Genosida Era 'Google'
Jika kita memasukkan kata kunci pada mesin
pencari di Google “genosida muslim Rohingya” maka akan muncul sedikitnya 18.300
hasil dalam jangka 26 detik, namun jika menekan kata kunci “pembantaian muslim Rohingya”
akan muncul sedikitnya 325.000 dalam durasi 24 detik, begitu pula jika menekan
kata “pembersihan etnis muslim Rohingya” akan muncul hasil sedikitnya 37.000
dalam durasi 19 detik.
Ini menunjukkan bahwa informasi terhadap sebuah
persitiwa yang mencuat begitu cepat terakses dan diketahui publik. Kita telah
memasuki setting waktu yang tak mengenal ruang, sebagaimana yang terjadi di
Rakhine (salah satu negara bagian Myanmar), ketika para penganut agama Islam
atau saudara seiman kita dibantai oleh segenap etnis Budha Arakan yang mendapat
dukungan dari para biksu dan pemerintah, maka dengan adanya teknologi
informasi, peristiwanya dengan begitu mudah kita ketahui dalam durasi yang
singkat.
Hal di atas berbeda dengan puluhan tahun lalu
khususnya peristiwa perang dunia pertama dan kedua, atau lebih khusus lagi pada
tragedi holocaust (kalau memang benar adanya sebagaimana yang dipertanyakan
sebagain pakar, di antaranya oleh Syeikh Mamduh Farhan Al-Buhairi dalam
majalahnya Qiblati) yang dilakukan oleh rezim Adolf Hitler lewat partai Nazinya
dengan membantai 90.000 orang Yahudi di selatan Ukraina pada tahun 1941, dan
lebih dari satu juta orang Yahudi di pusat pembantaian Auschwitz-Birkenau
selama masa perang yang dilakukan oleh Jerman dan kolaboratornya selama berlangsungnya
Perang Dunia II. Peristiwa holocaust tersebut hanya diketahui setelah rezim
Hitler tumbang beberapa tahun kemudian.
Pada zaman yang kita kenal dengan era informasi
ini, sebetulnya tidak mesti lagi ada tragedi kemanusiaan yang didasari oleh
kebencian terhadap satu kaum, ras, agama, bangsa, atau apa pun namanya karena
tindakan semacam itu hanyalah puing-puing peninggalan zaman batu yang disebut
oleh Putra Sawerigading, Lagaligo sebagai zaman ‘Sianre Bale’ laksana ikan
(besar) memangsa ikan (kecil). Dimana jika sebuah tragedi berlangsung di suatu
daerah, sangat sulit untuk diketahui daerah lain terlebih jika jarak antara
satu daerah dengan lainnya disekat dengan medan yang saling berjauhan.
Peristiwa pembantaian etnis muslim Rohingya
bermula ketika salah seorang dari kaum muslim disinyalir melakukan kekerasan
seksual terhadap wanita dari etnis Budha Arakan. Sejak saat itu ‘mesin genosida
[penghapusan etnis]’ mulai memanas, korban pertama terjadi pada tanggal 3 Juni
2012, dimana satu bus yang ditumpangi oleh 10 orang beragama Islam (Jamaah
Tabligh) dihabisi. Selanjutnya rentetan pembantaian terus berlanjut tanpa jeda
hingga saat ini.
Dalam akun facebook ‘Revolusi Anak Muda
Malaysia [R.M.M.]’, sebuah akun yang sangat aktif memposting gambar-gambar dan
berita-berita terkait keadaan etnis muslim Rohingya, berita berisi foto-foto
vulgar tentang pembantaian, seperti mayat-mayat bergelimpangan dengan baju dan
kulit hangus akibat habis dibakar, mayat bersimbah darah bekas bacokan, yang
kembung akibat terendam dalam air, dan beragam foto lainnya yang berhasil
diabadikan oleh para fotografer, ragam jenis foto pembantaian itu dishare
ke pelbagai pemilik akun facebook dan jejaring sosial lainnya.
Pada tanggal 30 Juli 2012, akun dari ‘R.M.M’ di
atas menyebut sedikitnya tujuh masalah yang mengarah kepada genosida tehadap
umat Islam Rohingya yang malang. a). 52.000 umat
Islam disembelih dalam masa hanya enam minggu. b) 22 buah masjid dibakar,
sebahagiannya dibakar bersama dengan jemaah ketika menunaikan salat. c) 60 buah
kampung berpenduduk muslim dibakar. d) wanita diperkosa sampai tewas. e)
jenazah umat Islam tidak dibenarkan diambil dan dikubur, mereka melempar
mayat-mayat tersebut ke laut atau dibiarkan hingga disantap anjing-anjing. f)
warung-warung makan tidak dibenarkan menjual makanan kepada umat Islam, dan g)
siapa saja yang berani merenovasi kembali masjid yang telah dibakar, akan
dimasukkan dalam penjara.
Yang tambah menyedihkan lagi
karena para biksu yang notabene-nya memiliki peran vital dalam
perdamaian di Miyanmar, secara terang-terangan menolak keberadaan kaum muslimin
sebagai etnis minoritas di Miyanmar, sebagaimana yang diangkat dalam laporan
jurnalistik dalam harian berbahasa Inggris di Inggris The Independent
(25/7) dengan tema “Burma’s Monks Call for Muslim Community to be Sunned” maknanya
“Para Biksu Burma Mengimbau untuk Menjauhi Komunitas Muslim” lebih menyakitkan
lagi karena para biksu menuduh kaum muslimin Rohingya telah merusak alam serta
dituduh menjadi teroris.
Hal ini makin diperparah
dengan keluarnya pernyataan oleh Presiden Miyanmar Thein Sein pada awal Juli
lalu bahwa satu-satunya solusi untuk mengakhiri permusuhan etnis di Rohingnya
adalah dengan mengirim para entis muslim Rohingnya ke negara ketiga atau ke
Badan Pengungsi PBB, UNHCR untuk menjaga mereka. Dengan kata lain sang presiden
mengusir para penduduk muslim Rohingya. Padahal umat Islam Rohingya telah ada
dan berdiam di Rakhine semenjak delapan abad yang lalu.
Ajaibnya, di negeri nyata yang kita bicarakan
ini terdapat sosok pejuang Hak Asasi Manusia yang kaya penghargaan
internasional, namun tak ada pula sumbangsihnya terhadap pembelaan kepada etnis
minoritas di negaranya. Ketika Presiden Thein Sein mengeluarkan dukungan
genosida, sang pejuang HAM yang termasyhur itu, Aung San Suu Kyi yang baru saja
mendapat sambutan hangat sebagai pejuang demokrasi kala menerima nobel
perdamaian dunia di gedung megah Balai Kota Oslo Norwegia 16 Juni lalu, namun
tak juga berani mempertanyakan sikap presidennya yang biadab itu. Padahal dalam
pidato sambutannya setelah penyerahan nobel perdamaian itu, Suu Kyi menyinggung
tentang pentingnya perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia di Miyanmar. Lebih
konyol lagi, sebagaimana yang dipaparkan dalam sebuah laporan seperti dikutif
Press TV, mengungkapkan bahwa setelah menerima nobel, Aung Suu Kyi mengatakan
kepada media kalau dirinya tidak tahu jika Rohingya merupakan bagian dari
Miyanmar. Tidak pula mengkritisi pernyataan Presiden Thein Sien yang menyatakan
kalau Rohingya bukan penduduk Miyanmar. (Republika, 30 Juli 2012).
Puncak protes terjadi pada Suu Kyi ketika
beliau berkunjung ke Eropa pada bulan lalu dan melakukan serangkaian pertemuan
dengan para pemimpin negara, dalam setiap pertemuan tidak pernah sama sekali
menyinggung adanya masalah kemanusian terburuk di zaman ini yang sedang berlaku
di Miyanmar. Atas sikap Suu Kyi itu, beragam reaksi muncul, salah satunya
Direktur Human Right Wach Asia, Brad Adam berkomentar. “Dia melewatkan
kesempatan untuk melewatkan hal-hal yang baik ini karena dia seperti tidak
ingin menghadapinya.”
Akhirnya nasib kaum muslimin di Miyanmar sangat
tergantung dengan umat Islam sendiri, kita tidak boleh hanya diam berpangku tangan
dan mengharap bantuan orang lain yang tidak jelas kapan ada realisasinya. Kita
salut dengan kelompok militan Taliban di Pakistan yang siap terjun membantu
umat Islam di Rohingya dengan jiwa-raga sekalipun. “Kami akan membalas dendam
atas darahmu yang tertumpah, “ kata kelompok Tehreek-eTaliban (TTP) sebagaimana
dikutip harian FAJAR 30 Juli 2012. Bahkan Ketua TTP, Ehsanullah Ehsan menuntut
pemerintah Pakistan menghentikan seluruh hubungan dengan Miyanmar dan menutup
kedutaan besarnya yang berlokasi di Islamabad, jika tidak diendahkan maka
pihaknya akan melakukan penyerangan terhadap kepentingan Burma –sebutan lain
bagi negara Miyanmar. Ancamnya. (FAJAR 30 Juli 2012).
Jusuf Kalla juga layak untuk menjadi panutan
terkait kasus Rohingya, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia dan bakal calon
presiden 2014 ini lebih dulu memberi pembelaan terhadap nasib umat Islam di sana. Dengan suara lantang JK
menegaskan, “saya berada di belakang umat Islam Rohingya!”
Dan yang teranyar adalah Perdana Menteri Turki,
Tayyeb Erdogan dengan keras mengeluarkan pernyataan pembelaan terhadap etnis
muslim Rohingya, “Jika Miyanmar tidak berhenti menghina umat Islam, balasan
kami adalah bertindak lebih keras dan ganas,” ancam sang pemimpin dambaan umat.
Mudah-mudahan ritual puasa yang dilakukan umat
Islam sedunia saat ini dan kaum muslimin di Indonesia menumbuhkan empati
terhadap sesama. Terutama para saudara kita di Miyanmar, diharapkan
sumbangsihnya terutama para imam sedapat mungkin mengadakan qunut nazilah
mendokan saudara seiman, serta para dai agar mengangkat masalah ini dalam
setiap ceramahnya, lalu mendorong para jamaah menyisihkan sebagaian hartanya
untuk saudara-saudara kita para muslim Rohingya yang tertindas.
Duit Rp. 5.000 mungkin sebagaian orang tidak
begitu bermakna, namun jika uang dengan jumlah tersebut terkumpul dari
100.000.000 kaum muslimin di Indonesia, pasti akan lain certianya. Bukankah
orang beriman yang diseru berpuasa ibarat satu jasad, jika satu bagian tubuh
tertimpa sakit maka organ lainnya turut merasakan. Wallahua’lam!
Ilham Kadir. Mahasiwa
Pascasarjana UMI Makassar & Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments