Filsafat Ilmu; Manusia Bisa Tahu Yang Benar
Manusia normal pada hakikatnya dapat
mengetahui kebenaran dengan segala kemampuan dan keterba-tasannya. Ia juga bisa
memilih (ikhtiyar) dan
memilah (tafriq), membedakan
(tamyiz), menilai
dan menentukan (tahkim)
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang berguna dan mana yang berbahaya,
dan seterusnya.
‘Kemampuan’ yang dimaksud adalah kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan
spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Ada pun ‘keterbatasan’ merujuk
pada keterbatasan intrinsik manusiawi maupun ekstrinsik non-manusiawi,
Keterbatasan yang dimiliki manusia meskipun ada, tidak sampai berakibat
gugurnya nilai kebenaran maupun keabsahan atau validitas dari ilmu itu sendiri.
Sedangkan kondisi ‘normal’ yakni keadaan seorang yang sempurna (tidak cacat)
dan sehat (tidak sakit atau terganggu), baik fisik maupun mentalnya, jasad dan
ruhnya, terutama sekali akal dan hati (qalb)-nya.
Maka dalam
diskursus Filsafat Ilmu yang Islami, mengetahui (‘ilm) dan mengenal (ma‘rifah) bukan sesuatu
yang mustahil. Pendirian kaum Muslimin Ahlus
Sunnah wal-Jama’ah dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs
Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi secara ringkas: haqa’iqul asyya’ tsabitah,
wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah (Lihat:
Matan al-‘Aqa‘id dalam
Majmu‘ Muhimmat al-Mutun, Kairo:
al-Matba ‘ah al-Khayriyyah, 1306 H).
Ditegaskan
bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap sehingga
bisa ditangkap oleh akal minda kita. Hakikat segala sesuatu dikatakan tidak
berubah karena yang berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nya saja, sehingga ia bisa
diketahui dengan jelas. Sebagai contoh, manusia bisa dibedakan dari monyet,
ayam tidak kita samakan dengan burung, atau roti dengan batu. Maka ilmu tentang
kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan
dalam kitab suci al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah
sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”
Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah: Bagaimana cara, dengan apa atau dari ilmu apa dapat
diketahui dan dipastikan? Meminjam formulasi wacana filsafat modern: How is knowledge possible? Jawaban
pertanyaan ini adalah ilmu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera
(idrak al-hawass), proses
kognitif akal yang sehat (ta‘aqqul)
termasuk intuisi (hads),
dan melalui informasi yang benar (khabar
shadiq). Demikian ditegaskan oleh Sa‘duddin at-Taftazani, Syarh al-‘Aqa‘id an-Nasafiyyah, cetakan
Istanbul: al-Matba’ah al- ‘Uthmaniyyah, 1308 H.
Permasalahan
tersebut juga disinyalir dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16):78, Qaf (50):37, al-A’raf (7):
179, Ali ‘Imran (3):138, dan masih banyak lagi. Persepsi inderawi yang
digunakan manusia untuk memperoleh ilmu meliputi kelima indera (pendengar,
pelihat, perasa, penyium, penyentuh), di samping indera keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau
sensus communis, yang
menyertakan daya ingat atau memori (dzakirah),
daya penggambaran (khayal)
atau imajinasi, dan daya perkiraan atau estimasi (wahm) (Silakan lihat:
Imam al-Ghazali, Ma‘arij
al-Quds ila Madarij Ma‘rifat an-Nafs, Beirut, 1978). Sedangkan
proses akal mencakup nalar (nazar)
dan alur pikir (fikr),
seperti dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam kitab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimi wa
1-Muta’akhkhirin, cetakan Kairo: al-Matba’ah al-Husayniyyah, 1969. Dengan nalar dan pikir
ini manusia bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat,
berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan.
Selanjutnya, dengan intuisi ruhani seseorang dapat menangkap pesan-pesan ghaib,
isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham,
fath, kasyf, dan sebagainya.
Selain persepsi
indera dan proses akal sehat, sumber ilmu manusia yang tak kalah pentingnya
adalah khabar sadiq, yakni
informasi yang berasal dari atau disandarkan pada otoritas. Sumber khabar sadiq, apalagi
dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang
diterima dan ditransmisikan (ruwiya)
dan ditransfer (nuqila)
sampai ke akhir zaman. Mengapa hanya khabar sadiq yang diakui sebagai sumber
ilmu? Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus diterima? Lantas kapan
suatu proposisi, informasi, pernyataan, ucapan, pengakuan, kesaksian, kabar
mesti ditolak? Apa patokan dan ukurannya? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan
ini pun telah dirumuskan oleh para ulama ahli hadis dan usul fiqh.
Secara umum, khabar
atau kabar dalam
arti berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, atau ucapan, berdasarkan
nilai kebenarannya dapat diklasifikasikan menjadi kabar benar (shadiq) dan kabar palsu
(kadzib). Sebagian
ulama bahkan berpendapat pemilihan ini perlu diperjelas lagi dengan kriteria
‘dengan sendirinya’ (bi-nafsihi
atau lidzatihi)
yakni tanpa diperkuat oleh sumber lainnya, dan ‘dengan yang lain’ (bi-ghayrihi) yakni
karena didukung dan diperkuat oleh sumber lain. Khabar shadiq menurut Imam an-Nasafi, al‘Aqa’id dibedakan
menjadi dua macam. Pertama, khabar
mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal
dan banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Maka kabar
jenis ini merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya (mujib li l-’ilmi d-dharuri). Kedua,
informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan
mukjizat. Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan
diyakini kebenarannya (yakni menjadi ilmu dharuri
alias necessary
knowledge) apabila telah diteliti dan dibuktikan terlebih dulu
statusnya. Keterangan Imam an-Nasafi ini menggabungkan aspek kualitas dan
kuantitas narasumber.
Penting sekali
diketahui bahwa tidak semua informasi atau pernyataan yang berasal dari orang
banyak bisa serta-merta dianggap mutawatir. Mengingat implikasi
epistemologisnya yang sangat besar, para ulama telah menetapkan sejumlah syarat
sebagai patokan untuk menentukan apakah sebuah kabar layak disebut mutawatir
atau tidak. Berkenaan dengan khabar
al-wahid atau khabar
al-ahad, para ulama juga telah menetapkan persyaratan yang cukup
ketat, tidak hanya untuk nara sumbernya, tapi mencakup isi pesan yang
disampaikannya, serta cara penyampaiannya. Maka sebuah kabar yang membawa ilmu
mesti diklasifikasi juga berdasarkan kualitas sumber-sumbernya, siapa pembawa
atau penyebarnya atau orang yang mengatakannya, lalu bagaimana kualifikasi
serta otoritasnya (sanad atau isnadnya).
Sikap kritis
terhadap sumber dan isi ilmu dalam juga perlu dilakukan terhadap sumber intern
masyarakat Islam sendiri. Hal ini dapat dilacak dan sejarah keilmuan Islam sejak
kurun pertama Hijriyah. Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khattab dan
Ali ibn Abi Talib terkenal sangat berhati-hati dalam menerima suatu laporan
atau khabar dari para Sahabat mengenai ucapan, perbuatan ataupun keputusan yang
ditetapkan Rasulullah SAW. Untuk menepis kemungkinan terjadinya tindakan
pemalsuan dan dusta atas nama Rasulullah SAW, para khalifah bukan hanya
melakukan pemeriksaan seksama (tatsabbut)
dengan cara meminta minimal dua orang saksi (istisyhad) dan menuntut
sumpah (istihlaf, bahkan
juga mengimbau agar orang tidak gampangan
mengeluarkan hadith (iqlal
fi r-riwayah). Untuk ini kita bisa merujuk kitab Hujjiyyat as-Sunah karya
‘Abd al-Ghani ‘Abd al-Khaliq, Washington: International Institute of
Islamic Thought, 1986.
Sikap selektif
terhadap sumber ilmu yang dikembangkan menjadi metode isnad ternyata masih
sangat relevan dalam tradisi intelektual di jaman modern ini. Pentingnya metode
ini dapat dirujuk kepada pernyataan ulama salaf ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w.
181 H 797 M):
“Tanpa sandaran otoritas, niscaya
setiap orang akan berbicara tentang apa saja sesuka-hatinya (lawla l-isnad, laqala man sya’a ma
sya’a).” Sedangkan Abu Hurayrah r.a., Ibn ‘Abbas r.a., Zayd ibn
Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, ad-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha’i pun telah
berpesan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dengan
siapa kalian berguru dalam soal agama (inna
hadza-l-’ilma dinun, fa unzhuru ‘amman ta’khudhuna dinakum). (Imam
Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kitab al-Majruhin
min al-Muhaddithin wa d-Dhu‘afa’ wa l-Matrukin, cetakan Aleppo: Dar
al-Wa’y, 1396 H.
Apabila
diekspresikan dalam bahasa epistemologi kontemporer, pesan ini berarti bahwa
ilmu haruslah dicari dari sumber-sumber yang otoritatif yaitu mereka yang
memiliki pandangan hidup Islam dan terpancarkan dari prinsip-prinsip ajaran
agama Islam itu sendiri. Maka dapat kita simpulkan bahwa filsafat ilmu itu
mencakup arti mengetahui, obyek pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, dan
proses mengetahui yang dalam Islam memiliki ciri khas tersendiri dan karenanya
secara substantif sangat berbeda dengan filsafat ilmu dalam peradaban-peradaban
lain.
Prinsip-prinsip (usul) dan dasar-dasar (mabadi’) filsafat Ilmu
dalam Islam telah dirumuskan oleh para ulama Islam terdahulu (salaf) dan golongan
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah berasaskan kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW sehingga tidak empirisistik hanya mengandalkan persepsi inderawi dan bukan
pula rasionalistik mendewakan kemampuan akal belaka, akan tetapi dikuatkan oleh
wahyu otentik yang berasal dari Allah swt, Sang Pemilik ilmu.
Oleh, Dr. Syamsuddin
Arif. http://www.insistnet.com.
Comments