Gurutta, Anreguru, Panrita
Masalah
ini muncul ketika penulis menjadi pemateri dalam sebuah seminar terbatas pada
Program Pascasarjana UMI beberapa waktu yang lalu. Saat itu, salah seorang
mahasiswa berdiri dan menanyakan apa perbedaan antara gurutta, anreguru, dan
panrita? Seminar yang dipandu oleh Ibu Rektor, Prof. Dr. Hj. Masrurah itu
berjalan menarik, karena tidak sedikit peserta mengeluarkan pendapatnya yang pada
umumnya benar namun ada pula yang keliru. Tulisan ini berusaha membedah makna
dari ketiga istilah di atas.
Pada
umumnya masyarakat di Sulawesi Selatan yang diwakili oleh etnis Bugis dan
Makassar menyebut ulama dengan sebutan “anreguru” dan “gurutta”
penambahan “ta” pada “gurutta” berarti “kita” jadi makna dari “gurutta’” adalah “guru
kita”. Ada pun pengertian “anreguru”
dari segi etimologi (lughawi) adalah rangkaian dua suku kata yang
artinya berlainan antar satu dengan lainnya, kata “anre” dalam bahasa Bugis
berarti “makan” dan “guru” juga berarti “guru”
namun jika dilebur menjadi “anreguru” maknanya berubah menjadi “maha
guru”.
Guru di sini dapat diartikan sebagai pendidik
dalam pengertian yang lebih luas bukan sebagaimana kata “guru” menurut
pengertian dari kamus-kamus bahasa Indonesia, salah satunya adalah “Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi III (2001)” mengartikan bahwa “guru” hanyalah orang yang
mata pencahariannya mengajar. Kata “guru” dapat digunakan untuk menyebut
berbagai jenis orang yang mengajarkan sesuatu. Seperti para pengajar di
sekolah, yang mengajar mengaji guru pangngaji, begitu pula para Imam
kampung yang sering diminta membacakan doa untuk hajatan disebut guru
pabbaca doang. Bahkan seseorang yang mengajarkan ilmu bela diri juga
disebut guru pamenca’.
Dari
segi istilah, anreguru atau gurutta adalah seseorang yang memiliki keilmuan
dalam bidang agama yang tinggi dan memiliki prilaku ampe-ampe yang baik madeceng.
Dengan demikian hanya ulama saja yang bisa disematkan padanya gelar anreguru
dan gurutta, kedua panggilan tersebut adalah legitimasi dari masyarakat sendiri
yang memberi pengakuan terhadap ulama yang telah sampai derajatnya pada level
anreguru dan gurutta. Namun perlu
dicatat bahwa anreguru memiliki kedudukan yang tertinggi dalam hierarki
keulamaan bagi masyarakat Bugis daripada gurutta, namun kedua istilah tersebut
kerap bergonta-ganti penyebutannya, hal ini karena yang bergelar anreguru sudah
pasti dapat dipanggil gurutta, namun tidak demikian sebaliknya. (Ahmad,
2008:178).
Pada
dasarnya kata “guru” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pengajar agama
(religious teacher) dari kalangan Brahma dalam agama Hindu, yang dapat
disejajarkan dengan istilah pendeta dalam agama Kristen dan Syekh dalam
literatur Islam. Gurutta sebagai pengganti kata ulama di kalangan masyarakat
suku Bugis sama dengan bahasa aslinya, Sansekerta. Syekh Yusuf Al-Makassari
pernah berkata, “Man la syaikha lahu fa as Syaithonu syaikhuhu, siapa
yang tidak memiliki syekh ‘guru’ maka setanlah akan menjadi gurunya.” Jadi
menurut Al Makassari, guru memiliki kedudukan sejajar dengan Syekh dalam kalangan sufi, yang sekaligus memiliki maqam
(kedudukan) sebagai pembimbing (mursyid) pagi pengikutnya.
Selain
anreguru dan gurutta, ada lagi satu istilah yang lebih khusus yaitu “panrita”
kata ini berasal dari “ita” yang berarti “melihat” penambahan kata “pan” pada
awal kata menjadikan maknanya berubah menjadi pelaku, jadi “pan-rita” dapat
diartikan “ yang dapat melihat” namun melihat disini adalah dapat mengetahui
pada hal-hal yang bersifat gaib dengan izin Allah. Namun dalam beberapa daerah
seperti Bulukumba misalnya, juga mengartikan panrita sebagai seorang pakar atau
ahli yang mengetahui sesuatu secara rinci, knowing everything about
something, seperti ‘penrita bola’ atau seseorang yang tahu persis
seluk-beluk tentang pembuatan rumah secara detil termasuk hal-hal yang bersifat
metafisik, ada pula ‘panrita lopi’, sesorang yang ahli dalam berbagai dimensi
tentang perkapalan, dan sejenisnya.
Dalam
strata sosial masyarakat Bugis dan Makassar, seorang panrita memiliki kedudukan
setara dengan ‘anakarung’ yang notabenenya keturunan ‘arung’ mereka
inilah para keturunan darah biru alias raja. Secara formal, struktur kasta
masyarakat Bugis-Makassar terdiri dari tujuh susunan, mereka adalah, Anakarung
(bangsawan), Panrita (ulama), To Acca (intelektual), To Sogi
(orang kaya), To Warani (jawara), To Maradeka (orang merdeka),
dan Ata (hamba). Seluruh lapisan masyarakat di atas, panrita memiliki
tempat khusus karena duduk pada urutan kedua dan dalam beberapa hal dapat
disejajarkan dengan anankarung. Seorang panrita misalnya dapat menikahi para
gadis dari anakarung. Sebagiaman yang terjadi pada Syekh Yusuf Al Makassari
yang telah mempersunting gadis keturunan anakarung.
Istilah
lain yang umum digunakan untuk menyebut ulama adalah kiai, kendati istilah ini
adalah ‘barang impor’ dari Jawa, namun karena faktor kebiasaan serta memasyarakatnya
istilah tersebut membuat kiai lebih umum digunakan. Ulama sebagaimana yang kita
pahami adalah ahli agama yang mendapat pengakuan dan menjadi rujukan
masyarakat. Sedangkan kiai lebih bersifat umum, yaitu mereka secara umum
mendapatkan pengakuan meskipun tidak selalu harus menjadi rujukan, termasuk
saat ini tidak sedikit kiai yang masuk dalam ranah politik praktis dengan dalih
‘mewakili’ umat dan tidak lagi berstatus sebagai guru atau pembimbing umat.
Sementara penggunaan istilah anreguru dan gurutta’ lebih bersifat khusus.
Anregurutta
menjadi rujukan tertinggi dalam hirarki transmisi keilmuan di kalangan para
ahli agama yang ada di bawahnya. Gurutta menjadi rujukan para ustaz dan
masyarakat banyak, sedangkan anreguru menjadi rujukan masyarakat, ustadz, dan
para gurutta. Oleh karena itu masyarakat, para ustadz, dan gurutta memiliki
rujukan masing-masing dalam masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri.
Jaringan guru-murid di kalangan para ulama dapat dilihat dari kebiasaaan siapa
yang merujuk pada siapa dalam masalah keislaman. Panrita digunakan untuk ulama
yang sampai pada tahap anregurutta, tingkat keulamaan tertinggi di kalangan
masyarakat Bugis. Kualifikasi tinggi yang dimilikinya menjadikan panrita
termasuk salah satu elit sosial dalam struktur sosial masyarakat Sulawesi
Selatan.
Dalam kapasitas sebagai panrita (ulama) statusnya sama dengan mujtahid,
oleh karena itu syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, menurut
Anregurutta H. Lanre Said –salah satu panrita dari Bone- adalah harus menguasai
ilmu dua belas, yaitu: ilmu nahwu,
sharaf, fiqhi, tafsir, tauhid, hadits, musthalah hadits, mantiq, ma’ani, bayan,
badi’, dan ushul al fiqhi. Selain harus mengetahui minimal 2000 hadis dan hafal
Alquran 30 juz. Termasuk wajib memahami klasifikasi ayat-ayat terutama yang
berkaitan dengan hukum.
Namun
secara umum, ulama dalam perspektif masyarakat Bugis terdapat perbedaan dengan
pengertian ulama secara umum yang setidaknya mengemban beberapa fungsi
sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, yaitu tabligh (menyampaikan
pesan-pesan agama) yang menyentuh hati dan merangsang pengamalan, misalnya Q.S.
al-Nisa: 63, tibyan (menjelsakan masalah-maalah agama berdasarkan
kitab suci) secara transparan, misalnya
Q.S. al-Nahl: 44, tahkim (menjadikan Alquran sebagai
sumber utama dalam memutuskan perkara) dengan bijaksana dan adil, mislanya Q.S.
al-Baqarah: 213, dan Uswah hasanah (menjadi teladan yang baik)
dalam pengamalan agama, misalnya Q.S. al-Ahzab: 21.
Terjadinya interaksi yang panjang dan hubungan akrab yang terbangun
antara ulama dan masyarakat membuat ulama di mata orang Bugis menjadi sosok
yang rentang terhadap penilaian masyarakat pengikutnya. Segala gerak-geriknya,
termasuk keluarganya akan disorot oleh para masyarakat. Ulama merupakan
personifikasi yang ideal dalam benak setiap masyarakat Bugis. Oleh karena itu
hal paling pokok selain penguasaan keilmuan adalah akhlaqul karimah atau
tingkah-laku yang elok, masyarakat Bugis menyebutnya ampe-ampe madeceng,
aspek inilah yang menjadi dominan dalam menilai seorang anreguru.
Kenyataannya, begitu banyaknya pakar hadis, tafsir, fikih, bahkan
Alquran yang telah bergelar doktor dan guru besar namun tak jua dipandang
sebagai ulama, apalagi didaulat menjadi gurutta dan anreguru, terlebih sebagai
seorang panrita. Ini makin diperparah
dari ulah sebagian guru besar yang ahli agama justru tidak jarang membingungkan
umat dengan dalih pencerahan, namun sebaliknya yang terjadi adalah pelecehan
agama. Saat ini, umat secara umum dan masyarakat Bugis secara khusus sangat
mendambakan lahirnya para panrita, anreguru, dan gurutta. Wallahu A’lam!
(Ilham Kadir, Mahasiswa
Pascasarjana UMI Makassar & Peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam (LPPI) Indonesia Timur)
Comments