Aceng Fikri Tak Berfikir
Bak telur di ujung tanduk! Pepatah ini cocok
terhadap nasib Bupati Garut Aceng Fikri yang telah diputuskan pemberhentiannya
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Garut dalam sebuah sidang Paripurna yang digelar Jumat awal Februari
ini.
Selanjutnya, keputusan final pemakzulan Aceng
akan diserahkan kepada Bapak Presiden, jika SBY menyetujui apa yang diusulkan
oleh DPRD maka dengan pasti Aceng akan lengser. Menurut Menteri Dalam Negeri,
Gamawan Fauzi, surat pemberhentian Aceng akan diserahkan kepada Presiden
setelah pulang dari luar negeri pada tanggal 7 Februari ini.
Pemakzulan Aceng sebagai bupati berdasar dari
putusan MA yang menilai bahwa Aceng telah melanggar UU 1/1974 tentang
Perkawinan dan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah lantaran menikahi secara
siri perempuan berusia 18 tahun, Fani Oktora yang diceraikan empat hari
kemudian.
Sebenarnya
kasus pernikahan singkat banyak terjadi di masyarakat. Bahkan ada yang lebih
singkat lagi dibandingkan pernikahan Aceng-Fani. Tapi karena pelakunya public figure, pejabat negara, media
massa langsung ‘menerkam’ dan ‘memangsa’ kasus ini. Kaidah ‘name makes news’ benar-benar efektif
mengatrol pemberitaan.
Nikah
Walaupun negara kita adalah negara
sekuler dengan artian tidak ikut campur dalam urusan agama, namun karena
menguntungkan sebagaimana haji. Maka dengan itu negara juga turut campur dalam
mengatur tata cara pernikahan sesuai agama masing-masing. Perlu diketahui, apa saja rukun dan syarat
sahnya sebuah pernikahan dalam Islam, termasuk etika yang harus dilalui
pasangan suami istri jika merasa tidak cocok lalu ingin cerai.
Rukun
akad nikah dalam Islam ada tiga: adanya
kedua mempelai yang tidak memiliki penghalang keabsahan nikah seperti adanya
hubungan mahram dari keturunan, sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak
laki-laki adalah bukan Islam sementara wanitanya Muslimah; adanya penyerahan (ijab), yang diucapkan wali dengan
mengatakan kepada (calon) suami, 'Saya nikahkan Anda dengan ‘Fulanah' atau
ucapan semacamnya, dan adanya penerimaan (qabul), yaitu kata
yang diucapkan suami dengan mengatakan, 'Saya menerimnya.' atau semacamnya.
Adapun syarat-syarat sahnya nikah
adalah: (1)
Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau
sifat atau semacamnya; (2)
Kerelaan kedua mempelai. Berdasarkan sabda Nabi. “Wanita yang pisah dengan
suaminya karena meninggal atau cerai tidak dinikahkan sebelum mendapatkan
perintah darinya [harus diungkapkan dengan jelas
persetujuannya]. Dan gadis tidak dinikahkan sebelum
diminta persetujuannya [baik dengan perkataan atau diam]. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana
persetujuannya?' Beliau menjawab, 'Jika dia diam [sudah
dianggap setuju]".
(HR. Bukhari, no. 4741); (3)
Yang melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah
nikah Allah mengarahkan perintah-Nya kepada para wali, QS. An-Nur: 32. Juga berdasarkan sabda Nabi, “Wanita mana
saja yang menikah tanpa izin dari walinya. Maka nikahnya batal... 3x" (HR.
Tirmizi, no. 1021); (4)
Ada saksi dalam akad nikah. Berdasarkan sabda Nabi, “Tidak (sah) nikah kecuali
dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani); Sangat dianjurkan
mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah. "Umumkanlah
pernikahan kalian [dengan pesta] walau hanya seekor domba”. (HR.
Imam Ahmad), dan (5)
Adanya mahar. Mahar juga bertingkat-tingkat, yang tertinggi adalah yang dapat
menghasilkan seperti tanah yang bisa digarap, emas yang sewaktu-waktu bisa
diuangkan, hingga beberapa ayat dari Alquran, itulah yang terendah. (Himpunan Fatwa MUI. Erlangga. Jakarta, 2011,
hal. 361).
Ada
pun syarat-syarat wali adalah, berakal, baligh, merdeka (bukan budak), kesamaan
agama,(karena tidak sah wali non muslim untuk orang Islam laki-laki dan
perempuan. Begitu pula sebaliknya, termauk dalam kategori ini adalah orang yang
keluar dari agama [murtad] tidak bisa menjadi wali bagi siapapun), adil, dan
bukan fasik, (sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian
lain mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat
dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya),
Laki-laki, sesuai sabda Rasulullah, “Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita
lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita
pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri." (HR. Ibnu
Majah, no. 1782. Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298), dan
Bijak, yaitu orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua
pasangan) dan kemaslahatan pernikahan.
Begitulah yang telah digariskan Islam, syarat serta rukun sebuah
pernikahan versi Ahlussunnah wal Jamaah
yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Ada pun aliran Syiah yang menghalalkan
nikah mut’ah, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah, cukup dengan kehadiran
kedua calon mempelai dan sebentuk mahar. Lalu calon mempelai wanita
mengucapkan, “Saya mut’ahkan diri saya dengan Anda dengan masa sekian…”. Calon
lelaki menjawab, “Saya terima nikahmu!” pernikahan lalu dianggap sah, dan dapat
berhubungan sebagaimana layiknya pasangan suami-istri. Dalam padangan Ahlussunnah nikah Mut’ah yang marak
diperaktikkan oleh kalangan mahasiswa (Perempuan
dalam Nikah Mut’ah, oleh Mahasiswa UNM Makassar ‘Skripsi’ 2011) adalah
pernikahan yang tidak sah, dan tidak ada bedanya dengan zina. Imam Syafi’i (w.
204 H) rahimahullah berpendapat bahwa
pernikahan yang tidak memenuhi rukun dan syarat adalah, “Nikahun bathil” alias tidak sah.
Cerai
Tidak ada agama di muka bumi ini dimana
dalam kitabnya tertulis dengan rinci serinci mungkin bagi seseorang yang telah
menikah dan merasa tidak cocok lalu berhasrat untuk pisah (cerai). Jika proses nikah memiliki aturan
berupa rukun dan syarat. Maka proses cerai juga memiliki beberapa aturan dan
etika. Bukan hanya seenaknya, ‘habis manis sepah dibuang!’
Pernikahan bukan harga mati yang tak
bisa dicari jalan keluarnya bila salah satu atau kedua pasangan tidak
mendapatkan kebahagiaan, atau mengetahui ada aib dari pasangannya. Cerai adalah
jalan keluar yang sudah dihalalkan agama.
Rasulullah bersabda, “Ada tiga
perkara yang serius, dan bercandanya tetap dianggap serius; nikah, talak, dan
rujuk.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Madjah). Alquran juga mengajarkan etika
meredam konflik atau langkah-langkah yang akan ditempuh seseorang jika terjadi
masalah serius antarsuami-istri. “Dan jika kamu khawatrikan ada persengketaan
antara suami istri, maka kirimlah juru damai dari keluarga laki-laki dan perempuan.
Dan jika kedua juru damai itu bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami istri tersebut.” (QS. [4]:35).
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menjelaskan pada bab
pernikahan bahwa bila seseorang mengetahui ada aib pada pasangannya maka ia
berhak membatalkan pernikahan tersebut. Baik pada perempuan maupun lelaki.
Beliau mencantumkan keterangan bahwa Nabi SAW pun pernah menceraikan seorang
wanita dari Bani Bayadhah dalam waktu singkat karena ada cacat tubuh wanita
tersebut. Beliau juga menegur Bani Bayadhah yang menawarkan wanita tersebut
karena dianggap telah menipunya, “Kalian telah memperdayaku.” (HR. Abu Nuaim
dan Bayhaqi).
Jika memang Bapak Bupati merasa
tertipu, dari sang istri yang sebelum menikah mengaku masih perawan, namun
kenyataanya tidak. Maka keputusan untuk menceraikan istrinya adalah hak
mutlak sang Bupati yang tidak bisa
diintervensi oleh siapa pun. Yang salah adalah sebagai orang yang berpendidikan
dan memiliki jaban terhormat, mengapa ia tak berfikir lebih jauh. Ditambah dengan perkataannya yang mengibaratkan
‘pernikahan seperti membeli barang yang bila spek-nya tidak sesuai maka bisa
dikembalikan’ jelas menyebalkan. Tapi bukan berarti kita melupakan persoalan
yang paling esensial, Allah telah mengatur pernikahan dan
membolehkan perceraian. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments