Natal Menurut Alquran

Mengambil
teori Alquran jika berbicara tentang Isa, maka mengangkat tokoh utama dibalik
lahirnya nabi yang diangkat naik ke langit tersebut versi Alquran itu adalah
satu keniscayaan. Dialah Maryam. Menurut Mufassir muktabar, Al-Qurthubi rahimahullah, Maryam adalah seorang nabiyah alias nabi berkelamin perempuan. “Yang sahih ialah
Maryam itu seorang nabiyah karena
Malaikat menyampaikan wahyu kepadanya, mengandung perintah Allah, perkabaran,
dan kabar selamat. Sebab itulah dia nabiyah,”
begitu kesimpulan Al-Qurthbi dalam kitab “Tafsir
Ayatul Ahkam” karya monumentalnya.
Sumber-sumber
klasik baik dari kisah-kisah Bani Israil (israiliyat)
mengisahkan bahwa pasangan suami istri,
Yoakin dan Hannah hidup dalam keadaan bahagia dan berkecukupan. Sayangnya,
sudah lama menikah namun tak jua mendapatkan keturunan. Dalam kegalauan itulah
sang suami, Yoakin lantas mendatangai Baitul Maqdis sebuah kuil di Yerussalem
yang sangat disucikan kaum Yahudi. Bangunan tersebut telah runtuh dan kini
dinaungi Kubah Sakhrakh yang telah dibangun oleh Khalifah Abdul Malik bin
Marwan dari Dinasti Umayyah tahun 691 M, kuil yang merupakan bangunan Nabi
Sulaiman, yang kini berusaha dibangun kembali oleh Zionis Israli dengan cara
merobohkan masjid saat ini. Di tempat itulah Yoakin melampiaskan kegalaunnya,
mengutuk dirinya yang mandul, dan terus-menerus mengasingkan diri.
Ada
pun istrinya, juga tak kalah galau, betapa tidak suaminya tiba-tiba menghilang
tanpa kabar. Dalam kegalauan yang memuncak itulah sang istri berdoa dan
bernazar kepada Allah yang diabadikan dalam Alquran (QS. [3]:35), “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku yang menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku
menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat di Baitul Maqdis, karena itu terimalah
(nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Sang
ibu menginginkan agar kelak anak yang terlahir dari kandungannya dapat menjadi
pelayan dan penjaga rumah suci. Tapi rasa ragu membalut Hannah karena ternyata
dia melahirkan bayi perempuan bukannya laki-laki, sesuai tradisi, hanya
laki-laki saja yang kerap melayani Baitul Maqdis.
Namun
harapan sang ibu tetap terwujud. Maryam, sejak usia tiga tahun sudah menjadi
pelopor gender, mengambil tugas yang selama ini didominasi kaum lelaki. Nazar
ibunya untuk menjadikan dirinya pelayan Baitul Maqdis tewujud di bawah asuhan
dan bimbingan Nabi Zakaria.
Ketika
berusia tiga tahun dan mulai menjadi pelayan, hak asuh atas Maryam pernah
diperebutkan oleh para ulama Yahudi, karena dia berasal dari keturunan Bani
Israil yang sangat terhormat. Mereka berebut dengan Nabi Zakaria. Pada akhirnya
sengketa tersebut diselesaikan dengan mengundi. Caranya: melempar anak panah ke
dalam kolam air, anak panah yang paling lama terapung berhak menjaga Maryam.
Nabi Zakariyalah yang memenangi undian tersebut dan memelihara Maryam hingga
usia 12 tahun.
Maryam
tumbuh sebagai gadis cantik dan cerdas namun salihah, gadis yang menanjak usia
remaja ini berusaha mendedikasikan hidupnya hanya untuk Allah swt semata, untuk
itulah ia memilih uzlah atau
menyendiri pada arah timur Baitul Maqdis dalam sebuah kampung bernama
‘Baitlaham’ yang kini menjadi Bethlehem, ia memasang tabir agar tidak diganggu
oleh siapa pun.
Hari-harinya
diisi hanya dengan beribadah kepada Allah, berzikir sembahyang dan berpuasa
sehari serta berbuka dua hari. Kerena itulah Allah selalu menurunkan mukjizat
kepadanya, berupa makanan berasal langit
yang selalu ada dalam kuil. Dari situlah Nabi Zakaria heran, dan menanyakan
asal makanan tersebut. “Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehedaki tanpa perhitungan,” jawab Maryam
sebagaimana firman Allah (QS. [3]:37).
Ketika
larut beribadah dalam kesendirian, tiba-tiba seorang laki-laki tanpan berjubah
putih nyelonong masuk ke kamarnya
wanita dara lagi suci itu. Maryam pun terkejut dan marah, “Sungguh aku
berlindung kepada Tuhan yang Maha Pengasih terhadapmu, jika kamu orang yang
bertakwa.” Kata Maryam pada lelaki asing itu.
Lelaki
itu menceritakan jati dirinya, bahwa dia adalah
Malaikat Jibril yang diberi tugas menyampaikan perkara penting kepada
Maryam, bahwa dirinya akan segera mendapat anugrah berupa bayi lelaki yang
suci. Hal ini menjadikam Maryam kian heran dan terkejut dengan mengaskan bahwa
tidak mungkin dirinya akan melahirkan anak lelaki, karena dia tidak
pernah disentuh oleh lelaki asing dan bukan pula seorang pezina. Namun Jibril menegaskan bahwa hal demikian
hanyalah perkara muda bagi Allah (QS. [3]:47; [19]:20).
Bisa
dibayangkan bagaimana tekanan psikis yang dialami Maryam ketika terdengar kabar
kehamilannya, untuk itulah demi keselamatan diri dan bayinya ia menjauhkan diri
dari orang banyak. Sebagai perempuan yang taat beragama dan memiliki rasa malu
dan harga diri begitu tinggi, sehingga dia mengucapkan. “Aduhai alangkah
baiknya aku mati saja sebelum ini, dan aku menjadi tak berarti lagi dilupakan!”
(QS. [19]:23).
Benar
saja, ketika tersiar kabar kehamilannya, kaumnya dari spesis Bani Israil yang
memang doyan fitnah dan bikin onar
mencemooh dan menghinanya habis-habisan. Namun sebagai nabiyah, Maryam menerimanya dengan ikhlas dan penuh tawakkal.
Bahkan ia berpuasa untuk tidak berbicara, sebuah ibadah yang hanya bisa
dilakukan oleh Maryam dalam sejarah umat manusia.
Sendiri
di tempat sunyi tanpa ditemani siapa pun dalam keadaan hamil tua, menjadikan
kesedihannya semakin dalam. Maryam terus berusaha mencari makanan dan minuman
agar diri dan janinnya tetap tercukupi asupan gizinya. Tapi sekali lagi, tak
ada seorang pun yang dapat membantunya. Dalam kesedihan yang mendalam itulah,
Jibril kembali menampakkan dirinya, lalu berkata. “Janganlah engkau bersedih
hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.
Goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan
menggugurkan buah kurma yang masak padamu!” (QS. [19]:24-25).
Tidak
lama setelah itu, Maryam pun melahirkan seorang bayi lelaki. Di saat bersamaan
kaumnya juga berduyun-duyun datang kepadanya, menghina dan mencercanya. “Hey,
Maryam, Engkau telah berbuat sesuatu yang mungkar! Ayahmu bukanlah orang jahat,
dan ibumu bukan pula pezina!” (QS. [19]:27-28). Maryam hanya mengisyaratkan
kaumnya yang menuduh tanpa bukti, agar bertanya sendiri kepada anaknya yang
baru lahir itu. Ketika ditanya, sang
anak benar-benar berbicara, Isa
berkata, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al kitab (Injil)
dan Dia menjadikan aku seorang Nabi; dan Dia menjadikan aku seorang yang
diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan)
shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka; dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu,
pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali". Itulah
Isa putera Maryam, yang mengatakan Perkataan yang benar, yang mereka
berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS. [19]: 30-34).
Itulah
kata-kata Isa as sebagai pembelaan terhadap ibunya dan penegasan akan
eksistensi dirinya, bahwa kesejahteraan itu ada bukan hanya pada waktu
kelahiran, tapi mencakup hari wafat dan waktu kebangkitan. Jika natal diartikan
sebagai kelahiran Isa al-Masih putra Maryam, maka demikianlah natal menurut
Alquran. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI
Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments