Kepemimpinan Dalam Perspektif Syiah dan Hindu

Seminar nasional dengan tema “Kepemimpinan dalam Perspektif Agama &
Budaya” diadakan oleh komponen penganut Syiah dengan label Ahlul Bait di Gedung
IPTEKS Universitas Hasanuddin Makassar pada tanggal 4 Juli 2012, dengan
menghadirkan pemateri dari ragam latar belakang disiplin ilmu dan agama.
Pemibicara pertama adalah Muhammad Rusli Malik, seorang penulis dan
penganut Syiah yang telah menulis Tafsir Al-Barru, beliau memulai
pembicaraannya dengan menerangkan perbedaan manusia dan mahluk-mahluk lainnya yang menjadi penghuni bumi. Perbedaan
yang utama menurutnya adalah karena manusia memiliki harapan-harapan, baik
secara individu maupun kolektif.
Seorang mahasiswa program strata satu (s1) tentu saja bercita-cita
dan memiliki impian agar bisa belajar dan menyelesaikan studinya hingga
menggapai gelar doktoral, seorang pegawai biasa memiliki harapan agar suatu
hari kelak dapat menjadi pimpinan. Begitu pula dalam konteks kemasyarakatan dan
kolektif, sebuah negara tentu memiliki harapan untuk mendapatkan pemimpin yang
baik, adil, bijaksana, dan membawa umat kepada kemakmuran dan kesejahteraan
serta menghindari hal-hal yang merusak chaos.
Selain itu, pembicara yang mengaku mantan murid dari Ust. Muhammad
Said Abd Shamad ini menekankan pentingnya seseorang untuk menjadi manusia yang
bertakwa, karena ketakwaanlah yang dapat menjadikan seseorang mulia, makin
bertakwa seseorang maka ia akan menjadi semakin dermawan atau selalu
menafkahkan hartanya baik dalam keadaan susah maupun senang, (yunfuqun fi
as-sarra’i wa ad-darrai), makin naik derajat ketakwaan seseorang maka ia
makin menjadi orang yang paling sanggup menahan amarahnya (al-kadziminal
al-ghaidz), dan pada tahap akhir dari puncak ketakwaan menurut pembicara
adalah mampu memaafkan manusia (al-afiina ani an-nas). Sayang pembicara
sama sekali tidak menyentuh korelasi antara tauhid dan syariah dalam menggapai
ketakwaan. Artinya seseorang boleh saja bertakwa tanpa bertauhid dan
menjalankan syariah dengan baik dan benar. Sebuah kesalahan yang sangat fatal
kerena menggirin pendengar untuk menjadi humanisme sebuah pahan yang tidak
mementingkan agama, yang penting baik maka baginya sudah cukup.
Pembicara kedua adalah Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta
yang menjadabat sebagai Presiden The Hindu Center of Indonesia, sekaligus
sebagai Rektor Universitas Mahendradata Bali, beliau berbicara dengan tema
Kepemimpinan dalam Perspektif Hindu Dharma, memulai pembicaraannya dengan
mengangkat latar belakang sejarah dan fakta bahwa Hindu sebagai agama politik.
Menurutnya Hindu adalah agama tertua di dunia dengan penganut 1.1 Milyar yang
terletak di beberapa negara Asia, seperti India, Nepal, Burma, Laos, Kamboja,
Indonesia dan lain-lain, menurut lelaki yang tinggi tegap dan berkulit cerah
ini, Nusantara adalah bagian dari Ramayana.
Pembicara juga menulis bahwa Hindu adalah agama sejarah dan
politik, Majapahit sebagai pusat sinar Hindu dunia, agama ini memiliki pengikut
40 % ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Salah satu faktor mengapa
penganut Hindu di Nusantara terkikis oleh agama Islam adalah karena pengaruh
invasi kaum muslimin.
Banyak simbol-simbol Hindu dalam asas dan lambang negara Indonesia,
seperti pancasila, garuda wisnu, sesanti bhinneka tunggal ika, perlambang
negara, dan yang paling mencolok menurut pembicara addalah, Tri Sakti Marhaenisme ala Bung Karno, yaitu. 1.
Berdaulat dalam bidang politik (dewi saraswati). 2. Berdikari dalam bidang
ekonomi (dewi sri laksmi). 3. Berkepribadian dalam bidang budaya (dewi durga
parwati).
Pada hakikatnya pembicara tidak masalah jika hal itu di sampaikan
dalam sklala internal agama Hindu, namun jika dilempar keluar tentu saja akan
bermasalah, banyak pandangan-pandangannya cenderum ngaur dan tidak berasal,
bahkan lebih kepada asumsi dan perspektif internal Hindu. Seperti jumlah
penganut Hindu pada tahun 1945 menggapai 40%, umat Islam melakukan invasi alias
pencaplokan terhadap agama Hindu, dan banyak lagi. Padahal data dan fakta
mengatakan bahwa umat Islam sejak merdeka sampai sekrang menjadi penganut
matoritas dan tidak pernah turun dari 80%, begitu pula Islam tersebar karena
peran pedagang dan para dai yang memperkenalkan Islam secara santun dan mulia.
Pembicara ketiga adalah Musadiq Marhaban, penulis buku Yudas
Bukan Pengkhianat, menurutnya hal yang terpenting dikirimnya seorang nabi
adalah adanya nubuat atau kepimimpinan, jika kita mengingkari nubuatnya
nabi Ibrahim, maka itu adalah sebuah kesalahan besar, orang katanya bisa saja tidak
bernyahadat, tidak salat, dan lainnya. Namun
tidak boleh tidak percaya pada nubuat. Intinya adalah, nubuat
lebih penting dari segalanya, karena nubuat juga berkonotasi dengan
kepemimpinan, atau imamah dalam pandangan Syiah.
Pada dasarnya Musadiq berbicara dalam konteks Mesianisme, atau
kepemimpinan al-Mahdi, termasuk dalam perspektif Ahlussunnah, untuk itu ia
mengakhiri tulisan dalam makalahnya yang tanpa note itu dengan.
“Mayoritas umat Islam di dunia ini didominasi oleh ajaran Ahlussunnah atau
kelompok Islam yang meyakini bahwa setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan
setelah beliau dipilih melalui sistem musyawarah atau konsensus dan bukan
berdasarkan nas seperti yang dipahami Syiah Imamiah. Artinya, kelompok ini
meyakini bahwa kenabian (nubuwwah) adalah dengan nas tetapi imamah tidak
demikian sehingga mereka boleh dipilih oleh umat Islam. Singkatnya walaupun
penolakan Ahlussunnah atas nas-nas imamah terkesan sepele, akan tetapi ketika
mereka menolak duabelas imam yang datang dari AhlulBait Nabi saw, maka pada
akhirnya mereka tidak memiliki figur manusia rujukan atau role-model yang dapat
memelihara mereka dari berbagai macam kesalahan dama mengintrepretrasikan
al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Sungguh tidak mengherankan bahwa sekalipun
jumlah Ahlussunnah adalah mayoritas tetapi mereka sendiri terkotak-kotak
melalui beragamnya mazhab akidah dan fikih dimana antara satu mazhab dengan
yang lain tidak sejalan. Salah satu kebingungan terbesar di kalangan
Ahlussunnah adalah kerancuan mereka memahami imam Mahdi as. Bahkan di antara
mereka ada yang menolak hadis-hadis mengenai kedatangannya karena tidak tahu
bagaimana dan dengan cara apa mereka dapat memahami figur tersebut. Hal ini
tidak mengejutkan karena kenabian Muhammad dipisahkan dari ajaran imamah yang
disampaikannya, maka pijakan keagamaan dan keyakinan mereka pasti mengalami
kerancuan sebagimana ajaran Yahudi yang terbingunkan dalam memahami Sang Mesiah
Akhir Zaman...”
Pada halaman 13 dalam makalahnya yang berjudul “Imam Mahdi dalam
Peninjauan Misianologik-Ibrahimik” di atas, tertulis juga, “Maka tanpaklah
sesuatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari,
dengan bulan di bawah kakinya sebuah mahkota dari duabelas bintang di atas
kepalanya. Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan
ia berteriak kesakitan. Maka tanpaklah suatu tanda yang lain dilangit, dan
lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, naga itu berdiri di hadapan
perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk menelan anaknya, segera sesudah
perempuan itu ia melahirkannya. Maka ia melahirkan seorang anak laki-laki yang
akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi, tiba-tiba anaknya itu
dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke tahta-Nya.”
Sayang tulisan-tulisan di
atas tidak memiliki sumber, tidak ada note alias catatan, semuanya pendapat
dan persepsi penulis sendiri, laksana dongen yang penuh dengan khurafat wa
abathil. Tapi inti pemaparannya adalah, hanya Syiah yang memiliki konsep
Imam Mahdi yang akurat dan relevan, tidak Sunni apalgi Yahudi dan Nasrani.
Pembicara yang ketiga adalah Prof. Dr. Hassan Rahimpour Azghadi
yang menjadi pengganti dari pembicara utama Ayatollah Hassan Akhtari, Sekjen
Majelis Bait Dunia. Pembicara menggunakan bahasa Farsi sebagai bahasa
pengantarnya, lalu diterjemahkan dengan seorang interpreter. Pembicara banyak
menyinggung tentang kepemimpinan masa kini dan yang akan datang. Masa kini yang
dimaksud adalah masa kekosongan sambil menunggu datangnya Imam Mahdi yang
sesungguhnya, akan membawa perubahan pada dunia, memberantas kemungkaran,
menegakkan keadilan dan membuat dunia menjadi amam. Menurutnya Imam Mahdi pasti
berasal dari keturunan Rasulullah lewat jalur Husain yanhg syahid di karbala, bukan
jalur keturunan Hasan ra dengan nama yang sama dengan Nabi Terakhir, Muhammad
saw. Sayang karena pembicara tidak membuat makalah dan disampaikan
dengan bahasa Farsi sehingga hadirin tidak antusias, seakan hanya
bincang-bincang biasa saja. Tidak ilmiah sama sekali.
Jalannya Acara
Dalam undangan tertulis bahwa seminar akan dimulai pada hari Rabu,
04 Juli 2012, pada pukul 08.00 namun molor hingga jam 09.00. setelah protokol
naik mimbar, maka acara pun dimulai
dengan bacaan Alquran oleh Supa’ Ata’na. Qari’ membaca surah al-Baqarah dari ayat pertama
hingga kelima. Acara dilanjutkan dengan laporan dari penyelenggara lalu dibuka
oleh ketua panitia. Setelah itu penyerahan sertifikat ‘al-Mahdawiyat’ secara
simbolis kepada dua orang peserta. Barulah pemibicara pertama Muhammad Rusli
Malik tanpil ke hadapan tanpa secarik kertas dan bicara sebagaimana yang saya
ulas di atas, dilanjutkan dengan pembicara kedua dari Dr. Shri Igusti
Ngurah Arya Wedarkarna Mahendradatta,
lalu Musadiq Marhaban, dan dilanjutkan oleh Prof. Dr. Hasan Rahimpour sebagai
pembicara terakhir.
Ketika pembicara terakhir sedang asyik-asyiknya memaparkan idenya
tanpa makalah, salah satu peserta, Ustad Said Abd. Shamad berdiri dan meminta
agar acara di scorsing sejenak untuk melakukan salat Zuhur secara berjamaah
karena waktu sudah masuk, jam menunjukkan pukul 12. 24 siang. Setelah
penerjemah meminta pertimbangan kepada pembicara, maka pembicara melemparkan ke
panita, dan panitia kembali melemparkan ke pembicara, dan pembicara berbangsa
Parsia ini pun setuju untuk jeda sejenak demi menunaikan ibadah salat Zuhur.
Waktu salat Zuhur, tak banyak dimanfaatkan oleh peserta untuk
benar-benar salat berjamaah, telihat hanya beberapa saja yang masuk ke musalla
dan berangkat ke masjid, lainnya hanya ngobrol dan nyantai di beranda
gedung, dan pada akhirnya waktu dipergunakan untuk santap siang.
Sesi kedua dimulai, setelah pembicara terkhir memaparkan idenya
yang persis kuliah umum (bukan seminar) maka tanya jawab pun dimulai. Salah
satu penanya dan perespon dari peserta adalah Ustad Said Abd. Shamad, beliau
men-counter seluruh pembicara yang dinggap menyimpang dan memang pada
hakikatnya menyimpang, seperti pembicara pertama yang hanya mementingkan
ketakwaan walau tanpa akidah dan syariat yang benar, dalam pandangan Rusli
Malik, tak mesti beragama yang penting orang bertakwa dan berbuat baik, persis
dengan paham Humanisme ala Barat.
Yang kedua adalah tentang adanya konotasi bahwa Islam menginvasi
agama Hindu sebagaimana pandangan I Gusti Ngurah Arya, serta adanya uapaya
mencocok-cocokkan Islam dengan Hindu, dan pembicara ketiga, Musadiq Marhaban,
ada beberapa hal yang dikoreksi oleh Pimpinan LPPI Indonesia Timur ini, seperti
masih menjadikannya kitab taurat dan injil sebagai rujukan padahal ini jelas-jelas
menyesatkan karena Nabi Muhammad sendiri sudah melarang akan hal itu.
Dikisahkan ketika Umar ra memegang kitab taurat, maka Nabi melarangnya karena
andai saja Musa atau Isa as masih hidup maka ia akan mengikuti ajaran
Rasulullah saw.
Setelah itu Ustadz Said mengoreksi pembicara asal Iran itu dengan
ucapan salawatnya yang berbumyi, “Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad”
tidak mencantumkan “Ashabihi” dalam shalawatnya. Juga terkait dengan jumlah Imam dua belas versi
Syiah, kenapa tidak dimasukkan Abu Bakar, Umar, Usman, arau Muawiyah yang lebih
banyak berjuang memperluas wilayah negara
Islam? Malah Hasan dan Husain yang tidak begitu banyak berbuat untuk
perkembangan Islam dimasukkan sebagai Imam?
Selesai tanya jawab, waktu sudah menjelang Asar, jam dinding sudah
menujukkan pukul 15.30, sebagian peserta meninggalkan ruangan, termasuk Ustadz
Said dan para pengikutnya. Perlu dicatat, bahwa acara Seminar Nasional ini sangat tidak layak
dikategorikan sebagai acara ilmiah apalagi dianggap sebagi seminar, karena
tidak ada makalah yang disajikan dan dibagikan kepada peserta kecuali Musadiq
Marhaban yang menulis tanpa note semua hasil asumsi dan karangannya
sendiri, semua pernyataan yang keluar dari bibir nara sumber juga dari asumsi
pribadi. Hanya layak dianggap sebagai obrolan Worung Kopi. Wallahul musta’an!
Oleh. Ilham Kadir, Journalist Freelance & Penulis Aktif
Comments