Mengenal Aliran Keagamaan NU
Refleksi
atas Hari Lahir NU Ke-87;

Sebenarnya
NU juga bermetamorfosis, pada awalnya berasal dari sebuah organisasi pergerakan
bernama Nahdlatul Wathan ‘Kebangkitan
Negara’ yang berdiri pada tahun 1916. Sebuah organisasi yang khusus dibentuk demi
menampung pergerakan para santri dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selanjutnya
Nahdlatul Wathan berevolusi menjadi Nahdlatul Fikri atau ‘Kebangkitan
Pemikiran’ dan pada perkembangan selanjutnya perkumpulan kaum santri itu
membentuk Nahdlatul Tujjar ‘Kebangkitan
Pedagang’ yang bertujuan memberdayakan para petani dan pedagang.
Puncaknya, KH Hasyim Asyari dibantu rekannya mendirikan Nahdatul Ulama atau
‘Kebangkitan Ulama’.
Hingga
kini, yang usianya telah mencapai 87 tahun, NU diperkirakan memiliki jumlah
pengikut sekitar 40 juta orang yang berbasis pada pedesaan khusunya di pulau
Jawa dan sebagian di perkotaan yang terdiri dari beragam profesi. Pada umumnya
warga NU yang akrab juga disapa dengan kaum ‘nahdiyin’ memiliki ikatan cukup
kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat yang
merakyat.
Namun
jka dipetakan, basis utama pendukung NU secara geografis berada di Jawa Timur
yang hingga kini masih menjadi provinsi yang paling banyak memeroduksi kiai.
Sangat banyak ulama yang lahir dari pondok-pondok pesantren yang berasal dari
Jawa Timur. Dari pesantren pula terlahir tokoh-tokoh bangsa dari berbagai
profesi, mulai dari hakim, jaksa, bupati, gubernur, mentri, pemimpin partai
hingga presiden.
Karena
NU melahirkan begitu banyak orang berbobot dari ragam profesi maka tidak salah
jika organisasi ini tak bisa dilepaskan dengan dunia politik. Tahun 1952 NU
secara resmi terjun ke politik dan memisahkan diri dari partai Masyumi, pada
tahun 1955 mengikuti pemilu dan berhasil merebut 45 kursi konstituante. Ketika
demokrasi terpimpin, NU termasuk partai pendukung Sukarno, namun ketika PKI
memberontak, NU tampil menekan mereka lewat sayap GP Ansor. Tahun 1973-1982
mereka bergabung dengan PPP, dan tahun 1984 tepatnya Muktamar ke-27 di
Situbondo, NU secara organisasi menyatakan diri kembali ke khittah-1926 dan
tidak lagi masuk dalam politik praktis. Namun tetap saja warga nahdiyin tetap
dianggap ‘seksi’ bagi segenap partai politik.
Reformasi
bergulir karena orde baru tumbang, maka tidak sedikit partai yang berlatar
belakang NU muncul, salah satunya adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang digagas
oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang pada pemilu tahun 1999 memperoleh 51 kursi
di DPR RI dan mengantarkan pemimpin NU itu meraih kursi presiden.
Aliran
Keagamaan
Karena
yang kita bahas adalah organisasi keagamaan, maka sangat tidak afdhal jika
tidak membahas aliran keagamaan yang menjadi acuan utama sebuah organisasi yang
bergerak di bidang dakwah. Aliran keagamaan adalah sebuah ciri khas bahkan
pondasi sebuah perkumpulan berbasis agama, termasuk NU.
Secara
akidah dan syariat NU menganut paham
Ahlussunnah Waljamaah, paham ini adalah paham yang digaransi oleh Nabi SAW
sebagai golongan yang selamat di antara sekian banyak golongan sebagaimana
sabdanya. “Ketahuilah! Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahlu Kitab berpecah belah menjadi
tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan; tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga,
yaitu Al Jama'ah." (Silsilah Hadis Shohih, Al Albani. 204). Al
Jama’ah yang dimaksud adalah golongan yang berakidah dan beribadah sebagaimana
yang telah diperaktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabtnya, ma ana
a’laihi wa ashabie, sebagaimana aku dan sahabatku berjalan di atasnya.
Penegasan akan hadis di atas, tentang golongan yang selamat
juga dapat dilihat dari hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa, ‘Sebaik-baik
kalian adalah orang yang hidup pada masaku (periode sahabat), kemudian
orang-orang pada masa berikutnya (Tabi'in), kemudian orang-orang pada masa
berikutnya (Tabi'ut tabi'in)’. Termasuk juga pemahaman keagamaan yang dianut
oleh para imam mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad
bin Hambal. Namun pada praktiknya NU lebih
condong mengamalkan mazhab Syafi’i kendati tetap juga merujuk pada ketiga
mazhab lainnya.
Untuk menyelam lebih dalam terkait pemahaman keagamaan NU,
kita dapat menelaah kitab panduannya yang ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari
sebagai Rais Akbar (pemimpin NU yang pertama) beliau merumuskan dua kitab
sebagai undang-undang dasar organisasi, yakni kitab “Qanun Asasi” dan
kitab “I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah”. Kedua kitab itu diejawantahkan
dalam khitah NU yang menjadi rujukan utama warga nahdiyin dalam bertindak pada
bidang sosial, keagamaan, dan politik.
Tasawuf dan Rafidhah
Dalam ranah tasawuf, NU lebih condong mengamal dan
mengembangkan metode Al-Gazali dan Junaid al-Bagdadi yang mengintegrasikan
antara tasawuf dan syariat. KH. Hasyim Asy’ari menulis bahwa pokok-pokok ajaran
tasawuf itu adalah (a) Takwa kepada Allah baik secara sirr (rahasia, tersembunyi)
maupun secara nyata; (b) Mengikuti sunnah dalam berbicara dan berbuat. (c) Berpaling
dari makhluk di saat menghadap atau membelakang. (d) Ridha terhadap Allah, menerima yang
sedikit dan banyak. (e) Kembali kepada Allah di saat senang dan susah.
Pemantapan takwa dengan wara’
dan istiqamah, pemantapan mengikuti sunnah dengan berhati-hati dan
akhlak yang baik, pemantapan sikap berpaling dari makhluk dengan sabar dan
tawakkal, pemantapan ridha terhadap Allah dengan qanaa’ah dan menyerahkan diri,
pemantapan sikap kembali kepada Allah dengan syukur di saat senang dan
bersandar kepadaNya di saat susah. Landasan dari semua itu ada lima, yaitu
semangat yang tinggi, menjaga diri dari yang diharamkan, berkhidmat dengan
baik, tekad yang kuat serta menghargai nikmat. (Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.),
Kumpulan Kitab Karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, t.th.).
Aliran tasawuf Hasyim Asy’ari
selaras dengan apa yang difatwakan oleh Junaid al-Bagdadi, katanya, “Ilmu kita
harus selalu disesuaikan dengan Alquran dan sunnah. Maka barang siapa yang
tidak menghafal Alquran dan tidak menulis Hadis, maka ia dianggap belum paham
tentang agama dan tidak layak dijadikan qadhi (hakim)”. (Abdul Qadir bin
Habibillah As Sindiy, Attashawwuf fi Mizanil Bahts wa at Tahqiq, wa ar Ra’du
‘ala Ibni ‘arabiy ash Shufiy fi Dhau’i al Kitab wa Assunnah, t.th.).
Ada pun mengenai Rafidhah atau Syiah, nampaknya bisa dikatakan
jika KH. Hasyim Asy’ari satu-satunya ulama nusantara pada zamnnya yang telah membuat garis
demarkasi antara aliran Ahlussunnah Waljamaah dan Rafidhah secara gamblang dan
tegas, dalam konteks kekinian cenderung provokatif –merupakan pukulan telak [knock
out] bagi mereka yang berpendapat bahwa hanya aliran Salafi-Wahabi saja
yang bersikap keras terhadap Syiah Rafidhah –namun semua itu beliau tulis
dengan tujuan agar para pengikut NU dapat mengambil sikap terhadap aliran yang
menyimpang dari Ahlussunnah.
Namun perlu dicatat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih suka menggunakan
kosa-kata ‘Rafidhah’ dibanding ‘Syiah’, nampaknya ulama besar kita ini
mengikuti ulama-ulama muktabar seperti Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal hingga
Imam Bukhari. Mereka semua menggunakan istiulah Rafidhah bukan Syiah. Alasan
utamanya karena tidak semua Syiah itu Rafidhah, namun Rafidhah sudah pasti
Syiah. Menurut Prof. Mohammad Baharun, asal kata Rafidhah adalah rafadha,
berarti menolak, dan secara istilah sebuah aliran keagamaan yang menolak
kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, hanya Ali yang mereka akui. Bahkan
lebih daripada itu, aliran Rafidhah tidak sungkan mencela, melaknat, dan
mengkafirkan para sahabat minus Ahlul Bait.
KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan, Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan
Shahabat-shahabat dicaci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan
ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah,
laknat Malaikat, dan semua orang. (Muqaddimah Asasi Nahdathul Ulama hal. 26);
Maka barangsiapa yang mencela Shahabat maka atasnyalah laknat Allah, Malaikat,
dan seluruh manusia, (bahkan) Allah tidak menerima ibadah mereka baik wajib
maupun sunnah. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah hal. 11); Akan datang di
akhir zaman orang yang mencela-cela Shahabat Nabi, maka janganlah mensalatkan
atau mendoakan mereka, jangan sholat bersama mereka, jangan kawin-mawin dengan mereka, jangan duduk
dengan mereka, dan jangan menjenguk mereka jika sakit. (Risalah Ahlussunnah
wal Jamaah hal. 11); Barangsiapa yang mencela-cela Shahabat Nabi
Sallallahu’Alaihi wa sallam, maka pukullah dia. (Risalah Ahlussunnah wal
Jamaah hal. 11).
Madzhab palaknat sahabat Nabi ini bisa kita jumpai dalam aliran Syiah
Imam 12 yang menjadi anutan resmi Republik Syiah Iran, dan kini sedang
timbuh pesat di Indonesia. Untuk mengatasinya, MUI Jawa Timur yang dipelopori
oleh para ulama nahdiyin telah mengeluarkan fatwa atas kesesatan Syiah
Rafidhah. Dalam hal ini, NU selangkah lebih maju kedepan. Selamat atas hari
lahir NU ke-87!
Ilham Kadir, Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments