kedua anak Ibrahim di
atas masing-masing lahir di Kota Babilonia atau Palestina dan Israil saat ini.
Namun karena permintaan Sarah serta dorongan wahyu dari Allah sehingga Ibrahim
membawa pergi Hajar dan anaknya ke arah selatan mengikuti kafilah 40 hari
perjalanan dengan tujuan ke sebuah lembah yang tandus (ghari zizar’in)
bernama Bakkah (Mekkah).
Di tempat inilah Hajar
dan anaknya ditinggal oleh sang ayah, dan dari sini pulalah keturunan Ibrahim
dari anaknya Ismail tumbuh dan berkembang pesat. Ada pun Ishaq juga demikian,
hidup dan berkembang di Babilonia. Dari Ismail dan Ishaq yang juga diangkat oleh
Allah menjadi nabi dan rasul, terlahir dua bangsa besar. Arab dan Yahudi, yang
menjadi musuh abadi, kini kakak-adik itu terus berusaha saling menghabisi satu
sama lain, ironis memang.
Pemimpin
Ibrahim juga dikisahkan
dalam Kitab Suci Alquran sebagai pemimpin bagi segenap manusia, “Inni
ja’iluka linnasi imaman, [Aku akan menjadikanmu pemimpin bagi seluruh umat
manusia].” Lalu Ibrahim meminta pula supaya kelak keturunannya juga bisa
diangkat menjadi pemimpin, namun Allah memberi syarat bahwa yang berhak menjadi
pemimpin dari umat dan keturunanmu kelak hanyalah mereka yang tidak zalim ‘La
yanalu ‘ahdi az Zhalimin’. (QS. [2]: 124).
Alquran membahasakan
pemimpin sebagai ‘imam’ yang berasal dari kata ‘amam’ atau di
depan. Begitu pentingnya ‘imamah’
alias ‘kepemimpinan’ sehingga Rasulullah SAW mewajibkan
mengangkat pemimpin kapan dan dimana pun berada. Kata ‘khalifah’ juga
kerap digunakan dalam Alquran sebagai pemimpin, sebagaimana Allah menjadikan
Nabi Adan sebagai khalifah fil ardhi, pemimpin di muka bumi.
Begitu pentingnya sebuah kepemimpinan sehingga setiap
kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban. Nabi akan dimintai
tanggungjawab mengenai umatnya, presiden akan disoal tentang segala
tetek-bengek rakyatnya, menteri, gubernur, bupati, camat, hingga kepala
rumah tangga akan dimintai
pertanggung-jawaban
kelak.
Kendati demikian, teori kepemimpinan dalam Islam yang
diistilahkan dengan ‘imamah’ dan ‘khilafah’ di atas telah disepakati oleh para
mujtahid dari seluruh aliran dalam Islam –kecuali Syiah- bahwa untuk mengangkat
seorang pemimpin haruslah melalui musyawarah, mufakat, dan pemilihan yang
demokratis.
Aliran Syiah yang menyimpang dari ajaran Rasulullah,
dan telah difatwakan oleh MUI Jawa Timur sebagai aliran yang sesat dan
menyesatkan ‘dhal wa adhallu’ memasukkan ‘Imamah” sebagai salah satu
pilar rukun Islam mereka. Lebih dari itu, mereka mengangkat pemimpin
berdasarkan wasiat dan menjadikan pemimpin mereka sebagai manusia yang terbebas
dari segala bentuk dosa (ma’shum), sebuah kekonyolan dalam perspektif Ahlusunnah.
Allah menegaskan dalam Alquran (2:124) bahwa Ibrahim
AS dijadikan pemimpin yang ideal karena telah melewati beberapa rangkaian fit
and proper test, dalam bahasa Alquran, “Wa izbtala Ibrahima rabbuhu
bikalimaatin fa atammahu, [dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna].”
Ibnu Katsir rahimahullah, dalam “Tafsir
al-Qur’anil ‘Adzhim” berpendapat sebagaimana Ibnu Abbas ra bahwa ujian yang
ditimpakan kepada Ibrahim sebelum diangkat menjadi pemimpin seluruh umat
manusia adalah Allah mengujinya dengan ‘taharah’ atau bersuci, lima di
kepala dan lima di badan. Di kepala: mencukur kumis, berkumur-kumur, menghirup
air ke hidung, menggosok gigi, dan bersisir rambut. Di badan. Memotong kuku,
mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, dan mencuci bekas buang
air (istinja), inilah salah satu ujian bagi Nabi Ibrahim. Berangkat dari
sini, kita bisa belajar bahwa seorang pemimpin haruslah manusia yang bersih
secara lahiriah, karena merupakan penilaian pertama bagi orang lain.
Selain taharah, ada lagi beberapa ujian yang
telah dialami oleh Ibrahim AS, dan sukses menjalaninya, sebagaimana yang
tertera dalam Alquran, bahwa Allah telah menguji nabi yang bergelar khalilullah
(kekasih Allah) ini dengan ujian sebagai berikut: pertama, berkorban dengan
dirinya sendiri ketika harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik
bahkan harus diusir dari ayahnya dan dibakar hidup-hidup dalam sebuah api
unggun di tengah tanah lapang oleh Raja Namruz dan pengikutnya. (QS. [21]:
51-56). Kedua, berkorban dengan keluarga ketika harus meninggalkan anak dan
istrinya (Ismail dan Siti Hajar) di Bakkah yang tidak memiliki apa-apa kecuali
lembah yang tandus. (QS. ]14]: 37). Ketiga, berkorban dengan anaknya ketika
harus menyembelih Ismail –yang padanya ibadah kurban berasal. (QS. [37]:
102-107), dan keempat, berkorban dengan harta dan tenaga ketika Ibrahim dan
anaknya Ismail bahu-membahu untuk membangun kakbah, tempat beribadah dan kiblat
umat Islam sedunia saat ini. (QS. [2]: 125-127). (Nashruddin Syarif,
“Kepemimpinan Ideal Ibrahim”, Jurnal Islamia Republika, hal. 23. Kamis,
18/10/2012).
Kita semua mengakui bahwa salah satu keterpurukan yang
melanda umat Islam di seluruh penjuru dunia saat ini adalah tidak adanya
kepemimpinan yang ideal sebagaimana Nabi Ibrahim AS. Pemimpin tidak lahir dari
proses instan, harus melalui tahap demi tahap sehingga dapat menumbuhkan
karakter yang kuat pada diri sang pemimpin. Begitulah yang terjadi kepada para
nabi. Dari Adam As hingga Muhammad SAW.
Di bulan Zulhijjah ini, dimana di dalamnya terdapat
dua syariat angung yang bersumber dari Nabi Ibrahim AS. Ibadah Haji dan kurban,
ada baiknya kita semua bersama-sama menelaah kembali makna kepemimpanan
‘imamah’ yang telah diemban oleh Nabi Ibrahim.
Di antara prasyarat menjadi pemimpin pada umat dan
keturunan Ibrahim AS adalah berlaku adil
dan tidak zalim, demokratis, selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam
mengeluarkan kebijakan, dan harus menjadi contoh dalam ketaatan menjalankan
perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Inilah pemimpin dambaan umat. Selamat
Menyambut Hari Raya Idul Adha 1433 H!
Ilham Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti
LPPI Indonesia Timur
Comments