Epistemologi Antagonisme Syi’ah; dari Imamah Sampai Mut’ah
Pasca
Rasulullah wafat, estafet kepemimpinan beralih kepada para sahabat yang
terpilih dan memiliki kapasitas yang layak untuk meneruskan perjuangan serta
menjaga orisinalitas ajaran yang telah diajarkan Rasulullah kepada mereka lewat
wahyu yang diperoleh dari Allah dengan perantaraan Jibril as. Ketika wahyu
telah sempurna, maka sebagai manusia biasa Nabi pun dipanggil oleh Allah untuk
selamanya.
Tak
usah telalu lama menunggu masalah muncul. Beberapa saat pasca wafatnya Rasulullah,
umat Islam pun mulai terbelah ketika mencari pemimpin yang akan menggantikan Rasulullah.
Ketika itu, para sahabat sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai suksesor
dengan kesepakatan mayoritas sahabat minus Ali ra dan para keluarga Nabi yang sedang
mengurus jenazahnya, Ali berbaiat beberapa waktu kemudian dan masalah
kepemimpinan sudah teratasi.
Masalah
serius dan berkepanjangan timbul beberapa tahun kemudian, bermula di zaman
kekhalifahan Utsman ra. Seorang Yahudi muncul membawa propaganda, bahwa setiap
Nabi yang ditutus ke bumi pasti memiliki washiyun yang mendapat mandat
dan wasiat yang akan melanjutkan kepemimpinannya jika sang nabi telah wafat,
begitu pula dengan Rasulullah, pasti ada washiyun. Dalam pandangan
Abdullah bin Saba, sahabat yang mendapat wasiat sebagain pengganti tunggal
Rasulullah setelah wafat adalah Ali bin Abi Thalib, dan kerena itulah
kepemimpinan Abu Bakr, Umar, dan Utsman radhiyallahum batal dan tidak
sah.
Ajaran
sang Yahudi mandapat sambutan dari kaum juhala dan para sufaha.
Mereka lantas melembaga dengan ajaran baru yang dinamai ‘Syiah’, sebuah aliran
sempalan yang hingga kini tetap eksis berbanding sempalan lainnya yang tumbuh
berkemang, mekar, lalu layu, sebutlah misalnya Al-Khawarij, Mu’tazilah, Mathuridiyah,
Qadariyah, daftarnya terus bertambah.
Dewasa
ini, Syiah makin menampakkan jati dirinya, jika mereka pada dasarnya
benar-benar memiliki pemahaman keagamaan yang jauh dari apa yang diajarkan oleh
Rasulullah. Satu di antaranya adalah, adanya konsep ‘Imamah’ yang masih kepanjangan
dari ide Abdullah bin Saba tentang ‘teori washiyun’. Syiah, menganggap para
imam mereka adalah manusia makshum atau bebas dari perbuatan dosa dan
segala bentuk kesalahan, sebagaimana para anbiya. Setidaknya ada 12 imam
yang memiliki sifat makshum dalam pandangan Syiah, padahal sejatinya
yang makshum hanyalah para nabi, jadi Syiah sebenarnya memiliki 12 nabi pasca
Nabi Muhammad SAW wafat.
Telah
banyak karya tulis yang mengangkat masalah aliran ‘Syiah’ yang dapat menjadi
referensi utama, namun sedikit di antaranya yang meneliti ajaran sempalan ini
dengan sistematis dan ilmiah. Di antara karya tulis ilmiah yang saya suka
adalah “Mas’alah at-Taqrib bayna Ahlissunnah wa As-Syiah” setebal dua
jilid karya Dr. Nashir bin Abdullah ‘Ali
al-Qafari, sebuah tesis untuk meraih gelar magister pada sebuah perguruan
tinggi ternama di Timur Tengah dan mendapat predikat summa cumlaude
(fauqal imtiyaz). Namun karena karya ini masih berbahasa Arab, sehingga tak semua
dapat menikmatinya, di samping bahasa yang digunakan juga lumayan rumit bagi
para pemula. Jadinya, buku sejenis ini hanya cocok untuk kalangan tertentu
saja, belum bisa bermanfaat untuk semua kalangan di Indonesia, lebih kusus
Syiah Indonesia yang menjadikan ‘filsafat’ dan ‘logika’ sebagai ilmu alatnya,
bukan bahasa Arab apalagi ilmu 12.
Selain
itu, sebuah penelitian yang sangat patut diapresiasi adalah sebuah disertasi
doktoral oleh Prof. Dr. Mohammad Baharun, S.H., M.H., di UIN Sunan Ampel
Surabaya, dengan judul “Epistemologi
Antagonisme Syi’ah, dari Imamah Sampai Mut’ah” karya tulis ilmiah ini telah
dibukukan dan diterbitkan oleh Pustaka Bayan tahun 2004, dan telah mengalami
cetak ulang berkali-kali. Di antara kelebihan karya ilmiah ini karena penulisnya
telah meneliti masalah Syiah selama dua puluh tahun lebih, dan langsung ke
pusat penganut dan penyebar Syiah, di Iran.
Kelebihan
yang tak kalah menarik dari diri sang penulis adalah latar belakang pengalaman
dan pendidikannya yang luar biasa, selain pakar hukum dan sosiologi, sang
penulis juga adalah mantan wartawan yang sangat produktif menulis beragam buku
yang sesuai keahliannya. Saya sendiri, yang sedang belajar menulis, juga masih
berprofesi sebagai wartawan freelance dan editor ad hoc salah
satu media cetak di Indonesia Timur. Kelebihan seorang wartawan sebagaimana
Prof. Baharun, dalam menulis adalah, warna dan corak tulisannya cair dan
menyatu dengan jiwa para pembaca apalagi jika topik bahasan memang sangat
aktual sepanjang masa, seperti Syiah misalnya. Tidak sedkit penulis hebat lahir
dari seorang wartawan, sebutlah misalnya Prof. Dr. Hamka untuk masa dahulu, Dr.
Adian Husaini untuk masa kini, dan yang sedang kita resensi karyanya ini, serta
masih banyak lainnya.
Isi
buku
Dalam
daftar isi, buku “Epistemologi Antagonisme Syi’ah, dari Imamah Sampai Mut’ah”
ini terdapat 13 pembahasan yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Didahului dengan prolog yang menceritakan polarisasi Sunni-Syiah di
negara-negara yang memiliki penganut Syiah yang tidak sedikit seperti Iraq,
Iran dan Pakistin. Sang penulis memaparkan fakta yang akurat terkait data-data
perselisihan yang berlaku antara Sunni dan Syiah, atau kalangan internal Syiah
di Iraq yang beda pilihan dalam menentukan pemimpin, dalam hal ini, Syiah
Persia versus Syiah Arab.
Bab
selanjutnya, mengurai kata Syiah dari akar-akarnya, baik secara etimologi maupun
epistemologi, disuguhkan juga ayat-ayat Alquran yang memiliki perkataan ‘Syiah’.
Kata Syiah terambil dari akar kata dalam bahasa Arab: sya’a-syiya’an
berarti mengikuti atau menemani (tabi’a atau ra-faqa). Pengagum Ali
yang kemudian berubah karena motivasi politik, menjustifikasi keutamaan beliau
dengan dasar-dasar nash dan memunculkan hadis yang jadi dasar imamah,
‘Ali, Engkau dan pengikutmu akan dipenuhi cahaya di Hari Kebangkitan!’. (h.
14).
Selanjutnya,
pemaparan disempurnakan dengan mengutip ayat-ayat yang terdapat kata ‘Syiah’
seperti, Syiah berarti ‘golongan’ yang membangkang terhadap Allah, (QS. 19:69);
dua golongan yang bermusuhan, (QS. 28:15); pecah-pecah dalam sengketa golongan,
(QS. 6:65); golongan atau kelompok yang memecah-belah agamanya, (QS. 6:159);
Fir’aun menjadikan rakyatnya terpecah belah berupa golongan, (QS. 28:4), dan
rasul-rasul dari golongan terdahulu, (QS. 15:10). (h. 14-15).
Bab
selanjutnya, membedah doktrin absolutas imamah bagi Syiah, peneliti menuturkan bahwa ajaran yang sentral
dan mutlak diyakini adalah doktrin imamah. Imamah menurut bahasa berarti
kepemimpinan sedang imam (satu akar kata dengan imamah) artinya
‘pemimpin’ yang secara generik dapat digunakan untuk pemimpin yang baik maupun
buruk. Namanu dalam pengertian Syiah –imamiyah ithna ‘Asyariah—imamah adalah
doktrin primer dalam teologi dan ideologi. (h. 30).
Dalam
masalah ini, penulis kembali mengupas kata imam dalam Alquran yang tidak melulu
bermakna pemimpin, seperti, QS. 46:12; ‘imam’ dalam Alquran bermakna Alquran
itu sendiri, QS. 11: 17; dalam ayat lain ‘imam’ berarti lawh mahfuz’,
QS. 36:12; kata ‘imam’ juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan
sesuatu, untuk memimpin pasukan, dan bagi orang dengan fungsi lainnya, QS, 2:
124; 21:73; 9:12, dan 28:41. Di sampaikan juga dalil-dali dari hadis secara
generik terkait terma imamah, khalifah, dan imarah. (h. 34).
Urain
berlanjut dengan mengurut dan mengurai tekstualitas imamah dan Ahlul Bayt.
Untuk melengkapi kajian tentang imamah, penulis yang menjadi Ketua Komisi Hukum
dan Perundang-undangan MUI Pusat ini, mengutip uraian Muhammad Fuad Abdul Baqi
yang menghimpun kata ‘imam’ dalam bentuk tunggal ‘mufrad’ yang ada dalam
Alquran, hasilnya, ada lima ayat yang berlainan makna, tiga ayat adalah, QS. 2:124;
25:74, dan QS. 17:71 yang bermakna ‘imam’ adalah sosok pemimpin. Ada pun dua
ayat sisanya, QS. 11:17, dan QS. 46:12, ‘imam’ bermakna petunjuk yang berada di
depan sebagai teladan. (h.43).
Ada
pun makna ahlul bayt, juga menjadi pembahasan dengan mengulas ayat-ayat
Alquran tentang kata ‘ahl’, setidaknya terdapat 126 kosakata dengan pelbagai
bentuk dan penggunaannya pun berbeda-beda. Misalnya ‘ahl’ sebagai
penghuni rumah, QS. 28:15. Juga dijumpai dalam Alquran, makna ‘ahl’ sebagai
istri, sebagaimana firman Allah dalam, QS. 33: 33; 11: 73. Demikian pula kata ‘ahl’
bisa didapat dalam, QS. 4:25, 35; 5:89 dan 11: 46.
Disertasi
ini juga mengupas tuntas sebanyak enam dinasti yang menjadi pendukung kekuasann
politik Syiah, sebuah telaah historis yang sangat ‘seksi’. Bermula dari Dinasti
Idrisiyyah (789-926), Dinasti Fathimiyah (969-1171), Dinasti Zaidiyyah
(893-1962), Dinasti Buwaihiyah (1048-1055), Dinasti Shafawi (1500-1576), dan
Dinasti Qajar (1796-1925).
Begitulah perjalanan sejarah Syiah yang secara
historis-tranpormatif mengalami kontroversi berkepanjangan akibat rebutan
pengaruh dan rivalitas, serta hegemoni yang secara internal selalu muncul pada
setiap periode kekuasaan itu dibangun. Konflik internal di kalangan mereka
sendiri untuk memperebutkan kekuasaan politik juga tak kurang dahsyatnya dengan
konflik ekternal melawan musuh-musuh mereka yang akan menumbangkan
dinasti-dinasti yang dibangun. Roda sejarah memang seperti ritme pergeseran
waktu siang dan malam atau musim semi dan gugur, yang bergulir silih berganti.
Kadangkala satu dinasti dibangun dan sempat berjaya, di kala lain harus menelan
kepahitan akibat diruntuhkan. Khusus sejarah Syiah yang didorong dengan
motivasi dan cita-cita mendirikan negara
berdasarkan konsep imamah, secara historis tampak pergolakan internal-eksternal
yang relatif lebih krusial dibanding kawasan lain. (h. 82)
Pemaparan
tentang pertikaian internal Syiah juga tak kalah penting untuk dikonsumsi
bersama, ternyata mereka memiliki konflik internal yang sangat dahsyat ba’suhum
baynahum syadid, seumpama setan versus iblis saling berperang, kita
cukup menjadi penonton. Lihatlan misalnya gejolak internal yang muncul dari
pertikaian antara kelompok ‘Ali Muhammad Shirazi’ dengan Muhammad Karim Khan
Kirmani yang berlangsung pada awal abad ke-19 yang terkanal dengan kelompok
‘Bab’ dan ‘Syaikhi’. (h. 87).
Jangan
lewatkan pula topik ‘Ijtihad dan Mujtahid Syiah Itsna Asyariyah’, pembahasan
dalam tema ini terkait pengertian
ijtihad secara umum, dan secara khusus yang tidak semestinya dipahami
sebagaimana ijtihad versi Syiah. Coba perhatikan tulisan berikut ini:
Sebagaimana diketahui, bahwa rasul-rasul terdahulu itu melakukan
ijtihad dan mencurahkan segala kemampuan dan kekuatannya dengan tujuan megabdi
pada agama dalam menyampaikan risalah ilahi. Nabi Nuh berijtihad memohon
ampunan keselamatan anaknya, dan ijtihadnya ditolak Allah. Demikian juga Nabi
Ibrahim yang melakukan ijtihad yang sama: ditolak juga. Nabi Musa dan Harum
melaksanakan ijtihad yang muncul dari arah pandangan pemikirannya dalam
mengabdi pada agama dan mencari kerelaan Allah. Musa berijtihad agar Nabi Harum
menghadapi kaumnya (Bani Israil) yang menyembah lembu –dengan keras dan
menggunakan tekanan. Namun sebaliknya Harum as berijtihad dengan cara bukan
seperti ijtihad Musa, menghadapi kaumnya dengan lembut agar tidak memecah Bani
Israil, (QS. Taha: 94). Ada pun Nabi Yunus juga berdakwah atas dasar ijtihad:
menakut-nakuti kaumnya dengan siksaan. Sedang Nabi Daud memutuskan perkara dua
orang yang bersengketa karena kambingnya makan tanaman orang lain –dengan
menyerahkan kambing kepada pemilik tanaman yang dirugikan. Nabi Sulaiman
‘merevisi’ ijtihad ayahnya itu dengan mengizinkan pemilik kambing memerah
susunya, sedangkan kambing dibiarkan untuk dipelihara pemilik tanaman. Para
ahli tafsir mengatakan, bahwa putusan ini bukan wahyu, melainkan ijtihad kedua
Nabi ini. (h. 101).
Penulis
juga memaparkan perbedaan ijtihad antara Sunni dengan Syiah, dengan memaparkan
bahwa Ahlussunnah dengan Syiah menjadikan materi-materi seperti imamah
(kepemimpinan), ‘ishmah (kemaksuman atau infabilitas), taqiyah
(penyembunyian keyakinan), marja’iyat-i taqlid (institusi ulama), dan wilayat-i-Faqih
(otoritas ulama) sebagai suatu keniscayaan yang masuk wilayah qath’iyat,
sedang bagi Ahlussunnah, semua kategori itu disepakati sebagai merupakan bagian
dalam dimensi zhanniyat –yang masuk hal-hal furu’ [cabang] bukuan
ushul al-din atau pokok agama). (h. 111).
Pada
bab-bab berikutnya peneliti mengupas masalah ‘Konsep Marja’iyat at-Taqlid dan
Aplikasi Wilayatul Faqih’, lalu diikuti dengan ‘Fundamentalisme dan Radikalisme
Islam Iran’, dan kemudian ‘ Rivalitas dan Konflik Internal Syiah’. Menjadi kian
menarik karena tardapat satu bab yang membongkar nikah mut’ah yang kian marak
dipraktikkan oleh para mahasiswa dewasa ini di Indonesia. Berawal dari suatu
organisani mahasiswa di Surabaya sempat mengusulkan untuk membuka semacam posko
kawin mut’ah ala Syiah di kompleks
pelacuran demi mengatasi solusi perzinahan. Akhirnya fatwa tentang keharaman
mut’ah pun diputuskan oleh Komisi Masa’il Konferensi Besar Nahdatul Ulama di
Mataram, demi mereduksi ide nyeleneh dari ajaran yang telah terlarang secara resmi via Pergub
Jatim, provinsi lain harus mencontoh hal ini, jika tidak, konflik horizontal
tinggal menunggu waktu. (h. 147).
Ternyata
–lanjut penulis—tidak semua Syiah menerima mut’ah sebagaimana Zaidiyah, sebuah
aliran pemikiran yang mendekati Sunni, mereka dengan tegas mengharamkan mut’ah
bersandar dari dalil-dalil hadis Nabi. Tidak seperti Syiah Imam 12 yang
menjadi anutan resmi Negara Syiah Iran saat ini. Syiah yang nyelenah dan
telah difatwakan sesat dan menyesatkan oleh MUI Jatim ini, menganggap bahwa
ayat Alquran pada surah an-Nisa ayat 24, “...maka isteri-isteri yang telah kamu
nikmati campuri (famastamtamta’tum bihi) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Kalimat, famastamtamta’tum bihi, ditambah
dengan ila ajalin mutsamma [dengan waktu tertentu]. Jadi selain
menggunakan bacaan syadz alias cacat, kaum yang tersesatkan ini
menjadikan ayat di atas sebagai justifikasi dalam memarakkan nikah mut’ah.
Makin banyak bermut’ah makin tinggi pahala dan kedudukannya di sisi Allah,
sebuah pemahaman dan pengamalan yang konyol. Untuk itulah, penulis membedah
mut’ah secara historis filosofis, yang sangat menarik untuk dikonsumsi.
(Perempuan dalam Nikah Mut’ah, ilhamkadirmenulis.www.lppi.makassar.com).
Sebagai
disertasi, buku ini hanya menuodorkan fakta ilmiah terkait aliran Syiah, baik
secara historis, filosofis, teologis, maupun sosiologis. Untuk itu, penulis
tidak menyatakan secara gamblang bahwa aliran Syiah itu sesat dan menyesatkan.
Pasti ada yang kecewa, namun bagi saya justru di sinilah letak karakter buku
ini, karena pembaca dituntut untuk ikut kembali ke masa silam, lalu ditarik ke
masa kini. Sebuah fakta ilmiah tentang ajaran Syiah yang memang tak pernah ada
di zaman Rasulullah, dan muncul secara ideologis politis lalu bermetamorfosis
menjadi aliran teologis yang bertentangan dengan ajaran Islam sesungguhnya.
Dengan
gaya bahasa yang renyah, dari penulis yang berlatar belakang jurnalis, hukum,
dan sosiologi, sangat wajar jika buku ini dijadikan bahan referensi untuk
mereproduksi karya sejenis, serta bacaan wajib bagi yang tertarik dalam dunia
pemikiran Islam. Dapat juga dihadiahkan kepada teman, keluarga, dan segenap
handai taulan. Khaeru Jalisin fi az-Zamni Kitabun, buku ini layak
dijadikanseabagai ‘sebaik-baik teman di
setiap saat’!
Ilham Kadir, Peneliti Majelis
Ulama dan Intelektual Muda Indonesia (MIUMI) dan Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) Indonesia Timur
Comments