Melerai Konflik Sunni-Syiah
Pasca terjadinya bentrokan jilid II di Sampang Madura pada 26
Agustus lalu atau lima hari setelah hari Raya Idul Fitri 1433 Hijriah, beragam
pendapat yang keluar dari pelbagai pihak. Baik yang memiliki otoritas atau pun
tidak. Menteri Agama, Suryadarma Ali berpandangan bahwa tragedi Sampang
jilid II di atas terjadi karena permasalahan keluarga, kakak beradik yang
keduanya memiliki pengikut yang banyak dan terlibat konflik, sehingga pengikut
keduanya terjadi permusuhan,dan akhirnya merembet pada konflik warga, “Dari
situlah bermula konflik, bukan berdasarkan pemahaman keagaman masing-masing,”
Tegas Ketua Umum PPP ini.
Namun benarkan tragedi Sampang jilid II tidak terkait dengan pemahaman keagamaan? Mantan ketua PBNU,
Hasyim Muzadi memiliki pandangan tersendiri akan tragedi yang merenggut paksa
dua nyawa anak cucu Adam itu. Beliau menghimbau agar para pengkut Syiah di
Sampang menahan diri untuk tidak menyebarkan pahamnya di tengah-tengah golongan
mayoritas (Sunni). Yang beliau sesalkan adalah terjadinya kekerasan terhadap
para penganut Syiah. “Ideologi tidak bisa hilang dengan kekerasan, tapi dengan
dakwah dan hikmah.” Tegas Sekjen International Conference for islamic Scolars
(ICIS) ini.
Harus diakui jika konflik Sampang yang telah terjadi untuk kedua
kalinya secara beruntun itu berakar dari perbedaan pemahaman keagamaan dari dua
adik beradik yang dulunya memiliki pemahaman yang sama.
Pada tahun 2006, Ustadz Tajul Muluk, bersama sang adik Raisul
Hukama dilantik menjadi pimpinan Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlul Bait) daerah
sampang. Dan di tahun kedua setelah ia dilantik, komunitas Syiah Sampang secara berulangkali
mendapatkan teror dari pihak Sunni. Pada akhir 2011, karena masalah konflik
keluarga Raisul Hukama yang awalnya membela Tajul Muluk membelot. Rois,
panggilan akrabnya kemudian "bertaubat" dari Syiah. Ia bergabung
dengan para penyerang Syiah. Puncaknya akhir 2011 lalu, Rois memimpin
penyerangan terhadap madrasah dan masjid milik kakaknya, Tajul Muluk.
Setelah Tajul Muluk mendekam di penjara karena telah melakukan
penistaan terhadap agama, para pengikutnya tetap setia dan terus mengamal dan
menyebarkan ajaran sang guru, sehingga Raisul Hukama dan para pengikutnya
kembali melakukan penyerangan terhadap pengikut Tajul Muluk. Sampang jilid II
pun pecah.
Sesat
Hingga saat ini, pemerintah masih tetap menjadikan Kementrian Agama
sebagai corong resmi negara yang mengurus masalah keberagamaan dan Majelis
Ulama Indonesia yang menjadi representasi dari komponen umat Islam Indonesia
yang menjadi rujukan pemerintah dalam menentukan sikap serta menghukum
aliran-aliran keagamaan yang terus tumbuh subur di negara kita.
Berkaitan dengan paham sesat, maka Majelis Ulama Indonesia Pusat,
pada tahun 2007 menetapkan tanda-tanda paham sesat, di antaranya: a) Mengingkari
salahsatu rukun iman dan rukun Islam; b) Meyakini atau mengikuti akidah yang
tidak sesuai dengan dalil syar’i (Alquran dan Sunnah) c) Meyakini turunnya
wahyu sesudah Alqur’an; d) Mengingkari autentisitas dan kebenaran Alqur’an; e) Menafsirkan
Alqur’am yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir; f) Mengingkari kedudukan
hadis sebagai sumber ajaran Islam; g) Melecehkan/ mendustakan nabi dan rasul;
h) Mengingkari nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; h)
Mengurangi/menambah pokok-pokok ibadah yang tidak ditetapkan syariah, dan i)
Mengafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Sesuai hasil musyawarah Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura
yang berlangsung pada tanggal 3 Januari 2012 di Gedung Islamic Centre Pamekasan
bahwa dengan jelas kesepuluh kriteria aliran sesat di atas telah dianut dan
diamalkan oleh Syiah Imamiah, Itsna Asyariah, Ja’fariah, Mazhab Ahlul Bait
termasuk Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia.
Beberapa MUI perwakilan provinsi secara khusus menyebut keharaman
pemahaman Syiah dan ajaran-ajaranya, misalnya MUI Pusat. “Mayoritas
umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) yang
tidak mengakui dan menolak paham syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah
mut’ah secara khusus.” (Fatwa MUI, Nikah Mut’ah, Jakarta 25 Oktober 1997,
hal. 350-355). MUI Jawa Timur, “Ajaran Syiah (khususnya Imamiah Itsna
Asyariah atau yang menggunakan nama samaran Madzahab Ahlul Bait) dan
semisalnya, adalah sesat dan menyesatkan.” (Fatwa MUI Jatim, no: Kep-01/Skf-MUI/JTM/2012,
hal. 15).
Sama halnya dengan Muhammadiyah, Setelah
peristiwa Sampang akhir tahun 2011, PP
Muhammadiyah, lewat sidang plenonya menyatakan sikap terhadap kelompok Syiah,
yaitu: a) Muhammadiyah meyakini hanya Nabi Muhammad SAW yang ma’shum.
Oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep kesucian imam-imam (‘Ismatul
aimmah) dalam ajaran Syiah; b) Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad tidak
menunjuk siapapun pengganti beliau sebagai khalifah. Jadi kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali RA
adalah sah, oleh sebab itu, Muhammadiyah menolak konsep rafidah-nya
Syiah; c) Muhammadiyah menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana
sahabat-sahabat yang lain, tetapi Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap
Ali bin Abi Thalib dan keturunannya; d)
Syiah hanya menerima hadis dari jalur ahlul bait, ini berakibat ribuan hadis
shahih –walaupun riwayat Bukhari dan Muslim- ditolak oleh Syiah. Dengan
demikian banyak sekali perbedaan antara Syiah dan Ahlussunnah, baik masalah
akidah, ibadah, munakahat, dan lainnya. Oleh karena itu umat
Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya agar mewaspadai ajaran
Syiah tersebut. Di samping itu realitas, fakta, dan kenyataan
menunjukkan kepada kita bahwa di mana suatu negara yang ada kelompok Syiah di
tengah komunitas Sunni, hampir dapat dipastikan akan terjadi konflik
horizontal. Hal tersebut harus menjadi
perhatian kita semua jika kita ingin NKRI tetap utuh dan ukhuwah Islamiyah
tetap terjaga. (Prof. Dr. Yunahar Ilyas, ketua PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih
MTDK dalam Majalah Tablig hal. 5 Edisi No. 7/IX/Jumadal Akhir 1433 H).
Nahdatul Ulama, lewat pendirinya Hadratus Syaikh K.H.
Muhammad Hasyim Asy’ari dengan gamblang dan jika saat ini fatwanya diamalkan
mungkin banyak yang menganggapnya provokatif, sebagaimana tertuang dalam kumpulan
karya tulis beliau, di antaranya. “Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah
muncul dan Shahabat-shahabat dicaci maki, maka hendaklah orang-orang alim
menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena
laknat Allah, laknat Malaikat, dan semua orang.” (Muqaddimah Asasi Nahdathul
Ulama hal. 26); Maka barangsiapa yang mencela Shahabat maka atasnyalah
laknat Allah, Malaikat, dan seluruh manusia, (bahkan) Allah tidak menerima
ibadah mereka baik wajib maupun sunnah; Akan datang di akhir zaman orang yang
mencela-cela Shahabat Nabi Sallallahu’Alaihi wa sallam, maka janganlah
mensalatkan atau mendoakan mereka, jangan sholat bersama mereka, jangan kawin
mawin dengan mereka, jangan duduk dengan mereka, dan jangan menjenguk mereka
jika sakit. Barangsiapa yang mencela-cela Shahabat Nabi Sallallahu’Alaihi wa
sallam, maka pukullah dia (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah hal. 11).
Perlu dipertegas, bahwa salah satu amalan utama para penganut Syiah adalah
melakukan celaan terhadap para sahabat Rasulullah SAW minus Ahlul Bait.
Begitu pula Anregurutta H.
Lanre Said (1923-2005) salah seorang ulama besar asal Sulawesi Selatan dan
pendiri Pesantren Darul Hffadh Tuju-tuju Bone, dalam garis-garis besar pedoman
pondoknya, pada poin ke-3 tertulis dengan jelas. "Santri Pondok Pesantren Darul
Huffadh tidak akan bekerja sama dengan
golongan inkarussunnah atau golongan-golongan sesat lainnya, seperti Ahmadiah,
Islam Jamaah, Syiah, dll.”
Solusi
Keputusan Muktamar Doha tentang dialog antara
mazhab-mazhab Islam pada tanggal 20-22 Januari 2007 pada butir ketujuh tercantum: “Mengajak para
pemimpin dan tokoh rujukan agama dari kalangan Sunnah dan Syiah agar tidak
mengizinkan adanya penyebaran tasyayyu’ (paham-paham syiah) di
negeri-negeri (penganut aliran) Sunnah, tidak juga penyebaran tasannun
(paham-paham khas Sunnah) di negeri-negeri (penganut aliran) Syiah, demi
menghindari kekacauan dan perpecahan antara putra-putri umat yang satu (umat
Islam). (M.Quraish Shihab,“Sunni-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?”2007. Jakarta, Lentera hati, hal.
268).
Oleh karena itu, untuk melerai pertikaian Sunni versus
Syiah hendaknya kedua belah pihak dapat menahan diri –terutama yang minoritas
agar berhenti melakukan penyebaran pemahaman di tengah kaum mayoritas—bagaimana
pun, pengikut Syiah Indonesia adalah saudara seibu pertiwi kita. Menggunakan
kekerasan terhadap mereka hanya akan mendatangkan kerugian dan melanggar
tatanan keagamaan yang selalu mengedepankan cara-cara bijak dengan penuh
hikmat. Kelakuan kaum Syiah yang melakukan genosida (pembantaian) terhadap
Sunni di Suriah tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap
mereka di Indonesia. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir, Mahasiswa
Pascasarjana UMI Makassar dan Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments