Jejak Dakwah KH. Lanre Said Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi
Sejarah,
bukan hanya rentetan peristiwa yang terekam dari masa lalu hingga saat ini,
tapi lebih jauh dari itu, sejarah adalah cermin agar mampu berkaca pada masa
lalu untuk mengukir sejarah baru saat ini dan akan datang. Apa yang sekarang
terjadi suatu saat nanti akan menjadi sebuah fakta sejarah.
Islamisasi
di nusantara adalah fakta sejarah yang sangat menarik untuk terus digali dan
selanjutnya diangkat kepermukaan untuk dapat dikonsumsi secara umum. Dalam
proses islamisasi tersebut terdapat aktor-aktor yang berperang penting, mulai
dari para da’i, penguasa, dan masyarakat umum.
Sebaigaimana
daerah-daerah lain di nusantara, Makassar juga menyimpang sejarah yang ‘unik’
dari proses transformasi aqidah dari kepercayaan pada dewata seuwae beralih kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Yang lebih menariknya lagi adalah peralihan
kepercayaan di atas terjadi dalam jangka masa yang cukup singkat dicatatkan
dalam lontara bahwa tanggal resmi penerimaan Islam sebagai agama resmi kerajaan
kembar Gowa-Tallo adalah pada malam Jumat
22 September 1605 dan beselang dua tahun kemudian tepatnya pada 9 Nopember
1607 seluruh rakyat dibawah naungan kerajaan Gowa-Tallo telah resmi diislamkan
dan diadakan shalat Jumat secara berjamaah untuk pertama kalinya.
Banyak
hal yang harus kita ketahui dan terus dipelajari dari proses trasformasi
keyakinan tersebut di atas agar kita semua paham bahwa para pendahulu kita
telah berusaha dengan gigihnya untuk menyebarkan agama Allah di muka bumi ini
sehingga kita semua dapat merasakan terangnya cahaya iman. Terdapat proses di
sana yang harus kita ketahui.
Buku
“Jejak
Dakwah KH. Lanre Said; Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi” yang ditulis oleh saudara Ilham Kadir Palimai setidaknya memberikan sedikit informasi bahwa
proses islamisasi yang telah dilakukan oleh datuk tellue pada abad ke-17 Masehi
terus berlanjut hingga hingga saat ini dan telah melahirkan tokoh-tokoh pejuang
agama Allah (ulama), mereka adalah aktor dan sekaligus pemelihara ekosistem
peradaban. Dengan ulama, peradaban akan tumbuh dan kuat, tanpa mereka sebuah
peradaban akan rapuh, kropos, dan hanya menunggu kehancuran.
KH.
Lanre Said adalah salahsatu dari sekian banyak ulama yang telah memberikan
sumbangsih pada tradisi keilmuan di Indonesia pada umumnya dan di Sulsel pada
khususnya. Ulama ini telah mencetak ratusan bahkan ribuan kader-kader yang
tangguh. Para santrinya datang dari berbagai penjuru bahkan dari manca Negara.
Lanre Said telah berhasil membangun satu sistem kaderisasi yang tepat pada masa
dan tempat yang tepat.
Buku
ini terbagi kepada lima bab, pertama membahas secara umum proses islamisasi di
Sulawesi selatan dari zaman datuk tellue hingga era KH. Muhammad As’ad. Pada
bab ini terdapat beberapa sub pembahasan diawali dengan memaparkan tradisi
pengembaraan orang bugis, termasuklah terjadinya hubungan diplomasi dengan
masyarakat luar.
...dalam
catatan sejarah Keraton Majapahit pada abad ke-14 bahwa hubungan diplomatik
dengan kerjaan Jawa seperti Bantayan alias Bantaeng, Luwu, Uda (pulau Talaud),
Makassar,Butun (Buton), Salaya (Selayar), di Sulawesi (Celebes) terjalin cukup
lama. Pada abad ke-16 orang Bugis-Makassar mengambil bagian penting dalam
beberapa pertempuran di Jawa terutama perlawanan terhadap Belanda. Karena
kemahiran mereka berkelahi dengan menggunakan senjata tajam yang digenggam
seperti badik, keris,dan sebagainya, maka mereka memiliki reputasi yang
menakutkan pihak lawan. Selain itu mereka juga memiliki kesetiakawanan yang
tinggi. Ketenaran itulah yang kemudian mendasari penyebutan dan penampilan
pahlawan-pahlawan Bugis-Makassar sebagai tokoh dalam pewayangan Jawa. Jejak
kongkrit pengembaraan mereka masih kita temui di Yogyakarta, Riau, Singapura,
Brunei, Johor, Pahang, dan Selangor (h.24).
Pada bagian kedua barulah mengungkap riwayat hidup KH. Lanre Said,
bermula dari kelahiran, latar belakang keluarga, pendidikan, bergabungnya denga
DI/TII dalam kurun waktu tidak kurang dari 12 tahun, kemudian mengembara ke
Kalimantan, Flores, Sumbawa, Surabaya, Cirebon, hingga kembali ke tempat
asalanya di kampung Tuju-tuju Kajuara Bone untuk selanjutnya merintis lembaga
pendidikan ala pondok pesantren. Pada bagian ketiga, diawali dengan memaparkan
jalan dakwah seorang ulama, dituliskan bahwa untuk dikatakan ulama, maka
seseorang haruslah melahirkan karya, setidaknya ada tiga jalan dakwah yang
lazim ditempauh oleh para ulama di tanah air kita, berdakwah lewat ceramah
agama; melahirkan karya tulis; dan mencetak kader lewat lembaga pendidikan (h.67).
Ketiga jalan dakwah ini juga terpatri pada diri seorang Lanre Said. Kita harus
katakan kalau ulama lokal ini telah menyemarakkan wacana intelektul global.
Pada bagian keempat, penulis buku ini memaparkan nasihat-nasihat
sang ustaz yang sangat bernilai melebihi intan dan permata sekalipun, juga
beberapa amalan yang sangat penting untuk kita ketahui dan amalkan, siapapun
yang dapat mengamalkan amalan-amalan ini secara konsisten maka dengan
sendirinya dapat menggapai derajat waliullah
(h.149-157). Sedangkan pada bab terakhir disuguhkan informasi tentang
kelangsungan lembaga pendidikan Ponpes Darul Huffadh yang telah beralih
generasi setelah ditinggal pergi oleh pendirinya.
Beberapa catatan pada buku
ini perlu juga diberikan untuk perbaikan pada masa mendatang. seperti masih
terdapat beberapa kesalahan penulisan misalnya pada penulisan tahun
dikeluarkannya dekrit untuk menjadikan Islam sebagai agama wajib bagi seluruh
kerajaan sekutu di Sulawesi Selatan oleh Sultan Alauddin yang tertulis 9
Nopember 1967 M, yang benar adalah 1607 M (h.29). Juga masih terdapatnya
kesalahan penulisan kata yang pada dasarnya merupakan ‘ketidakjelian’ editor
dan penyunting.
Terlepas dari itu semua, kita harus memberikan apresiasi pada
penulis yang pernah menjadi guru dan
mahasiswa di Negara Jiran Malaysia plus memiliki pengalaman sebagai jurnalis di
Jakarta ini. Beliau telah menyuguhkan informasi yang bermanfaat buat kita
semua. Dengan gaya bahasa yang mudah dicerna, tidak njlimet sehingga terasa renyah dan bergizi untuk dikonsumsi. Kedepan
kita sangat berharap agar penulis-penulis muda seperti ini kita dukung untuk
terus berkarya, dukungan harus datang dari semua aspek, pemerintah, akademis,
dan pengusaha, agar bisa berkarya dengan konsentrasi penuh demi menghasilkan
karya yang lebih berbobot. Untuk informasi, buku ini akan segera mendapatkan
rekomendasi dari Kepala Dinas Pendidikan Sulsel untuk dijadikan buku pegangan
bagi sekolah-sekolah di wilayah ini.
Dan terakhir, kita akui bahwa menulis dapat mengejawantahkan
eksistensi pelakunya, dengan menulis orang sekaligus berekspresi,
berkomunikasi, dan yang paling penting meninggalkan jejak fikiran untuk masa
yang tak terhingga. Ya, goresan tinta
seorang penulis akan kekal abadi kendati penulisnya telah terkubur dalam liang
lahad! Begitu menurut sebuah kata hikmah. Wallahu a’lam.
Apa kata mereka tentang buku ini?
Buku yang anda baca ini merupakan
salah satu dari profil da’i yang memang sangat layak untuk diangkat riwayat
hidupnya, mulai dari kehidupan pribadinya, pendidikannya, keilmuannya, corak
pemikirannya, jalan dakwahnya, serta nasehat-nasehatnya yang sangat bermanfaat
bagi kita semua tanpa kenal setting ruang dan waktu… Buku ini sangat tepat kehadirannya agar menjadi
inspirasi pada kita semua untuk berbuat dan berkarya sebagaimana Anre Gurutta
H. Lanre Said. Ditulis dengan bahasa yang mudah dan apa adanya dari seorang
murid yang pernah hidup bersamanya selama satu dekade, penulis seakan-akan
membawa kita turut hadir bersama dihadapan Anre Gurutta untuk mendengar dan
mengamalkan nasehat-nasetnya. (Drs. H.A. Patabai Pabokori, M.M., Kepala Dinas Pendidikan Wilayah Sulawesi Selatan).
Karya ini ditulis dengan cinta dan kesan
mendalam seorang murid yang selama bertahun-tahun diajar dan dibimbing langsung
oleh Ustadz Lanre Said. Seorang alim besar, tokoh pejuang dan pendidik agung,
sosok Ustadz Lanre Said yang ‘mukhlish’ sebagaimana dilukiskan dalam buku ini patut
menjadi teladan bagi generasi muda Islam zaman sekarang. (Dr. Syamsuddin Arif, M.A., Alumni MQWH Tuju-tuju, Peneliti
INSIST Jakarta & Dosen International Islamic University Malaysia).
Pada dasarnya Ayahanda Petta Lanre semenjak
keluar dari NII/DI-TII dan merantau ke Kalimantan, Sumbawa NTB, Flores NTT,
Surabaya Jatim, hingga ke Cirebon Jawa Barat, dimana pun beliau berada tetap
prioritas utamanya adalah mendirikan lembaga pendidikan, namun selalu saja
tidak berhasil kecuali setalah pulang dari rantau dan mendirikan Majelisul
Qurra Wal Huffadh (MQWH) di Tuju-tuju. Hanya lembaga pendidikan inilah yang
eksis hingga saat ini. Penulis buku ini setidaknya telah menyuguhkan informasi,
bahwa keberhasilan lembaga pendidikan di atas juga tidak lepas dari sinergi
antara Ayahanda, keluarga, serta para guru yang ikhlas berkarya pada masa
perintisan. (Dr. Muttaqin Said, M.A., Putra H. Lanre
Said, Santri Perdana MQWH Tuju-tuju dan
Pimpinan Pon-Pes Darul Abrar Palattae Bone Sulawesi
Selatan).
Berhadapan dengan sosok Gurutta Petta Lanre
kadang susah untuk kita pahami caranya bertindak untuk jangka masa yang
singkat, karena apa yang dia lakukan dan fikirkan sudah terlalu jauh kedepan
atau panrita, untuk itulah bagi yang berfikir dan bertindak
pragmatis tidak sedikit yang ‘kadang’
salah paham terhadap pribadinya, setidaknya seperti itulah salahsatunya yang
saya ketahui selama berguru padanya. Untuk buku ini, berbeda dengan biografi
pada umumnya karena menyuguhkan peran para ulama dan Raja-raja dalam sejarah
proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Sangat layak dibaca oleh berbagai
kalangan. (Dr. Zulfahmi Alwi, Alumni MQWH Tuju-tuju,
Ketua Jaminan Mutu & Dosen Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar Sulawesi Selatan).
JUDUL BUKU : JEJAK
DAKWAH KH. LANRE SAID: ULAMA PEJUANG DARI ERA DI/TII HINGGA
ERA
ROFPRMASI.
PENULIS : ILHAM
KADIR PALIMAI.
TEBAL : XXII
+ 216; 23,5 CM.
DITERBITKAN : AYNAT
PUBLISHING YOGYAKARTA, JULI 2010.
ISBN :
978-979-18842-3-5.
HARGA : RP.
65.000.00,-
DISTRIBUTOR : YAYASAN
INDONESIA BERSIH, 085217336715.
Comments