Menangkis Serangan Orientalis Terhadap Alquran

Orientalis adalah kelompok terpelajar
(cendekiawan) dari Barat yang memiliki kepakaran tentang hal-ihwal ketimuran (orient)
mulai dari bahasa, sejarah, agama, peradaban timur, baik yang jauh (far
eastern) seperti Jepang, Cina, India, dan Nusantara, maupun yang dekat (near
eastern) seperti Semenanjung Arabia, Persia, dan Mesir. Tidak sedikit dari
mereka yang terjun mengkaji agama-agama, dan menjadi pakar dibidangnya termasuk tentang keislaman.
Di antara sub kajian keislaman yang mendapat porsi khusus adalah Alquran.
Para orientalis yang juga berprofesi ganda
selaku misionaris, adalah hal biasa jika mereka melakukan serangan terhadap
Alquran secara sistematis, tak ubahnya seperti ‘zombie’ yang patah tumbuh
hilang berganti. Menarik untuk dikupas, apa dan bagaimana hasil kajian mereka.
Pada tahun 1927, Alphonso Migana, pendeta asal
Irak dan Mantan Guru Besar di Universitas Bringmingham, Inggris mengumumkan
bahwa sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks
Alquran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci kristen yang berbahasa Yunani (The
time has surely come to subject the text of the Kor’an to same criticism as
that to which we subject the Hebrew and Aramaic of The Jewish Bible, and Greek
of the Cristian scriptures).
Tentu saja Migana bukan yang pertama dan
terakhir kalinya melontarkan seruan semacam di atas, dan tidak pula sendirian.
Jauh sebelum dia ‘berkicau’ tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman),
seorang orientalis bernama Gustav Flugel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian
filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namai ‘Corani Textus Arabicus’.
Setelah itu muncul pula Theodor Noldeke yang berhasrat merekonstruksi sejarah
Alquran dalam karyanya ‘Geschichte des Qoran (1860), upaya yang menjadi acuan
bagi sekte pengusung liberalisme di Indonesia.
Pada tahun 1937 datanglah Arthur Jeffery yang
berambisi membuat edisi kritis Alquran, mengubah Mushaf Utsmani yang kita baca
saat ini lalu menggantikannya dengan muhaf baru. Orientalis asal Autria yang
pernah mengajar di American University Cairo lalu menjadi guru besar di Columbia
University ini, konon ingin merestorasi (mirip jorgan partai Nasdem) teks
Alquran berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani
yang ditengarai bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan (rival codies).
Jeffery berniat meneruskan usaha Gotthelf
Berstrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang pernah berjibaku
mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Alquran dengan tujuan
membuat edisi kritis. Namun usaha dan proyek tersebut gagal total karena semua
arsipnya yang berjumlah 40.000 lebih di Munich hancur musnah tertimpa bom saat
Perang Dunia Kedua bekecamuk.
Dan yang teranyar adalah munculnya Christoph
Luxenberg beberapa tahun yang lalu, orientalis berwarga negara Jerman namun
asli Libanon ini mengklaim bahwa Alquran hanya dapat dimengerti apabila dibaca
mengikut ‘konon’ bahasa aslinya, yaitu Syoro-Aramaik (bahasa Aramaik dalam
dialek Syriak).’
Dalam bukunya yang berjudul ‘kira-kira’ “Cara
Membaca Alquran dengan Bahasa Syro-Aramaik: Sebuah Upaya Pemecahan Kesukaran
Memahami Bahasa Alquran”, dalam bukunya itu Luxenberg dengan lancang
mengklaim bahwa: (a) bahasa Alquran sebenarnya bukan bahasa Arab, karena itu
menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sukar
dipahami, (b) bukan hanya kosakatanya berasal dari Syro-Aramaik, bahkan isi
ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria, (c)
kesimpulannya, Alquran yang ada saat ini tidak otentik, perlu ditinjau kembali,
dan diedit ulang.
Namun hasilnya tidak sebanding dengan tenaga,
umur, dan gelontoran dana yang mereka gunakan. Segala upayanya tak ubahnya
laksana buih, timbul dan pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil
mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap kitab suci Alquran.
Menarik untuk dikaji sebab-sebab kegagalan
orientalis dalam menyerang Alquran, selain kitab ini satu-satunya kitab yang
memproklamerkan dirinya sebagai kitab yang bebas dari campur tangan manusia,
menyatakan bahwa dirinya akan tetap dan terus terjaga, oleh itu Alquran
menantan untuk membuat yang sama dengannya, atau hanya sepuluh ayat, kalau tak
mampu cukup satu ayat saja. Faktanya tak seorang pun yang sanggup termasuk para
orientalis.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dalam “Jurnal
Al-Insan Edisi. II, 2006” setidaknya ada tiga faktor yang membikin para
orientalis bertekuk lutut dan menjadikan usaha mereka sia-sia belaka. Pertama,
Alquran pada dasarnya bukanlah tulisan rasm atau writing tetapi
merupakan bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan
sebutan. Proses pewahyuan maupun cara penyampaian, pengajaran dan
periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan.
Sejak zaman dahulu yang dimaksud dengan
‘membaca’ Alquran adalah ‘qara’a ‘an zahri qalbin’ yakni to recite
from memory, membaca dari rekaman hati dan otak. Untuk itulah tulisan ‘saat
itu’ yang ada di pelapah kurma, tulang, kulit dan semacamnya ditulis
berdasarkan hafalan, atau apa yang diucapkan oleh para muqri. Proses transmisi
semacam ini sangat jitu menjaga keotentikan Alquran dari satu generasi ke
genarasi selanjutnya, dari zaman Jibril menurunkan ke Rasulullah lalu ke
sahabat hingga era reformasi di Indonesia saat ini.
Sangat berbeda dengan Bible, dimana tulisan (manuscript
evidence) dalam bentuk papirus, skrol, dan lain-lain, yang menjadi landasan
utama dalam penulisan Gospel. Merupakan hal ‘konyol’ jika disamakan
dengan Alquran sebagaimana keinginan Alphonso Migana dkk.
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan
diajarkan melalui hafalan, Alquran juga tetap dicatat dengan menggunakan
berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah, hampir seluruh catatan-catatan
awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi, dan karena itu berbeda kualitas
dan kuantitasnya satu sama lain karena untuk keperluan masing-masing. Baru
kemudian hari, ketika jumlah penghafal Alquran menyusut karena banyak gugur di
medan perang, usaha kodifikasi mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas
inisiatif Khalifah Abu Bakar, sehingga Alquran dukumpul menjadi sebuah mushaf,
berdasarkan periwayatan langsung (first hand) dan mutawatir (tak
diragukan) dari Nabi.
Setelah wafatnya Abu Bakar (634 M) mushaf
tersebut disimpan oleh Khalifah Umar ra (644 M), lalu Hafsah selanjutnya
diserahkan kepada Khalifah Utsman ra. Pada zaman beliaulah atas desakan dan
permintaan sahabat, sebuah komisi ahli dibentuk kedua kalinya, dan bertugas
mendata ulang seluruh bacaan ‘qiraat’ yang ada, serta memeriksa dan
menentukan nilai kesahihan periwayatan untuk kemudian melakukan standarisasi
bacaan demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Kesalahan orientalis adalah,
menafikan adanya sejarah kodifikasi di atas dan menganggapnya fiktif belaka
sebagaimana sangkaan Arthur Jeffery.
Ketiga, tulisan Arab (khat) mengalami
perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, Alquran ditulis
‘gundul’ tanpa tanda baca walau sedikit pun. Sistem vokalisasi baru
diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian tulisanyang dipatok pada masa Utsman
bin Affan tidak menimbukan masalah, karena kaum muslimin saat itu belajar
Alquran langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, bukan dari tulisan
dan tidak bergantung sama sekali dari manuskrip. Di sinilah letak kekacauan Christoph
Luxenberg yang menganggap bahwa teks gundul itulah menjadi penyebab macam-macam
bentuk bacaan dalam Alquran sebagaimana dalam Bibel. Padahal jamak diketahu
bahwa kendati tulisan Arab itu ‘gundul’ tetap memiliki bacaan yang baku,
bagaimana pun bentuk dan di mana pun letak kalimatnya. Hingga kini, termasuk
penulis dapat membaca tulisan Arab dalam bentuk apa pun. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments