Melacak Asal-usul Ajaran Tasauf

Dari sekian banyak
pengkaji, maka lahirlah ragam teori tentang asal-usul tasauf. Teori pertama
mengatakan, ajaran tasauf merupakan “produk samping” dari persinggungan Islam dengan
agama-agama yang lebih senior di sekelilingnya. Salah seorang penggagas teori
ini adalah Margaret Smith. Orientalis asal Inggris ini menyimpulkan bahwa
tasauf Islam sebagian besar telah dipengaruhi oleh ajaran Mistisisme Kristen.
(Margaret Smith, Early Mysticism in the Near and Midle East, 1931). Teori
kedua, bahwa tasauf Islam besar kemungkinan berasal dari ajaran Upanishad
dan Vedanta Hindu, hal tersebut dapat dilacak dengan menyelami ajaran hindu
yang mengetengahkan perlunya menjauhi atau bahkan meninggalkan sama sekali
ragam kenikmatan jasadiah demi meraih kesucian dan ketenangan jiwa (moksa).
Eksponen teori ini diwakili antaran lain oleh Alfred von Kremer, R.C. Zaehner,
dan Max Horten. (R.C. Zaehner, Hindu and Muslim Mysticism, 1960). Teori
kegita berpendapat, ajaran sufi banyak dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme
abad pertengahan, dengan alasan bahwa dontrin-doktrin yang dikembangkan kaum
sufi mayoritas dapat ditemukan presedennya dalam tradisi mistik dan gnostik
Yunani. Teori ini termasuk favorit, namun para pengusung teori ini tidak
sepakat, apakah seluruh amalan para sufi berasal dari tradisi Hellenisme atau
hanya pada teoritisnya saja. Dengan alasan bahwa pengaruh tradisi Yunani bukan
terdapat pada aspek praktisnya, melainkan pada aspek teoritisnya saja, ini
dapat dibuktikan lewat jejak-jejak Neo-Platonisme dan Aristotelianisme justru
lebih nampak dalam bangunan pemikiran para tokoh sufi ketimbang dalam manual
praktis yang mereka tulis untuk para murid. Jadi hanya pada sisi teosofi tasauf
merupakan produk spekulasi Yunani “Sufism on its theosophical side is mainly
a product of Greet speculation”, pengusung teori ini adalah Stephen bar
Sudaili, Simon Magus, R.A. Nicolson, dll. Teori keempat, berusaha
menjadi penengah dari tiga teori sebelumnya dengan menyatakan bahwa ajaran sufi
adalah mixing atau amalgamasi dari pelbagai ajaran esoteris yang
terdapat dalam tradisi Islam, Hindu, Budha, Zoroastrianisme, Kristen, Neo
Platonisme, dan Gnostisisme. Alasannya, tidak ada kebudayaan dan pradaban yang
berdiri sendiri dan lahir di ruang hampa. Setiap tradisi pasti terpengaruh dan
mengambil dari tradisi yang sedia ada. Teori ini diusung oleh Martin Schreiner
dan Ignaz Goldziher.
Terang sekali kalau
seluruh teori yang dipaparkan para orientalis tersebut menunjukkan bahwa ajaran
sufi adalah ‘barang impor’ dari luar Islam lalu bermetamorfosis dengan ragam
perubahan seperti penggantian termonologi, penambahan dan penyempurnaan, dengan
justifikasi dari ayat-ayat Alqur’an atau Hadis yang mereka pahami secara sembrono.
“Teori Pengaruh” ini berakar dari asumsi keliru (sesat) bahwa jika terdapat
kesamaan atau kemiripan pada dua tradisi yang mirip, maka sudah pasti terdapat
kaitan sejarah antar keduanya. Asumsi ini menjadi justifikasi terhadap pendapat
mereka bahwa tradisi agama yang muncul belakangan pasti telah menjiplak tradisi
kepercayaan sebelumnya “the later in point of time must surely be devided
from the erlier”.
Tasauf dalam Pandangan
Islam
Hingga hari ini, para
peneliti dari kalangan muslim, termasuk para palaku dan penikmat ajaran tasauf
belum memiliki kesepahaman tentang asal-muasal kata “tasauf”. Baik dari sisi
etimologi (bahasa) maupun terminologi (istilah). Mereka masih tetap berselisih
pendapat tentang pengambilan kata tasauf, apakah berakar dari kata ash-shafa’
(bening), ash-shuf (kain wol), ash-shuffah (penghunu emper
mesjid), dan ash-shaf (barisan).
Menurut Syaikh Abdul
Qadir Jailani, ulama besar kaum sufi, sekaligus pengasas Tarekat Qadariyah, besar
kemungkinan kata sufi itu terambil dari ash-shafa’ ar-ruh (kejernihan
jiwa), beliau berkata, “Seorang sufi adalah orang yang jernih batinnya dan
secara lahir mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Fath ar Rabbani,
hal. 207). Namun pendapat ini dibantah oleh Ibnu Taimiah dengan argumen bahwa kata
at-tashawwuf itu disandarkan kepada kata ash-shuuf (memakai kain
wol), “Orang salaf (terdahulu) menamakan orang yang ahli dalam agama dan
ilmu dengan al-Qurra’ (pembaca), lalu masuk dalam kelompok para ulama
dan ahli ibadah. Kemudian setelah itu muncul nama ash-Shufiyah al-Fuqara’
(orang-orang sufi yang fakir), dan nama as-Shufiyah dinisbatkan kepada
pemakaian shuf (kain wol) dan inilah yang benar.” (Majmu’ al Fatawa,
X, hal. 369). Tapi sekali lagi, seorang ulama sufi kenamaan Al Qusyairi, dalam
kitabnya “Arrisalah” menyatakan bahwa istilah tasauf tidak ada
padanannya dalam bahasa Arab, baik dengan cara pengkiasan maupun pengambilan,
tetapi kata itu hanya sebagai julukan alias gelar saja. (Syamsuddin Arif, 2008).
Ada pun dari segi
terminlogi, kendati mereka berbeda namun pada dasarnya memiliki kemiripan,
bahwa subtansi dari ajaran tasauf adalah membersihkan jiwa dengan totalitas
dalam beribadah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Sosiologi Ibnu
Khaldun, “Tasauf adalah beri’tikaf untuk beribadah, uzlah kepada Allah,
menjauhkan diri dari gemerlapnya dunia dan perhiasannya, serta berzuhud dari
apa yang diterima oleh kebanyakan orang, seperti kesenangan, harta, dan
pangkat, serta menyendiri untuk menikmati ibadah,” pendapat ini diamini oleh
Sahal bin Abdullah seorang Syaikh sufi, ia berkata, “Tasauf adalah orang yang
bersih dari kotoran, penuh dengan pemikiran, mengasingkan diri kepada Allah
dari manusia, baginya antara emas dan debu tidak ada bedanya.” Kecuali itu Ibnu
Taimiah mengatakan bahwa seorang sufi yang jujur adalah yang menghususkan
dirinya pada zuhud dan ibadah dalam aspek yang mereka berijtihad di dalamnya,
orang jujur adalah termasuk mereka yang menempuh jalan sufi.”
Kesimpulan
Dari pemaparan kedua
blok di atas, disertai dengan argumentasi kedua belah pihak, nampaknya pendapat
dari kalangan peneliti Islam seperti Ibnu Taimiah dan Ibnu Khaldun atau dari
pelaku ajaran sufi sendiri sebagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani dan Al
Qusyiri lebih bisa diterima. Jadi, dapat
kita simpulkan bahwa ajaran tasauf memang murni bersumber dari Islam, bukan
ajaran Thaghut (setan?) sebagaimana yang ditulis saudari Ayu Bella Fauziah (Tribun
Timur, Jumat 9 Maret 2012), kecuali jika yang bersangkutan memahami tasauf
versi orientalis lewat “Teori Pengaruh” maka itu dapat diterima. Namun asal-usul dan akar katanya tidak ditemukan
dalam bahasa Arab, apalagi dari Alqur’an dan Hadis, melainkan istilah itu
merupakan julukan atau gelar. Dari segi subtansi ajaran tasauf sangat terpuji,
selama berada dalam kemurniaanya, seperti taat beribadah, berakhlak mulia, rajin
berzikir, dan jujur, serta jauh dari gemerlapnya hiruk-pikuk kemewahan dunia.
Ajaran ini sangat cocok dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia yang sangat
konsumtif dan hedonis, serta bagi mereka yang menganggap bahwa uang adalah
segala-galanya. Wallahu a’lam!
Ilham
Kadir, B.A., Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti di Lembaga
Penelitian & Pengkajian Islam (LPPI) Perwakilan Indonesia Timur.
Comments