Indonesia Negara Paling Toleran di Dunia

Membaca tulisan Matius di
atas, maka yang terlintas dalam benak kita adalah. Pertama, masyarakat
Indonesia pada umumnya belum bisa hidup toleran, saling menghormati antara satu
pemeluk agama dengan yang lainnya terutama umat Islam yang menjadi penduduk
mayoritas. Kedua, pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan kebebasan
beragama di Indonesia karena lebih berpihak kepada agama tertentu (Islam). Ketiga,
untuk hidup damai dan penuh toleransi maka setiap agama harus mengamalkan
pluralisme atau mengakui kebenaran agama lain sehingga tidak mengklaim
agamanyalah yang paling benar.
Masalah Intoleransi beragama
di Indonesia menguak setelah dibeberkan oleh beberapa delegasi dari berbagai
negara seperti Austria, Norwegia, Belanda, Jerman, India, dan Itali dalam pertemuan
ke-13 Kelompok Kerja Universal Periodic Review Dewan HAM PBB yang berlangsung
di Jenewa, Swiss, pada 23-25 Mei 2012. Amerika Serikat akhirnya merekomendasikan
peningkatan pemahaman kebebasan beragama bagi pejabat pemerintah dan perlindungan HAM kelompok agama minoritas di
Indonesia.
Beragam tanggapan muncul dari
berbagai tokoh nasional, atas tuduhan intoleransi yang disematkan kepada
masyarakat dan bangsa Indonesia sebagaimana Matius Didi Darsono yang bahkan
menganggap jika kebebasan beragama di negeri ini terpasung.
Mantan Wakil Presiden yang
sekarang menjabat Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla juga
menolak tudingan yang menyebut bahwa ada intoleransi kehidupan beragama di
Indonesia. “Tidak ada intoleransi di Indonesia.” katanya. Bahkan JK tidak
percaya jika penilaian itu resmi dari forum PBB melainkan perorangan saja.
Pengusaha dermawan ini membandingkan dinamisasi pembangunan tempat ibadah di
Indonesia dengan AS. Indonesia sangat toleran terhadap perkembangan pembangunan
sarana ibadah, sedangkan di AS tidak boleh sembarangan membangun tempat ibadah,
termasuk masjid.
Sanggahan JK di atas diamini
oleh Menteri Agama Suryadharma Ali yang memaparkan data pembangunan rumah
ibadah dari 1977 hingga 2004 menunjukkan kalau gereja Kristen dari 18.977 buah
menjadi 43.909 buah (naik 131,88 persen). Greja Katolik dari 4.934 menjadi
12.473 (naik 142,8 persen). Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 (naik 475,25
persen) dan wihara Budha dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368,09 persen).
Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Prof. Dr. Yunahar Ilyas menegaskan bahwa negara Barat seharusnya
lebih banyak belajar toleransi di Indonesia, karena negara ini sangat layak
menjadi contoh sebagai negara yang toleran. Yunahar lantas memberikan beberapa
contoh, misalnya cara Indonesia memperlakukan perayaan hari besar agama. Meski
berpenduduk Muslim 88 persen, pemerintah tetap memberikan hari libur kepada
umat non-Muslim. Dan menurutnya bisa dibandingkan perbedaan ini dengan Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa dalam menyanbut hari-hari raya, di sana kaum
muslim tidak memiliki hari raya.
Menurut KH Ahmad Hasyim
Muzadi, jika kasus GKI Yasmin Bogor Jawa Barat menjadi ukuran Barat menilai
Bangsa Indonesia intoleran, maka hal itu sebuah kesalahan karena beliau sendiri
sudah berkali-kali berkunjung ke lokasi (GKI Yasmin) namun tampaknya mereka
(pihak Kristen) tidak ingin masalahnya selesai. Mereka lebih suka Yasmin jadi
masalah nasional dan dunia daripada masalahnya selesai. Mantan pimpinan organisasi
Islam terbesar di Indonesia ini memaparkan bahwa jika ukuran toleransi terkait
masalah izin pendirian gereja, maka itu adalah faktor teritorial. Di Jawa
pendirian gereja sulit, tapi di Kupang [Batuplat] pendirian masjid juga sangat
sulit. Belum termasuk susahnya mendirikan masjid di Papua. (Republika, 3 Juni
2012).
Senada dengan di atas, Ketua
Umum PBNU saat ini, Dr. Said Aqil Siraj dengan tegas menyerang balik pihak Barat
yang menganggap bahwa Indonesia intoleran, dengan mengatakan bahwa negara Barat
sendiri yang sama sekali tidak toleran. Di Prancis tidak ada pejabat muslim
padahal umat islamnya mencapai enam persen (sekitar 5 juta jiwa lebih). Tidak cuma
itu lanjut Said Aqil, jilbab saja dilarang. Di Swiss tidak boleh bangun menara
masjid. Hanya Inggris yang agak lumayan karena ada menterinya muslim. Kalau di
Indonesia kelahiran Yesus, Paskah, dan Waisak kita hormati dan diliburkan,
perlu dicatat bahwa pertumbuhan pembangunan gereja di Indonesia mencapai 240
persen. Namun beliau juga mengakui soal adanya kasus sana sini, termasuk kasus
Ahmadiyah dan gereja di Bekasi. Akan tetapi dengan kebesaran Indonesia dan
luasnya kedewasan bangsa ini dalam menjaga toleransi tidak menjadi kesimpulan
bahwa kita intoleran. Bila dibandingkan dengan kejadian di negara lain, mereka
jauh lebih besar. Barat seakan melihat Islam dengan mata sebelah. Lihat saja
kalau orang Yahudi dibunuh di Palestina sangat geger tapi jika rakyat muslim
Palestina dibantai seakan tidak masalah. Begitu pula yang terjadi di Irak dan
Afganistan. (Republika, 4 Juni 2012).
Indonesia sebagai bangsa yang
mejemuk memang sangat perlu adanya sikap toleran, yang mayoritas menghormati
yang minoritas, yang minoritas menghargai yang mayoritas. Lalu, yang mayoritas
menyayangi yang minoritas, yang minoritas mengasihi yang mayoritas. Tanpa itu
buyarlah keutuhan negeri ini. Amat lucu jika sesama penganut agama memecah
belah persatuan dengan menuding kaum mayoritas selalu ingin menghabisi yang
minoritas dan pemerintah selalu berpihak kepada yang mayoritas, lalu melahirkan
pemasungan kebebasan beragama.
Dalam segi akidah, umat Islam
selaku mayoritas telah memiliki panduan yang jelas, ada garis batas tegas
sesuai petunjuk Allah dalam Alquran Surah Al-Kafirun, “Bagimu agamamu, bagiku
agamaku!” silahkan saja umat mana pun di negeri ini untuk beribadah
sebebas-bebasnya. Anda akan aman, selama tidak mengusik dan menyakiti penganut
lain. Tidak ada ruang untuk menganut mazhab pluralisme di negeri ini, karena
mazhab ini sebenarnya sama dengan agama baru, pluralisme adalah ‘agama’ tanpa
‘agama’. Mereka menganggap semua agama sama benarnya, jadi tidak perlu
beragama. Yang benar adalah setiap penganut harus meyakini kalau agamanyalah
yang paling benar dan memberikan ruang dan kebebasan agama lain dalam
menjalankan agamanya.
Pada awal kemerdekaan terjadi
perdebatan dalam perumusan dasar negara antara pihak nasionalis-sekuler seperti
Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin dan yang lain, di pihak islamis-religius ada
KH. Agussalim, KH. Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Sanoesi, dan Kahar
Muzakkir. Mereka inilah tim inti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), umat Islam kendati mayoritas
(bukan hanya 20 persen sebagaimana ditulis Matius Didi Darsono) atas nama
persatuan dan toleransi rela jika negara ini bukan berasaskan Islam. Puncak
dari perdebatan tersebut adalah dicoretnya kata-kata, “... dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Pancasila.
Harus diakui kalau negara ini
adalah surga toleransi sebagaimana pandangan KH. A. Hasyim Muzadi. Klaim ini
tidaklah berlebihan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia saja
yang penduduk non-Muslimnya mencapai 40 persen, tetap menjadikan Islam sebagai
agama resmi negara. Dan perlu diketahui bahwa dalam satu dasawarsa terakhir ini
penganut Kristen cukup meningkat dengan signifikan sebagaimana meningkatnya
jumlah gereja yang terbangun di tengah penduduk muslim. Tidak jauh beda dengan
peningkatan pemeluk Islam yang terjadi di Eropa. Bedanya jika yang pertama
melalui proses kristenisasi sedang yang kedua melalui kesadaran individu. Wallahu
A’lam!
(Ilham Kadir, BA., Mahasiswa
PPS UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur)
Comments